Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Tubuh manusia memiliki organ-organ yang dikendalikan oleh jutaan partikel yang tidak gampang terhitung. Organ-organ itu bentuknya fisical. Ia berbentuk material. Sama halnya dengan mobil, yang terdiri atas partikel-partikel yang berbeda. Partikel ini disatukan dan bersatu padu dalam kekuatan jalinan berantai sehingga membentuk satu-kesatuan yang utuh. Itulah yang kita sebut mobil. Mobil dapat disebut sebagai mobil apabila ada jok, ban, setir, rem, gas dan sebagainya. Jalinan itu membentuknya menjadi benda yang dapat digerakkan, ditumpangi dan dapat memindahkan benda dan manusia dari satu tempat ke tempat lain.
Gerakan perpindahan mobil tersebut digerakkan oleh “besi” yang disebut mesin. Mesin yang membuat benda-benda itu bergerak. Bila dapat disebut sebagai jiwa, maka jiwa-nya mobil adalah ‘mesin’. Mesin-lah yang menjadi penggerak mobil.
Manusia, dengan jutaan partikel yang membentuknya adalah jalinan organ yang saling terikat antara satu dengan yang lainnya. Ikatan-ikatan organ yang sambung-menyambung, saling bergantung antara satu dengan yang lainnya, yang membentuk dalam sistem jaringan organ, menyebabkan manusia terbentuk secara fisical baik. Secara fisik, bila semua sistem jaringan dan organ tubuh yang ada dalam diri manusia sempurna, maka itulah yang disebut “kesempurnaan manusia”.
Tetapi antara mobil dan manusia, sebagai benda dan sebagai mahluk, memiliki berbagai kesamaan dan perbedaan. Bila mobil kehilangan jok bagian belakang, dapatkah ia disebut sebagai mobil?. Jelas masih menyandang status sebagai mobil. Apabila ia kehilangan satu ban di bagian belakang, dapatkah ia disebut sebagai mobil?. Status “kemobilan” masih ia sandang, meskipun tak bisa berjalan. Ia bisa menyala, bisa bersuara, namun Ban sebagai kaki sang mobil tidak ada, dan hal itu tidak berarti statusnya sebagai mobil hilang. Ia tidak akan berubah menjadi motor atau kereta api, karenanya, si mobil tetaplah mobil.
Manusia juga demikian, bila manusia kehilangan satu tangan, ia tidak berarti bukan manusia, ia tetaplah manusia. Atau kehilangan kaki-nya, tidak bisa melihat karena cacat mata misalnya, ia tetaplah manusia. Manusia tidaklah akan berubah menjadi kambing hanya karena kehilangan salah satu organ tubuhnya. Ia tetaplah manusia hingga ia wafat. Gelarnya pun menjadi almarhum/almarhumah. Mobil dan Manusia adalah dua contoh untuk membandingkan dua hal secara sederhana untuk menemukan argumentasi dasar dari judul artikel ini.
Ada satu elemen yang menggerakkan mobil, yakni mesin, sedangkan elemen yang menggerakkan manusia adalah “jiwa”. Jiwa manusia adalah merupakan hakikat yang terbentang jauh yang membentuk manusia menjadi “manusia”. Manusia bekerja, beribadah, berusaha dan berjalan di atas muka bumi dengan “jiwa”, karena jiwa-lah yang menjadi “penyangga” hakikat kemanusiaan.
Jika manusia punya jiwa yang menggerakkan hidupnya dan mobil punya mesin sebagai penggeraknya, lalu di mana posisi hukum sebagai system nilai?. Apakah hukum juga punya “jiwa”?, sebagaimana halnya dengan manusia yang dititipkan oleh Allah SWT dengan “jiwa”. Oleh karena, manusia dan mobil berwujud, sementara hukum ada yang berwujud dan ada yang tidak.
Sebagian ahli kenegaraan mengatakan bahwa suatu bangsa itu punya jiwa. Mereka menyebutnya dengan “Volkgeist”, yakni jiwa bangsa. Lalu mungkinkah hukum, yang disebut dengan “recht”, memiliki jiwa. Dimana jiwanya hukum jika memang memiliki jiwa?.
Hukum adalah merupakan system nilai yang bersifat memaksa, dijaga secara berbarengan oleh “state apparatus” dan “ideological apparatus”. “State apparatus” menjaga keberlakuan hukum sebagai system, ia memaksa agar orang taat pada hukum. Itulah sebabnya, bahwa salah satu sifat dari hukum adalah “memaksa”, oleh karena ada “state apparatus” yang menjaga kewibawaannya. Sedangkan “ideological apparatus” yang membuat hukum itu hidup dan bisa efektif bekerja. Di saat suatu norma hukum disusun dan ditetapkan, disana ada yang disebut dengan dasar-dasar filosofis dan sosiologis, yang di dalamnya “wajib” meresapi filsafat suatu bangsa dan jiwa masyarakat.
Pada konteks ini, hukum memiliki jiwa, yang disebut dengan volksrecht. Bukan saja bangsa yang punya jiwa, tetapi juga hukum. Jiwa hukum menentukan respositivitas-nya sebagai nilai dan progresivitas-nya dalam tindakan. Volksrecht berhubungan dengan sesuatu yang abstrak, sesuatu yang tak tertulis. Ia adalah nilai-nilai yang hidup, sebagai suatu kesadaran bagi masyarakat. Hukum yang demikian, dapat diterapkan secara efektif, karena manusia akan patuh tanpa “reserve” pada kehendak hukum. Orang menyebutnya dengan “living law”, hukum yang hidup, tetapi “volksrecht” ada di atas itu, karena ia mencakup juga “transendentalisme”.
Wallahu a’lam bishowab
*) Penulis dalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.