Beranda Fajlurrahman Jurdi Demokrasi “Terkutuk”

Demokrasi “Terkutuk”

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Sejarah “malin kundang” adalah sejarah “kutukan” anak manusia. Persisnya kutukan “subyek” kepada “subyek” lain, dalam hal ini adalah ibu kepada anaknya. Malin Kundang menjadi batu, dan ia menjadi semacam monument pengingat tentang “dosa” yang dibalas “cash” oleh Tuhan.

Seringkali juga kita mendengar kata-kata, “itu manusia terkutuk”. Atau “anak itu adalah kutukan” bagi saya. “Terkutuk sekali nasibnya”. Kata “terkutuk” menunjuk pada sesuatu yang tercela. Menurut kamus besar bahasa Indonesia versi online, “terkutuk” merupakan kata kerja. Ia berasal dari kata “kutuk” yang bermakna “doa atau kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kepada seseorang”. atau bisa juga “kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang disebabkan doa atau kata-kata yang diucapkan orang lain”, dengan kata lain adalah “laknat”. Jadi “terkutuk” adalah perbuatan yang dikutuk, atau suatu tindakan yang “dikutuk”.

Sebagai kata kerja, terkutuk merujuk pada tindakan atau perbuatan. Tanpa tindakan atau perbuatan tertentu, baik perbuatan aktif maupun pasif, maka menyematkan kata kutukan tidak tepat. Oleh sebab itu, bila merujuk pada penyeleggaraan pemerintahan, maka kata “penyelenggaraan” berhubungan dengan kata kerja, karena penyelenggaraan adalah aktivitas, kegiatan atau sejenisnya yang berhubungan dengan suatu bidang tertentu. Sehingga “penyelenggaraan pemerintahan” berarti melakukan aktivitas pemerintahan.

Apabila kita merujuk pada konsep demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka bila melihat penyelenggaraan pemerintahan saat ini, pelan-pelan berjalan mundur kearah sikap anti demokrasi. Sikap anti demokrasi ditandai dengan “berkurangnya” sikap due process of law, “main tangkap tanpa perlu proses hukum terlebih dahulu”, atau sikap mendua penegak hukum terhadap subyek warga Negara tertentu.

Para penyelenggara pemerintahan adalah mereka yang memperoleh kekuasaan dari rakyat. Postulat kekuasaan mereka berasal dari rakyat, sehingga apabila terjadi kesalahan pada kekuasaan yang diperoleh dengan cara demokratis, kadang “mengutuk demokrasi” adalah cara yang paling umum dapat dilakukan.

Misalnya persetujuan DPR terhadap Perpu tentang Ormas yang sekarang menjadi UU tentang Ormas, oleh sebagian orang menganggap sebagai jalan mundur demokrasi. Oleh karena UU ini tidak menerapkan due procces of law dalam norma yang dijalankan. Padahal kekuasaan atau penyelenggara pemerintahan seharusnya merawat demokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahannya, dengan cara menegakkan hukum secara equal dan menjunjung tinggi due procces of law.

Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak fair, korup dan bersikap tidak responsif pada kebebasan masyarakat sipil merupakan sikap yang tidak berpihak pada demokrasi. Padahal mereka memperoleh kekuasaan dengan cara-cara dan prinsip yang ditetapkan secara demokratis. Sementara pada sisi yang lain, demokrasi tak punya mekanisme yang kuat untuk menghentikan mereka secara efektif. Sebab itulah, jika menggunakan logika sederhana dengan melihat gejala seperti ini, maka kita dapat saja menyebut “demokrasi yang terkutuk”. Karena memproduksi kekuasaan yang jahat, tetapi tidak bisa mengentikan kejahatan kekuasaan tersebut. Karenanya mungkin layak disebut “demokrasi terkutuk”

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unhas

 

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT