Oleh : Arifudin*
Belakangan ini, Indonesia terus dihebohkan dengan pesta demokrasi pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Salah satu pemicu kehebohan adalah munculnya tagar “2019 Ganti Presiden” yang diusung oleh salah satu kubu politik di tanah air. Pilpres 2019 sendiri adalah medium untuk menentukan pemimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian sudah sepatutnya persatuan ini dijaga dan dirawat oleh segenap anak bangsa demi keutuhan Indonesia itu sendiri. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus mampu diaplikasikan dan direalisasikan dalam kehidupan berbangsa. Perbedaan pandangan politik tidak menjadi alasan untuk melahirkan perpecahan antarsesama.
Seperti kita saksikan sendiri, kontestasi Pilpres 2019 sudah mulai memanas dengan munculnya kampanye yang saling berlawanan di media sosial. Kedua pihak pihak tampak mengunggulkan pilihannya masing-masing. Perdebatan antar tim sukses yang mengandalkan calon masing-masing telah turut memberi andil dalam memanaskan situasi politik di tanah air saat ini.
Mengacu pada konstitusi di negara kita, pilpres adalah salah satu instrumen demokrasi yang digelar lima tahun sekali. Dengan demikian, tagar 2019 ganti presiden menjadi tidak relevan untuk dikampanyekan, sebab tanpa tagar tersebut prosesi pergantian presiden akan tetap berlangsung dalam pilpres nantinya. Sayangnya, beberapa oknum politisi dari pihak berseberangan telah memainkan trik politik yang tidak sehat dengan mengusug tagar 2019 ganti presiden sehingga melahirkan gejolak di tengah masyarakat.
Dalam artikel ini, penulis menekankan titik fokus pada pola politik damai dengan menghindari kericuhan yang tidak penting sehingga memecah belah bangsa. Dalam satu kesempatan, Najwa Shihab pernah mengatakan: “Ambisi politik tentu wajar saja, selama pandai menginsyafi batasan etika.” Kalimat singkat yang diucapkan Najwa ini mengandung pengertian bahwa ambisi yang besar untuk merebut kursi presiden, DPR RI, DPRD dan DPD jangan sampai keluar dari batas-batas etika. Nilai-nilai luhur dari politik itu sendiri harus mampu diterapkan oleh para politisi dan masyarakat.
Politik yang damai akan membawa kita dalam satu kekokohan, untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Indonesia dulu dihadapkan dengan penjajah, baik itu secara fisik dan non fisik oleh Belanda. Sementara saat ini, seperti kata Soekarno, kita justru menghadapi bangsa kita sendiri. Dengan demikian tidak sepantasnya rivalitas sesama anak bangsa justru melahirkan perpecahan.
Perbedaan adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Sejatinya perbedaan harus mampu mempersatukan, bukan justru memisahkan. Kondisi ini hanya akan tercapai jika kita konsisten menjalankan politik damai sesama anak bangsa. Perbedaan pandangan politik memang tidak mungkin dihilangkan, tapi perbedaan itu bisa dikelola agar tidak saling berbenturan satu sama lain.
Dalam Islam sendiri perbedaan dianggap sebagai rahmat. Dalam perjalanan sejarah Islam, perbedaan ini sudah terjadi sejak masa sahabat, tabi’in, tabiit tabiin, hingga para imam dan ulama. Artinya, perbedaan telah menjadi kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud Dan Kamilah yang melakukannya.” (QS. Al-Anbiya’: 78 – 79). Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan itu mucul bukan hanya di tempat-tempat besar, tapi justru dimulai dari tempat kecil.
Mengacu pada ulasan di atas, dalam rangka mewujudkan politik damai dalam Pileg dan Pilpres 2019, antara satu individu dengan yang lainnya mesti terus memupuk rasa toleransi. Diri pribadi mesti memiliki pilihan serta alasan sehingga yakin bahwa yang dipilih adalah yang terbaik. Namun demikian, setiap pribadi juga mesti sadar bahwa pilihan orang lain yang tidak sama belum tentu lebih jelek dari pilihannya. Semua berhak ber’ijtihad’ dalam menentukan pilihan. Semua memiliki kemungkinan benar dan salah. Maka, sikap toleran adalah jalan yang mesti ditempuh.
Walahu’alam bishowab.
*) penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMat) Jurusan PPKn Semester Akhir