Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Saya agak terhenyak dengan isi ruangan kelas pagi ini. Agak sesak, dipenuh oleh sebagian wajah-wajah malas dan ngantuk. Sucipto yang duduk dibagian tengah menguap tanpa menutup mulutnya. Jika ada nyamuk yang lewat mungkin bisa singgah bersarang disana sejenak lalu pergi terbang mencari mangsa. Pagi ini saya mengisi mata kuliah mengenai buruh. Kebetulan tema nya tentang pemogokan massal dan collaps nya kapitalisme.
Mogok-mogok pada industry di abad ke 18 dan ke 19 telah menyeret eropa pada perlawanan yang tak pernah selesai antara kaum borjuis dan kaum proletar. Kaum anarkis seperti Bakunin melihat bahwa perlu dilakukan perlawanan hingga titik akhir pada perusahaan dan keluarga-keluarga yang mengandalkan meja dan kertas dengan memperpanjang barisan perbudakan di berbagai negara. Kolonialisme inggris dan Prancis yang menggema, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Asia dan benua Amerika. Mereka datang sebagai sekelompok orang tersesat dan menemukan alasan untuk berdiam dan menguasai masyarakat setempat.
Mahasiswa tidak begitu mengerti mengenai hal ini, sehingga terjadi perdebatan antara saya dengan seorang mahasiswa yang sangat baik bacaan nya tentang sejarah kapitalisme dan perburuhan di abad-abad lampau. Meskipun demikian, saya memiliki beberapa kunci sejarah yang belum dia sentuh dan menemukan perkakas-perkakas intelektual yang menakjubkan. Sebagian yang lain tidak begitu serius mendengarkan, namun sebagian lagi melongo entah karena kebingungan atau karena mendengar dengan seksama.
Setelah mengupas berbagai manuksrip tentang buruh yang hidup tanpa perlindungan hukum, saya mulai menyeret kaki sejarah menuju abad ke-20. Modifikasi kapitalisme sudah mulai menemukan formula nya, sementara negara dan para pemilik modal selalu bermesraan. Betapa banyak orang-orang yang menjadi korban dari perselisihan panjang antara buruh dan pemilik modal, lalu sebagian di antara mereka terjebak dalam skema penindasan yang tak usai, karena negara dalam rentah waktu yang panjang tak pernah punya alasan yang jelas untuk membela kepentingan pekerja.
Kapitalisme bergerak memodernisasi seluruh alat produksnya secara terus-menerus, sementara tenaga kerja mulai di beri perlindungan hukum sebagai alat untuk menjaga diri agar tidak terjadi ekploitasi. Pada sebagian kasus, perlindungan hukum ini bekerja, terutama pada para pengusaha yang patuh dan memiliki sensitivitas kemanusiaan, namun tentu saja pada sebagian besar kasus, eksploitasi dan penambahan jam kerja tanpa upah lembur kadang masih menjadi momok yang menakutkan.
Beberapa kali saya mengisahkan kasus beberapa pekerja yang berangkat subuh dan pulang malam atau berangkat sore pulang pagi. Mereka tidak dilengkapi dengan jaminan kesehatan, kepastian status dan kadang-kadang jika tidak sesuai target, pada kasus-kasus tertentu mereka dipotong tanpa konfirmasi gaji-gaji mereka.
Akumulasi dari proses-proses yang kurang begitu adil bagi para buruh ini dapat menciptakan akumulasi kemarahan. Di era demokrasi kini, bersuara berbeda tidak lah menjadi soal, sehingga mogok dan melawan perusahaan menjadi hal biasa. Perlawanan individu tidak memberi efek apapun pada perusahaan, namun bila perlawanan dilakukan secara berkelompok, maka perusahaan akan menghadapi problem pelik. Jika produksi berhenti selama sepekan, akan terjadi keterlambatan perputaran modal, dan bila hal ini bertahan hanya dalam waktu sebulan, maka perusahaan akan berhenti produksi. Artinya, kapitalisme macet total.
Mogok adalah hal yang mengerikan bagi indusrti manapun, termasuk mogok-mogok yang terjadi di abad-abad yang lalu. Pekerjaan manual yang masih mengandalkan tangan manusia dapat dengan mudah menciptakan rantai eksploitasi, sehingga tak dapat dielakan, gerak dialektis tak terhindarkan. Relasi diametral antara buruh-majikan merupakan hukum besi sejarah yang tak berakhir, bila tak segera dihentikan dengan upaya memperbaiki hukum agar dipatuhi dan menegakkan nya.
Mogok-mogok di abad kini, terlihat mewah karena dibantu oleh media yang ikut menciptakan “terror” bagi perusahaan. Hal yang berbeda dengan kasus-kasus yang terjadi di Eropa pertengahan abad ke-19, sayup-sayup penyerangan industri oleh massa tak dapat dijangkau lebih cepat oleh perusahaan, kecuali mereka menempatkan mata-mata yang jumlahnya tidak sedikit.
