Beranda Fajlurrahman Jurdi Muhammad Zulfan Hakim, Lelaki Paruh Baya itu Akhirnya Doktor Juga

Muhammad Zulfan Hakim, Lelaki Paruh Baya itu Akhirnya Doktor Juga

0
Dr. Muhammad Zulfan Hakim, SH., MH.
Dr. Muhammad Zulfan Hakim, SH., MH.

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Kak Cup, begitu biasa saya memanggilnya. Lelaki yang bertapa sepanjang waktu di Departemen Hukum Tata Negara, entah merenungi nasib atau menyusun harapan, yang jelas, ia salah satu dosen yang paling gampang ditemui. Selalu ada. Selalu stay, dan tentu saja, ciri khasnya, selalu “galak”. Disamping itu semua, ia paling care, paling humble dan paling tak punya aturan.

“Sama saya gak berlaku senioritas, kita semua sama disini. Tetapi sopan ya”, ucapnya sambil tertawa renyah. Ia manusia egaliter, tanpa ambisi, kadang-kadang masa bodoh. Tapi mengalir seperti air, tak pernah punya target, tetapi selalu punya tujuan. Entah ia sadar atau tidak, orang seperti ini mulai langka ditemui.

Ditengah perburuan prestasi dan ambisi, pangkat dan jabatan, Kak Cup selalu bilang, “jabatan itu gak dibawa mati, kalau ada, kerja saja. Gak usah terlalu diburu”. Jelas saja, ia memang manusia yang tak berburu soal itu.

Kak Cup terintegrasi dengan alam. Ia anak gunung. Bersama hutan, sungai, dan gunung-gunung ia menyatu. Dengan keahlian yang luar biasa; “meracik kopi”. Kopi racikannya selalu enak dengan ragam rasa. Kadang saya suka mencandainya, agar ia buka kedai kopi. “Ah, dari mana dapat modal”, katanya cuek.

“Alhamdulillah kita hidup gak berhutang Jrul, kita syukuri saja yang ada, sebab jika Tuhan mau, dia kasih apa yang kita butuhkan”. Sahutnya. Kadang pesan bijak seperti ini muncul kalau lagi tenang keadaan. Entah baru nonton youtobe atau baru pulang jumatan.

Saat mulai sekolah lagi, yakni ke jenjang doktor, ia seolah tak berdaya. Beban menumpuk, tugas kuliah dan kewajiban sebagai dosen bersamaan berjalan. Dinding departemen Hukum Tata Negara selalu mendengar nada nyanyian yang sama dari voice nya ka Cup. “Menumpukkkk”.

Kadang kami candai, “apanya yang menumpuk”.

“Tugas, ngajar dan kewajiban lain”. Jawabnya singkat dengan wajah kusut.

Tiap pagi kami adalah penghuni pertama di Fakultas. Dalam risalah kenabian, kami termasuk “assabiqunal awwalun”. Kami menyebut diri sebagai tiga serangkai. Saya, kak Cup dan mas Putra. Kami adalah sekawanan bapak-bapak yang mengantar anak pagi-pagi ke sekolah, dan melanjutkan perjalanan ke kampus. Duduk kadang saling memunggungi dan bahkan saking bosannya mungkin satu sama lain, biasa tak saling bicara. Kayak orang ngambekan.

Tiap pagi, duduk tak beraturan di kantin, pesan teh panas, kadang ditemani roti bakar atau pisang goreng. Kalau lagi mood, saling curhat urusan jam ngajar, periksa tugas dan yang paling sibuk diantara kami bertiga hanya mas Putra.

Sejak S3 lagi, Kak Cup tentu memiliki kesibukan tersendiri. Tugas, jurnal, konsultasi. Saat judul mau diajukan, beberapa kali dia Tanya ke saya, apa judul yang bagus. Akhirnya setelah diskusi panjang, saya sarankan satu judul yang masuk di akalnya, dan judul itu akhirnya benar-benar dia ajukan.

“Bapak tanggungjawab atas judul ini”, katanya. Setelah sidang judul, akhirnya di terima. Saya tertawa mendengar judulnya diterima, karena saat mendiskusikan judul itu, saya sendiri tidak percaya diri, bahwa akan diterima. Tapi begitulah takdir sebuah ide, suatu waktu akan diterima sebagai tesis, di lain waktu ia akan tertolak. Dan akhirnya kak Cup memulai drama panjangnya dengan judul itu.

Selama proses pembimbingan, ruang departemen hukum tata Negara penuh dengan kisah. Ruang ini bisa mnjadi tempat diskusi, curhat dan tentu sekretaris departemen, Eka Merdekawati Djafar menyediakan segala macam kue. Entah bagaimana dan darimana dia punya sumber dana, tiap hari dengan dana pribadi, dia menyediakan segala jenis makanan ringan. Itulah yang bikin betah beberapa mahasiswa di ruangan. Akibatnya, karena keseringan di ruangan, mereka menjadi bagian dari pekerjaan-pekerjaan strategis di Departemen.

Saat jelang ujian proposal kak Cup secara serius menulis, mencari bahan, berdiskusi dan tentu saja, ia selalu khawatir. “Bagaimana ini, kemana arah penelitian-ku”. Gerutunya. Dia yang sebelumnya kadang “malas” membaca buku-buku demokrasi, tiba-tiba dia memburu buku-buku itu. Saya selalu jahilin dia. “Tumben kak Cup, baca buku-buku aneh”, sapa saya sambil tertawa.

“Bapak yang carikan saya masalah betul ini”, katanya mengakak.

Suasana egaliter itu tercipta dengan baik di departemen. Disamping itu, para senior juga tidak kepo. Membiarkan kami berkreasi, maju dan kadang memberikan nasihat untuk terus berkarya. Itulah mungkin yang membuat Fakultas Hukum Unhas ini berbeda dengan kebanyakan di tempat lain. Cara para senior memperlakukan juniornya, tidak saja baik, tetapi lebih dari itu, mereka mendorong untuk maju. Mencarikan jalan, membuka jaringan, dan membiarkan yang muda untuk maju.

Ada beberapa cerita di tempat lain, dimana senioritas, terutama dari sisi ilmu itu sangat dijunjung tinggi. Seolah ilmu itu berkasta, tergantung usia dan gelar. Dan para junior digenjet untuk tidak maju dan tidak bebas berpikir. Hal berbeda di Fakultas Hukum Unhas, karena saling mendukung adalah prinsip utamanya. Lihatlah, jumlah professor fakultas hukum terbanyak di Indonesia ada di Unhas. Ini salah satu potret, bagaimana tempat ini membangun egalitarisme dan sikap saling mendorong antara satu dengan yang lainnya.

Tentu akuntabilitas ilmu pengetahuan bergantung pada individu. Tetapi kolektivitas dan kebersamaan ditunjukan pada hasil yang terlihat, seperti reputasi fakultas yang makin baik, jumlah dosen yang naik pangkat makin banyak dan professor yang tentu luar biasa banyak. Apa namanya ini kalau bukan saling mendorong?.

Saya panjang kali lebar, padahal tujuannya adalah Kak Cup. Lelaki dengan segenap keluhan dan gerutu yang menyelimutinya, dengan segala tantangan dan catatan pinggirnya, akhirnya, hari ini berhasil sidang ujian tutup doktornya. Ini tak terasa. Saya masih merasa, dia kuliah kemarin, beberapa waktu yang lalu. Dengan segala keributan dan hiruk-pikuk. Di ruangan departemen, seolah ada celetukan, “gak ada loe gak rame”. Maka kehadiran kak Cup dengan ornamen baru di depan namanya, akan tambah meramaikan jagat diskursus di ruangan HTN.

Setelah kepergian guru kami, professor Anshori Ilyas, duka mendalam menyelimuti kami, kini, doktor baru bertambah. Penambahan ini untuk menyegarkan kembali tradisi intelektual di departemen.

Selamat datang kak Cup, meskipun belum promosi, tetapi tulisan ini sengaja di dedikasikan untuk mengenang masa sulit dan rumit, masa keluh-kesah, masa kita saling menertawakan diri sendiri karena kesulitan menggambar bagan dan menyusun tabel, serta mencari teori yang relevan. Tetapi sekali lagi, semua itu terbayarkan. Tentu, Adit, Sardil, Ivan dan beberapa “mahluk” lain di departemen adalah supporting sistem yang tiada duanya. Marilah kita berterimakasih kepada mereka.

*) Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT