Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Desau semilir angin yang berhembus ke Tamalanrea, membawa berita gelisahnya partai politik yang sedang menyusun daftar Caleg. Mereka kesulitan untuk memperoleh kuota perempuan. Ada yang malah mau dibayarkan pendaftarannya, diberi fasilitas, malah perempuannya yang gak mau. Bahasa kasarnya, “Lamaran ditolak, duit bertindak”.
Yang paling menggelisahkan adalah Parliamentary Threshold yang kian mendera partai-partai kecil dan partai-partai baru. Banyak studi mengenai hal ini, terutama jika angka PT terlalu tinggi, sebagian ahli menghubungkannya dengan banyaknya suara yang terbuang. Hal ini memiliki jalinan yang berkaitan dengan tingkat legitimasi. Jika suara batal, suara dibuang karena tidak memenuhi PT, dan Golput digabung menjadi satu dan jumlahnya melebih 50 %, maka legitimasi demokrasi dipersoalkan oleh sebagian orang. Tapi sebagian yang lain mengatakan, tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk menyederhanakan partai.
Kini banyak partai yang mencari Caleg. Yang sudah mengerti hitung-hitungan politik akan menimbang untuk maju melalui partai baru dan partai kecil. Sebagian tak segan-segan angkat koper, pindah ke partai yang “mungkin” bisa lolos PT. Ini PT nya 4 %, Lumayan tinggi, meskipun tidak setinggi Turki yang sebesar 10%.
Apakah ini arus balik yak, bahwa sebagian orang mulai punya kesadaran baru karena “ulah partai politik”. Mereka malas dengan partai politik.
Kayaknya iya, Sebagian besar orang mulai malas dengan partai politik termasuk mengikuti kompetisi di Partai, karena jika menang atau lolos menjadi anggota DPR/D, sebagian “kebebasan” nya kadang “dirampas”. Mereka sudah setengah mati berjuang, menghabiskan uang, tenaga dan sebagainya, kadang2 bisa di PAW secara tiba-tiba. Persoalannya sederhana, karena “tidak patuh” pada kepentingan “ketua partai”.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, belakangan ini, hampir semua ketua partai di Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah hasil PAW. Para politisi tidak begitu bergairah untuk melaksanakan pemilihan lagi, karena meskipun terpilih secara demokratis, kalau bos nya di pusat gak berkenan, ia bisa dihentikan dan diganti dengan yang lain. Padahal, waktu pemilihan, dia bayar suara, bayar hotel, bayar transpor para pemilih yang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.
Kayaknya semua Parpol mesti melakukan evaluasi. Karena demokrasi yang seharusnya hidup secara habitual disana, justru “dipeluk erat hingga mati bersama” dengan Parpol.
Makassar, 01-07-2018
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unhas