Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Pandangan saya jadi kabur, mengunyah buku terlalu banyak tidak lagi penting agar kita bisa berdiskusi. Konstitusi masih belum diubah, bunyinya masih “Indonesia adalah Negara hukum”. Hukum macam apakah yang hendak digarap direpublik ini?. Negara Hukum Cita Rasa kekuasaan. Orang Belanda menyebutnya Machtstaat, kebalikan dari Rechtstaat.
Tindakan penguasa tak terbatas, mulai memasuka field kebebasan tiap orang. Hak-hak yang tidak diserahkan dalam social contract, mulai dirampas dan di intervensi. Dulu hak-hak dasar, termasuk kebebasan tidak diserahkan ke Negara saat pactum subjectionis “disepakati”. Filsafat politik saat pembentukan Negara jelas, bahwa Negara hanya memegang kekuasaan sisa (residu) semata dari rakyat. Kini wajah Negara kembali ke tesis Hobbes, menjadi Leviathan sebagaimana cerita yang dipinjam dalam perjanjian lama. Negara menjadi monster yang menakutkan.
Kita sedang bersama-sama mengayuh perahu demokrasi ini agar kekuasaan “melayani” dan melindungi “kebebasan”. Kebebasan untuk merefleksi bahwa kekuasaan tidak lahir dari rahim seorang tiran yang siap “menghunus pedang” dan memburu tiap perbedaan sebagai hantu yang seolah-olah mengerikan. Kekuasaan tidak boleh selalu merasa paling benar, karena bila demikian, buruk rupa demokrasi akan kita tonton bersama, yang berarti menanti ajalnya tiba.
Tumbal nyawa mereka yang bergerak menghancurkan Orde Baru akan sia-sia jika kekuasaan tidak berhenti memburu mereka yang tidak setuju dengan kehendak dan pendapat penguasa. Setiap persoalan harus didudukkan dan di diskusikan, agar ada jalan deliberasi bagi segenap perbedaan itu. Negara harus membuka space, supaya tiap kepala bisa dengan dengan tenang mengajukan argumentasi, yang paling rasional harus diterima sebagai keputusan, meskipun bukan soal benar atau salah. Sebab itulah kita memilih jalan demokrasi. Jalan menghargai argumentasi rasional.
Bila kekuasaan terus main tangkap, gampang panik, suka mengkhayal tentang sukses dirinya seraya menutup telinga dan mengatup mata, tangan dan kaki merayap tanpa permisi, “senjata” dan “bayonet” melayang tanpa sasaran yang pasti, ia akan membunuh dengan biadab pada tiap kakinya melangkah. Praksis kekuasaan demikian akan menghancurkan harapan publik dan pasti, melawan kehendak populus.
Saya mulai khawatir pada terror wacana sebagai refleksi awal kekuasaan kini. “Terror menutup media sosial”, “terror Perpu tentang Ormas”, “terror pembunuhan pada saksi ahli yang berbeda dengan kehendak penguasa”, terror dan ancaman menangkap mereka yang mengkritik tindakan penguasa”, adalah pondasi awal sebagai bahan baku rumah sang tiran. Jika ini berlanjut, pondasi itu akan menjadi dinding, dan dinding rumah tirani itu akan ditingkatkan menjadi rumah utuh dan akan dijaga oleh “mesin pembunuh” yang setia selama diberi makan.
Kita semua khawatir, akan kembali ke masa kelam, dipimpin oleh sang fuhrer yang di tangannya berlumur darah. Darah kematian mereka yang tak jelas kesalahan nya. Jika kita tidak menjaganya, zaman itu makin dekat.