Oleh:Fajlurrahman Jurdi*
Doktrin terorisme mengemuka diberbagai belahan dunia. Hanya saja agak aneh, karena bila menyebut terorisme, semua argument yang dibangun ditujukan pada satu agama, yakni Islam. Tentu saja bagi sebagian kalangan ini tidak adil, karena setiap ada aksi terror, islam selalu diburu sebagai “terdakwa”.
Saya merasa jengah meskipun tidak tau caranya harus membela argumentasi retoris yang juga kadang-kadang agak “teroris” ini, karena selalu meletakkan Islam sebagai “terdakwa”, meskipun disaat yang sama, bila ada aksi tersebut yang mengatasnamakan Islam, umat Islam yang masih waras mengutuknya. Karena tidak ada basis hukum yang menganjurkan kegiatan kekerasan.
Semua umat manusia setuju bahwa tidak ada “alasan pembenar” bagi kekerasan atas nama apapun, kecuali saat berperang dengan ketentuan-ketentuan yang juga ketat. Dimana wanita dan anak-anak tidak boleh tersentuh oleh kekerasan, masyarakat sipil tidak boleh menjadi korban dan seterusnya. Jika pun itu terjadi, hal ini disebabkan oleh hal-hal yang tak terhindarkan atau situasi “terpaksa”.
Kita kadang menutup mata pada terorisme Negara atau terorisme agama yang di dukung penuh Negara beserta aparatur represif-nya. Mata kita cenderung melotot pada terorisme individu, yang kebetulan karena “jubah” dan “jenggot”nya, kemudian kita menimpakan stigma pada agama yang ia bonceng, meskipun pada dasarnya para “pemburu Islam “ini memang sejak awal dikepala mereka tertulis stigma islam sebagai teroris.
Kita juga tau bahwa Negara dikerahkan di seluruh dunia untuk memburu individu-individu anti kemanusiaan ini. Sasaran utama mereka sekali lagi bukan pada “tubuh” pelaku secara fisik, tetapi citra yang melekat pada pelaku, atau agama yang ada padanya.
Setelah kejahatan terror dilakukan, nama dan tubuh pelaku kadang “ditinggalkan” atau malah ia menjadi monument untuk mengingatkan orang lain tentang kejahatannya, bukan karena ia adalah subyek penjahat, tetapi karena agama yang menjadi alasan kejahatannya. Atas alasan ini, citra Islam sebagai agama teroris dirawat terus-menerus dan diwariskan kepada anak-cucu mereka. Ini mungkin dapat disebut sebagai warisan “tirani pikiran”.
Tetapi anda bisa lihat ketika Negara seperti Amerika Serikat membunuh warga Negara dalam satu Negara seperti saat merka menghancurkan Irak dan membunuh Saddam Husein dengan cara tragis. Adakah mereka disebut sebagai teroris?. Tidak. Mereka malah disebut sebagai pahlawan yang menyelamatkan peradaban, menyelamatkan umat manusia. Entah umat manusia mana yang mereka selamatkan dengan membunuh jutaan jiwa yang tak pernah ditemukan kesalahannya hingga kini.
Anda juga bisa melihat bagaimana Yahudi Israel La’natullah membunuh anak-anak Palestina sepanjang tahun. Dunia tiba-tiba menjadi bisu dan mereka hampir tidak pernah disebut sebagai teroris. Mereka malah oleh sebagian orang dianggap sebagai pasukan yang membela negaranya. Negara Israel yang dibangun melalui aliran sungai darah kekerasan orang-orang tak berdosa. Meskipun kata “Negara” ini masih dipertanyakan oleh anak-anak Palestina atas eksistensi Israel yang mencaplok tanah mereka.
Terorisme Negara ini nyata dan terjadi, tetapi mereka tidak disebut sebagai “teroris”. Mereka memproduksi citra sebagai bangsa yang mengerahkan kekuatan untuk membela harga diri bangsa dan negara mereka atas bangsa dan Negara lain dengan cara “memusnahkan” penduduk tak berdosa.
Kini, tetangga kita, di Myanmar, muncul teroris berwajah lain. Ini perpaduan yang sungguh menakjubkan, antara Negara dan agama bersatu untuk “memusnahkan manusia”. Jika orang Islam melakukan pengeboman dan membunuh satu atau dua orang, maka seluruh dunia mengutuknya, tidak saja subyek penjahatnya tetapi juga agama si peneror. Bahkan para ulama dan orang-orang Islam sendiri menolak kekerasan atas nama agama. Ini pula jelas menunjukan bahwa Agama ini menebarkan kedamaian dan cinta pada kemanusiaan.
Pembunuhan dan pembantaian ribuan orang atas nama Agama yang dilakukan oleh salah satu agama di Miyanmar merupakan terorisme yang biadab. Anehnya, para penganut agama yang sama di Indonesia, tidak ada yang mengutuk keras kejahatan kawan mereka. Mereka jelas menggunakan pakaian kebesaran agama mereka dengan “kepala botak”nya mempertontonkan kejahatan atas nama agama. Meskipun kejahatan mereka kini diambil alih oleh Negara, namun peran si botak masih tak dapat dipisahkan atas pembantaian warga sipil di Rohingya.
Sehingga hal ini memicu pertanyaan sederhana saya: “apakah agama mereka memang mengajarkan penganutnya untuk melakukan pembunuhan?. Jika ia, maka waspadalah, sebelum mereka bangkit sebagai pembunuh”. Mereka bagai drakula yang kehausan darah.
Go to hell Myanmar.
Go to hell “kepala botak”
Go to hell aung su kyi.
*) Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS)