Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Secara reflektif, kata “mereka” hanya menunjuk ke komunitas yang “ditunjuk”. “Mereka” adalah kata distingitf, pembeda, atau menunjukan adanya yang tak sama, dengan satu entitas lain, yang disebut dengan “kita”. Dalam argumen “kolonial”, “mereka” lebih dekat dengan bangsa si penjajah. Sementara lawannya adalah “kita”. Kata “Mereka” merupakan pengambil jarak yang pasti dan otentik dengan “kita”, yang menunjuk pada dual entitas. yakni entitas “disana” dan entitas “disini”. Disana adalah mereka, disini adalah kita. (tulisan ini sengaja tidak menggunakan kata “Mereka atau Kami”).
Kata ini biasanya direfleksikan dalam kalimat sederhana seperti; “itu kelompok mereka”, “disini kelompok kita”. “Biarkan mereka jalan sendiri”, “kita juga bisa bekerja tanpa mereka”. “Mereka” atau “Kita” adalah dua kata yang bemakna positif sekaligus negatif. Dalam keseharian, dua kata ini bisa menjadi pemantik ketegangan jika ia dimaknai secara “pejoratif”, tetapi sangat komunal, memersatukan bila ia tak tersekat oleh kepentingan.
Dalam politik, “mereka atau kita” bisa menjadi destruktif, karena ia menunjuk kelompok lain inferior dan mengukuhkan kelompoknya superior. inferioritas dan superioritas yang dirasakan seperti ini bisa menjadi sumber ketegangan. Seorang politisi bisa dengan leluasa menjatuhkan kelompok lawannya yang disebut secara merata dengan kata “mereka”, sambil meletakkan kelompoknya dengan kata “kita” dalam perkakas yang lebih “sempurna”.
Hal ini selalu muncul dalam forum-forum terbuka. “Di pihak pemerintahlah yang bertanggungjawab atas meluasnya kemiskinan saat ini. Karena [mereka] adalah pengambil kebijakan”. Lawan kalimatnya adalah; “[Kita] meminta pemerintah untuk bekerja maksimal memperbaiki nasib rakyat yang terus-menerus mengalami penderitaan akibat kenaikan harga”. kalimat ini jelas distingitf, jelas dual perception, dua kalimat sebagai pembeda dari dua kelas politik. Kelas yang berkuasa dan kelas oposisi.
Fakta yang paling telanjang adalah persaingan politik di Pilpres. Hanya ada dua kandidat, dua pasangan yang “berperang” secara terbuka. Maka “kami” atau “mereka” menjadi lebih keras dan nyaring gaungnya, tidak saja dalam speaker televise sebagai media kampanye dan perebutan pengaruh, tetapi juga merambah ke lorong-lorong. Tidak saja bagi mereka yang “demam” politik, tetapi juga mereka yang apolitik. “Mereka” atau “kita” mengatami detak yang tak terbendung, diantara dua kandidat yang berpasangan.
Atas alasan ini, “kita” yang berkampanye #GantiPresiden2019 menuduh polisi yang menghalangi kegiatannya merupakan kubu “mereka” yang mendukung #jokowi2periode. Sebaliknya juga begitu, bahwa “kita” #jokowi2periode berhadapan dengan mereka yang menghendaki #gantipresiden2019. Keduanya berdiri di atas alas kata “mereka” atau “kita”.
Pada titik yang paling keras, pertentangan seperti ini menjadi semacam alasan kuat untuk saling “mensakralisasi” dan “mendesakralisasi” kandidat yang di dukung. Dalam kalimat yang agak kasar bisa dinyatakan’ “Jika kalian ada di pihak mereka, maka kalian adalah musuh kita”. “Mereka bukan bagian dari kita, karena itu, sulit untuk bersama, kecuali mereka mendukung apa yang kita usung”.
Wallahu a’lam bishowab
*) Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unhas