Oleh : Fajlurrahman Jurdi
Kebebasan dalam bahasa Inggris disebut fredoom, orang Belanda kira-kira menyebutnya vrij atau orang dikampung saya, disebuah pelosok di Bima, Ngali, menyebutnya dengan kata “merdeka”. Kebebasan merupakan postulat dasar kelahiran manusia, namun selalu terbelenggu dalam ikatan “ius”. Adagium tua dalam sejarah hukum yang dilemparkan oleh Cicero ke lembah diskursus adalah “Ubi societas ibi ius”. Manusia, kira-kira demikian makna kasarnya, tak dapat berpisah dari hukum, karena dimana manusia berpijak, disanalah hukum berdiri.
Jika demikian, dimana letak kebebasan?. Di ruang manakah manusia “yang bebas” itu tak punya ikatan?.
Mungkin saja pertanyaan sederhana ini melengkapi “penderitaan” sebagian orang yang memburu kebebasan, meneriakan yel-yel kemerdekaan disegala penjuru dengan menunjuk sebagian yang lain sebagai anti kebebasan. Bila hidup adalah soal “bebas” dan “terikat”, maka orang-orang yang diberi hukuman juga akan merasakan penderitaan karena kebebasan nya dipasung. “Kebebasan dan keterikatan, adalah hukum kehidupan ataukah hukum yang dibuat untuk menjelaskan manusia sebagai kelompok?. Manusia sebagai komunitas, manusia sebagai bangsa, atau manusia sebagai partikel-partikel berserak yang tak terikat oleh apapun.
Sebagai “populus”, manusia menjerat dirinya dalam “ruang pengap kolektif”. Padahal mestinya harus hidup tanpa batas-batas tabu, tanpa larangan, tanpa perintah, juga tanpa teguran. Kebebasan, inilah habitus hidup “animal”, yang tak kenal batas-batas dan ikatan.
Kehidupan manusia yang bebas tak berbatas itu hanya ada dalam imaji, terekam dalam refleksi, serta sebatas “dreams” bagi sebagian yang tidurnya terlalu nyenyak karena “kelelahan” berkhayal. Bila demikian, sejak kapan manusia yang bebas itu diikat dan terbelenggu dengan erat – adalah pertanyaan yang sudah dijawab oleh semua orang yang bangun dari mimpi panjangnya.
Sejak semula, dan sejak menjadi “manusia”, kebebasan tak berbatas itu tidak pernah ada. Hanya “animal” yang benar-benar memiliki kebebasan tak berbatas. Mereka yang disebut memiliki “low culture” oleh sebagian orang, masih memiliki nilai-nilai yang harus ditaati secara bersama-sama agar tidak terjadi gesekan. Karena itu, kebebasan tanpa ikatan, adalah bualan-bualan “penghutbah” yang kekurangan bahan khutbah.
Sebagian orang meletakkan demokrasi sebagai instrument kebebasan itu. Tetapi kadang mereka lupa, bahwa demokrasi, yang dilekatkan dalam dirinya instrument kebebasan, adalah sejarah tentang “ikatan”, “tentang batas-batas”. Demokrasi adalah mekanisme menjemput hak dan melaksanakan kewajiban. Karena itu, tak ada demokrasi tanpa batas-batas, tak ada demokrasi tanpa “nomoi”, tanpa “ius” tanpa “norm”, tanpa “lex”. Bila tak ada “nomoi”, “ius”, “norm”, “lex”, maka kita dapat memastikan akan terjadi kemungkinan-kemungkinan yang rumit. Pertama-tama, akan terjadi dominasi yang kuat atas yang lemah, yang pada titik puncaknya adalah perbudakan. Kondisi ini melahirkan dua titik yang berlawanan, “kebebasan’ bagi yang kuat, dan “keterikatan” bagi yang lemah. Karena itu “tidak ada kebebasan”. Kedua, kemungkinan sama-sama kuat antara yang satu dengan yang lainya, sehingga menyebabkan “tribal society”, atau dalam kacamata Hobbes menyebutnya dengan “Bellum Omnium Contra Omnes”, hingga akhirnya salah satunya hancur atau kedua-duanya sama-sama binasa.
Lalu apa instrument untuk “membatasi” term “Kebebasan”.
Disinilah ahli hukum berbicara. Mereka semula berbicara soal “human nature”, atau tentang “human condition”. Keadaan alamiah, bagai hewan tak beradab, saling “memenggal hak” dan “merampas kewajiban” diantara sesama manusia. Atas dasar inilah “ius” atau “lex” dibuat secara bersama-sama, yang dituangkan dalam “social contract”. Inilah yang disebut hukum, yang mengikat semua, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tinggal di kota maupun di pelosok perkampungan. Hukum yang mengikat mereka.
Di “Polis” pada masa Yunani Kuno, mereka sudah mengenai “nomoi”. Nomoi inilah yang mengikat kebebasan masing-masing individu. Meskipun masih dalam bentuknya yang paling sederhana, “pembatas kebebasan” pada masa itu, menunjukan bahwa “tidak ada manusia yang benar-benar memiliki kebebasan”.
Maka di zaman modern kini, jika ada orang yang dengan argument kebebasan nya mengganggu “keselamatan” orang lain, merusak harmoni komunitas-komunitas atau “membakar api permusuhan”, mengorek-korek kebersamaan agar terbentur, maka layaknya “dipenggal” agar “social contract” yang mengikat bersama umat manusia it uterus terpelihara.
*)Penulis adalah tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin