Beranda Mimbar Ide Memersoalkan Suara adzan

Memersoalkan Suara adzan

0
Haidir Fitra Siagian (kanan)

Oleh : Haidir Fitra Siagian*

Tidak semua orang Islam suka dengar adzan, tidak terkecuali ada diantara teman-teman yang membaca status ini. Itu hampir dapat dipastikan. Walaupun sebagai seorang muslim, pastilah tahu arti, makna dan tujuan adzan itu dikumandangkan.

Tidak semua orang non Islam senang suara adzan, juga itu lebih pasti. Itu dapat dipahami dan dimaklumi. Karena mungkin dia tidak mengetahui maksudnya.

Bahkan ada orang yang merasa terganggu atau sangat risih dengan adzan, itu juga pasti. Apakah dia seorang Islam atau bukan. Pokoknya suara adzan bagi dia adalah satu momok: mengganggu dan sebaiknya jangan dikeraskan.

Dia tidak tahu bahwa adzan itu adalah syiar agama. Ajakan untuk menghadap Sang Khalik. Sebagai ajakan, memang harus dikeraskan, bukan dibisik-bisikkan. Itu sunnahnya. Dan sepemahaman saya hal ini dalam konteks NKRI, itu dilindungi UUD 1945.

Pertanyaannya adalah bolehkah kita mempermasalahkan suara adzan? Tergantung dari siapa kita dan apa urusan kita dengan suara adzan itu. Siapa guru kita, juga buku apa yang kita baca. Mungkin juga tergantung dari jenis jenis air minum yang kita minum.

Saya senang sekali mendengar suara adzan anakku, Luqman, siswa Pondok Pesantren Darul Fallah Bissoloro. Merdu sekali. Ketika dia masih usia SD, saat saya masih sekolah di Malaysia, saya biasa minta tolong kepada ibunya perdengarkan langsung suara adzannya yang terdengar sayup-sayup dari masjid melalui telepon seluler. Waktu itu, jelang waktu shalat dia sudah ke masjid, apakah disuruh atau tidak. Jika masjid lain sudah adzan, maka dia juga akan nyalakan ampli lalu mengumandangkan seruan ilaihi Rabbi.

Saya juga senang sekali mendengar suara adzan orang tua di Masjid sebelah. Walaupun suaranya tidak merdu, kadang lupa urutannya, juga disertai batuk. Saya tetap menganggapnya indah dan merdu. Ini juga mengingatkan saya kepada almarhum ayah saya, Dollar Siagian, yang pernah menjadi “tukang” di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok, hingga akhir hayatnya.

Setiap mendengar adzan sejatinya memang kita hentikan seluruh aktivitas. Sependek pengetahuan saya, itulah etikanya bagi seorang muslim yang memiliki ghirah keagamaan yang baik. Dalam beberapa seremoni acara resmi, sering pejabat yang sedang berpidato, menghentikan ceramahnya saat adzan, lalu dilanjutkan setelahnya. Di kampus saya juga pernah sedang ada ujian munaqasyah skripsi dihentikan saat adzan, lalu dilanjutkan setelahnya.

Sebab jika masih beraktivitas, atau sedang asyik nonton tv, lagi hafal lagu, atau senang main musik, atau mungkin sedang pidato atau cerita dengan teman, maka suara azan yang keras dari masjid itu bisa menjadi persoalan, diumpat dan dicaci. Dipandang mengganggu atau tidak toleran kepada umat yang beragama lain. Tuduhan seperti ini, tidak jarang dari umat Islam itu sendiri. Ya mereka yang sibuk dengan urusan keduniaannya.

Masih di kampus saya, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar ada himbauan dari Pak Dekan agar menghentikan kegiatan akademik kalau sudah jelang azan. Saya senang sekali dengan seruan semacam ini. Mantap pak Dekan. Diantara kami, civitas akademik menyambutnya dengan cara yang berbeda. Ada yang menurutinya, ada yang menunggu hingga selesai urusannya, ada yang tidak mengindahkannya.

Bahkan beberapa kali saya shalat di masjid Kampus UIN, ada segerombol mahasiswa dari fakultas tetangga yang tetap main musik dan latihan menari, walau sudah berkumandang dan bahkan setelah kami selesai shalat, mereka tidak ambil peduli dengan azan. Ini kampus Islam lho! Padahal jarak dari masjid ke tempat latihannya hanya satu dua jengkal saja.

Bahkan di dekat masjid lingkungan kami, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan yang ada label “Islam” nya, justru menganggap suara adzan itu angin lalu. Buktinya mereka tidak datang ke masjid, walaupun jaraknya hanya dibatasi tiga meter jalan setapak.

Itulah hidup kita. Itulah keanekaragaman kita. Sampai sejauh itulah ghirah keberagamaan kita. Itulah demokrasi dan itulah kebebasan. Katanya beragama itu tidak boleh diukur dari jilbab, mukena, pakaian koko, dan hilir mudik masuk masjid. Dia bilang itu bukan tolok ukur keimanan dan ketaqwaan seseorang.

Tentu tidak semua punya pikiran demikian. Satu dua kali, saya pernah dengan nyonyaku minum kopi di salah satu warkop top dan terkenal di kawasan Panakukang, Makassar, persis di depannya ada masjid megah. Indahnya adalah ketiga suara adzan berkumandang dari masjid sebelah, semua pelanggan yang terdiri dari pemuda, aktivis dan kalangan profesional, bergerak menuju masjid.

Tidak ada satupun yang tinggal. Jadilah jamaah masjid meluber sampai ke teras. Setelah shalat, mereka kompak kembali ke warkop minum kopi. Suasana ini sering kali saya dapati. Indahkan?

Bagaimana dengan saudara-saudara kita dengan non Muslim? Apakah mereka boleh merasa terganggu dengan suara adzan.
Dewasa ini memang, khususnya dalam lima tahun terakhir ini, ada satu dua kasus orang non muslim, katanya mempersoalkan suara adzan. Ribut dan bising. Mengganggu ketenangan warga lain. Itu yang saya baca di media massa termasuk di media sosial. Entah benar atau bagaimana, entah pula apa itu murni atau dipolitisasi.

Pengalaman saya di kampung dulu, Sipirok, Sumatera Utara, hidup dengan banyak orang non Muslim. Guruku adalah non Muslim. Ketua kelas saya waktu SMP adalah non Muslim. Tetangga sawah kami, adalah Robert, anak pendeta, adalah non Muslim. Tetangga saya di Minasa Upa dulu adalah non Muslim, tak jauh dari masjid. Belum pernah saya dengar mereka keberatan dengan suara adzan. Mereka juga mengadakan Khutbah atau semacam pengajian yang nyanyian dan suara pendetanya sampai masuk ke rumah, kami juga tak pernah protes. Tetanggaku yang lain yang mayoritas Islam, juga tidak pernah merasa terganggu, walaupun kadang parkir kendaraan mereka menutupi pintu pagar kami.

Lalu siapa sebenarnya yang mempersoalkan suara adzan? Siapa yang mengatakan itu mengganggu ketentraman warga. Apakah ini dari umat Islam itu sendiri yang seolah-olah merasa sebagai bentuk toleran? Atau siapa ya?

*) Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT