Oleh : Muh. Asratillah Senge*
Komunikasi Politik yang memerdekakan.
Komunikasi politik adalah hal yang sangat vital bagi sebuah partai politik. Apa yang dimaksud dengan komunikasi politik ?. barangkali pertanyaan yang perlu kita jawab terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan komunikasi adalah suatu aktivitas atau proses transfer atau transformasi pesan (message) dari komunikator (yang menyampaikan pesan) kepada komunikan (sasaran pesan) dengan menggunakan pesan tertentu melalui media tertentu dan mengharapkan adanya respon atau efek terhadap komunikan (sasaran pesan).
Lalu apa yang membedakan antara komunikasi politik dengan komunikasi pada umumnya ?.Pada dasarnya komunikasi politik ditandai dengan muatan dan kepentingan politik yang melatarbelakangi tindak komunikasi . Kalau aktivitas komunikasi bisa dipecah menjadi empat elemen dasar yaitu : 1. Komunikator 2. Komunikan 3. Media dan 4. Efek, maka dalam komunikasi politik, komunikator yang menyampaikan pesan adalah subjek atau pihak yang terlibat dalam institusi politik formal atau bisa juga pihak yang memiliki kepentingan politik baik jangka pendek atau jangka panjang . Bisa juga dalam komunikasi politik komunikan yang menerima pesan merupakan sekelompok orang yang berasosiasi kuat dengan lembaga politik tertentu, baik secara ideologis maupun infrastruktur kelembagaan. Dan yang terpenting dalam komunikasi politik adalah efek yang dihasilkan oleh tindakan komunikasi tersebut adalah “efek yang politis”.
Apa yang dimaksud dengan efek politis ? Menurut Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, politik dapat di pahami sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan. Sehingga kalau kita mengikuti definisi tersebut maka yang dimaksud dengan efek politik adalah efek yang bisa mempengaruhi, merubah ataupun mentransformasi proses pembentukan dan pembagian kekuasaan.Tapi perspektif kita mengenai efek politik harus diperluas dengan menggunakan perspektif fenomenologi politik.
Menurut Ito Prajna-Nugroho, politik dalam perspektif fenomenologi , bukanlah pertama-tama berkaitan dengan tindakan yang mekanis, rutin ataupun prosedural tetapi politik adalah Erlebnis yaitu pengalaman yang dihayati secara eksistensial. Politik berkenaan dengan pengalaman akan dunia, perjumpaan dengan diri sendiri dan orang lain, sekaligus konfrontasi di antara manusia yang sama-sama bebas sejajar. Politik adalah sebuah bentuk penyingkapan cara berada manusia yang senantiasa bergerak di antara keniscayaan dan kebebasan, bertahan di antara kesia-siaan dan kebermakanaan, bergulat diantara tatanan (order) dan ketak bertatanan (chaos). Sehingga politik adalah ikhtiar eksistensial manusia dalam terlibat sekaligus memaknai dirinya dan dunianya tanpa henti, sambil menyadari tidak adanya rumusan final mengenai keterlibatan dan kebermaknaan.
Bagi saya mengetengahkan politik dalam perspektif fenomenologis sangatlah penting, karena kita membutuhkan perspektif baru dan segar mengenai politik dan komunikasi politk. Walaupun bersifat preskriptif, tetapi fenomenologi dapat memberikan kita perspektif komunikasi politik yang bukan dalam relasi yang mendominasi, di mana konstituen dan simpatisan hanya dijadikan sebagai objek komunikasi politik belaka, sebagai pihak yang hanya ingin direkayasa respon dan perilaku politiknya. Fenomenologi dapat memberikan orientasi kepada komunikasi politik, agar efek politis dalam komunikasi politik harus diarahkan agar pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi politik tersebut bisa makin terlibat dengan dirinya dan dunianya secara semakin bermakna.
Kita boleh berbangga dengan pencapaian demokrasi politik Indonesia saat ini, tetapi jika kita melihatnya dengan cukup teliti, demokrasi politik di Indonesia masih bersifat prosedural belaka, sehingga proses politik hanyalah bersifat instrumental. Indonesia masih belum memiliki kultur- baik ide, tradisi dan perilaku- demokrasi politik yang memadai. Perspektif fenomenologi dalam komunikasi politik dapat membantu mematangkan kultur demokrasi politik di Indonesia.