Dalam setiap mogok, selalu ada pengkhianat yang mencari muka untuk saat huru-hara berlangsung yang mengakibatkan perjuangan tak pernah tuntas.
Dari depan, mahasiswa bertanya dengan nada keheranan. “Pak, bagaimana bila mogok terus, perusahaan bakal rugi dan investasi tidak berjalan. Artinya dunia usaha tidak bisa berkembang”. Potongnya. Saya memaklumi pertanyaan ini sebagai pancingan. Lalu dari samping menyahut, “Tidak akan terjadi mogok bila tercipta keadilan. Negara dan perusahaan harus sama-sama memberikan hak yang layak kepada buruh agar pemogokan tidak terjadi. Jika semua berjalan seimbang, maka pemogokan tak akan pernah muncul”. Sahutnya.
Saya menatap isi ruangan, menyelami pertentangan cara berpikir mahasiswa dan memancing situasi agar “memanas”. Masih ada yang mau berpendapat?. “Saya pak, sahut mahasiswa berambut klimis di sudut sebelak kiri ruangan. “Oke bung”, kata saya sambil memberinya kesempatan. “Menurut saya, buruh harus tau diri, karena sudah diberi pekerjaan dan diberi makan oleh perusahaan. Mereka harus menghormati perusahaan. Jika ada pertentangan, mestinya diselesaikan secara kekeluargaan. Karena itu, saya tidak setuju dengan pemogokan, karena dapat menghambat kemajuan”, katanya setengah emosi. Entah dia emosi karena apa, saya juga agak mulai was-was, karena mesin di kelas mulai panas.
Tanpa diberi kesempatan, kursi paling depan, suara seorang perempuan berjilbab panjang menyahut. “Menurut pendapat saya, cara pandang ketiga nya tadi adalah cara pandang naïf. Paulo Freire mengingatkan bentuk kesadaran ini merupakan bentuk kesadaran yang paling rendah”. Saya terkesiap mendengar jawaban nya, saya tidak menyangka dia akan mengutip Freire untuk memperkuat argumentasinya. “Mereka yang selalu menyalahkan korban, adalah mereka yang memiliki kesadaran naïf, karena tidak mencari dimana sumber masalah. Karl Marx sudah mengingatkan mengenai gerak yang selalu dialektis. Anda mestinya membaca Hegel atau Marx sebelum berbicara soal buruh dan majikan, karena sumber utama nya ada disana”. Saya ternganga dan penasaran, membiarkan anak ini berbicara tanpa interupsi. “DIalektika Materialisme adalah merupakan cara pandang yang paling baik untuk mengukur pemogokan buruh dalam konteks pemikiran sosiologi politik. Hanya dengan cara ini kita bisa membedah bagaimana posisi buruh dalam menghadapi perusahaan. Apakah buruh sebagai subyek atau sebagai obyek. Jika buruh sebagai subyek, maka ada posisi yang seimbang dengan perusahaan. Artinya ia bisa bernegosiasi dan menawarkan kepenntingan nya. Ia dan perusahaan adalah dua subyek yang sadar dan sama-sama memiliki kuasa atas diri mereka. Tetapi bila buruh sebagai obyek, maka anda harus berhenti berbicara soal keseimbangan, yang berarti, tak ada cara lain bagi buruh untuk berjuang dan bertahan, kecuali dengan menghantui perusahaan agar bisa mendengarkan mereka. Mereka harus bergerak kolektif, tidak bisa bergerak sendiri-sendiri”. Sahutnya.
Saya mulai merasa nervous, ada anak musholla, perempuan dan jilbab besar berpikir terbuka dan membaca hal ini dengan baik. Semua di kelas diam. Hening. Tanpa membiarkan saya menyelami pikiran nya, si mahasiswi ini melanjutkan; “Gaya berpikir yang disampaikan oleh teman-teman saya tadi, adalah gara berpikir skeptis, pasrah pada nasib dan tentu saja dalam konteks kajian marxis, ini tidak dapat diterima. Saudara akan ditertawai oleh banyak orang jika berpikir demikian dalam konteks kekinian. Biarkan orang-orang yang tidak bersekolah yang berpikir demikian, karena yang mesti kita lakukan adalah membangun kesadaran kritis, sebagai lapisan pertama bentuk kesadaran yang disebutkan oleh Freire. Saya rasa, demikian pandangan saya pak”. Katanya menutup.
Saya membiarkan kelas benar-benar hening. Banyak yang tidak percaya, anak ini berbicara fasih meskipun singkat tesis-tesis yang sangat kena dengan perkuliahan ini. Dan tentu saja yang lain berpikiran, bahwa kuliah hukum berburuhan adalah berbicara mengenai pasal-pasal yang berjejal, hukum-hukum yang mengatur serta orang-orang yang harus diatur, baik perusahaan maupun buruh. Tidak terasa sudah se jam berlalu, rasanya saya harus mengakhirinya. Billahi fii sabilil haq, fastabiqul khairat, wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.