Menuju Hubungan Yang Otentik
Firmanzah (2007) dalam bukunya Marketing Politik, mengatakan bahwa dalam era demokratisasi sekarang ini hubungan antara konstituen dengan partai politik bukanlah hubungan yang ideologis tetapi merupakan hubungan yang sifatnya sama dengan aktifitas pertukaran (exchange) yang terjadi dalam dunia marketing pada sebuah perusahaan jasa. Dalam hal tertentu ini ada benarnya, kita tidak bisa pungkiri bahwa seorang kandidat presiden, gubernur, kepala daerah atau anggota legislatif jika ingin meraup suara signifikan dan memenangkan pemilihan maka dia harus memiliki basis popularitas yang cukup baik, nanti dari popularitas inilah bisa dibangun aksepbilitas (tingkat keberterimaan di masyarakat) lalu akhirnya membangun basis elektibiltas (tingkat keterpilihan).
Tetapi akan menjadi persoalan jika relasi politik antara elit politik dengan konstituen hanya didasarkan pada citra belaka. Bukan citra politik nya yang menjadi masalah, yang menjadi soal jika citra politik tersebut telah berbuah dusta, yaitu saat citra politik yang “dikonsumsi” oleh masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan ril sang kandidat, inilah yang disebut dengan virtualitas politik oleh Yasraf Amir Pilliang (2004).
Strategi Marketing sebagai alat bukanlah sesuatu yang salah, tetapi yang menjadi penting adalah jika aktor-aktor politik yang bersaing yang menggunakan instrument-instrumen dalam marketing politik telah memiliki kapabilitas, kapasitas dan virtue yang rata-rata sama levelnya.
Lalu bagaimanakan “hubungan yang otentik” antara partai politik dan konstituen serta simpatisannya ? menurut penulis hubungan yang otentik adalah hubungan yang rasional, bermakna dan setara. Apa yang dimaksud dengan hubungan yang rasional ? walaupun rasio bukanlah potensi satu-satunya dan rasionalitas bukanlah tolak ukur satu-satunya, tetapi menempatkan indikator rasional sangatlah penting, hal ini karena salah satu persyaratan minimal dari politik yang demokratis dan politik yang menganggap penting peran akal sehat adalah ke-rasionalan, artinya semua aktifitas politik harus dipertimbangkan secara rasional dan tidak meremehkan kemampuan rasional manusia. Menurut Immanuel Kant dusta atau bohong adalah tindakan yang meremehkan kemampuan rasional manusia. Maka dalam konteks hubungan antara partai politik dengan simpatisan dan konstituennya, tidak boleh didasari oleh dusta.
Lalu apa yang dimaksud dengan hubungan yang bermakna ? Bahwa partai politik dalam berhadapan dengan konstituen dan simpatisan, bukan dalam hubungan yang sifatnya prosedural dan mekanistik belaka, tetapi betul-betul didasari oleh hubungan kemanusiaan yang paling mendasar. Tidak hanya memperhitungkan simpatisan dan konstituen hanya dalam angka-angka belaka, berkomunikasi mereka dengan janji-janji palsu belaka. Kalau kita meminjam pandangan fenomenologi dari Immanuel Levinas mengenai L’autre (wajah), maka partai politik seharusnya memupuk rasa tanggung jawab dan militansi perjuangan bila sedang berhadapan atau “melihat” wajah-wajah para simpatisan dan konstituen.
Dan yang terakhir relasi dan komunikasi politik sebaiknya dibangun diatas dasar prinsip kesetaraan. Orientasi politik Indonesia pasca Orde baru telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru, diantaranya adalah penguatan posisi warga Negara, jadi yang dimaksud dengan warga negara adalah sesuatu yang jauh melampaui konsep “penduduk”. Indonesia tidak hanya memiliki penduduk tetapi yang terpenting Indonesia memiliki warga Negara (citizen), sedangkan warga Negara ditandai dengan keterlibatan mereka dalam segalam aspek berbangsa dan bernegara secara aktif dan bebas serta bertanggung jawab, kata kunci dari kewarganegaraan adalah partisipasi terutama dalam sektor politik, dan tidak ada partisipasi yang optimum jika tidak dilandasi oleh prinsip kesetaraan.
*) Penulis adalah Direktur Profetik Institute