Oleh : Arifudin*
Penulis mengajak para pembaca yang budiman untuk merefleksi beberapa hal yang rupa-rupanya penting mendasar untuk hari “depan”. Misalnya dahulu, tentang pesan Presiden Soeharto di muka ICMI agar kita jangan berpikir dan bersikap “primodial” atau sempit, tetapi semakin meluas dan semakin terbuka “transparansi”.
Dalam bidang ras, misalnya, kita harus berpandangan luas, tidak hanya berkisar dalam batas-batas kesukuan atau kebangsaan saja, melainkan “global” atau “planeter”. Istilah lain: adalah universal. Kita tentu saja menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, akan tetapi, dalam Pancasila kita punya sila ke_dua, yakni kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ini sama dengan mengakui dimensi “universalitas” dari kebangsaan kita.
Jika dahulu kita masih “terkurung” dalam batas-batas kesukuan, kemudian dapat meningkatkan diri ke dalam penghayatan pascasuku “alias” nasionalisme Indonesia, maka generasi muda sekarang sudah lebih lanjut memekarkan “penghayatan” mereka dari tingkat nasional Indonesia ke tingkat yang lebih luas lebih komprehensif, yakni alam penghayatan pascanasional, pasca_Indonesia. Ini tidak berarti bahwa kita lalu kehilangan nasionalisme atau ke_Indonesiaan kita. Sama sekali tidak, Manusia Indonesia pun tetap masih menjunjung budaya suku mereka, kendati mereka sudah masuk dalam alam pascasuku.
Kesasak kita, kejawaan, keminangan, keacehan, kemalukuan, atau keirianan kita tidak kita “kikis” habis, tetapi kita dewasakan, kita tingkatkan dalam kerangka pergaulan dan penghayatan Indonesia yang berwawasan nasional.
Seorang pascasarjana pun tidak kehilangan kesarjanaan_Nya lalu menjadi orang lain sama sekali sehingga apa yang ia pelajari untuk lulus sarjana lalu hilang. Justru sebaliknya, selaku seorang pascasrjana ia meningkatkan ke_ilmuannya, sehingga kesarjanaannya lebih luas, lebih mendalam, lebih multidimensional. Juga kakek nenek yang mempunyai cucu_cucu justru lebih kaya dan lebih mendalam penghayatannya sebagai manusia yang hidup dan menghidupi. Begitu juga generasi muda yang sudah berpikir dan bercita rasa “global” Misalnya selera musik rock, dangdut, pop, dan lain-lainnya, ini alias pascanasional, tidak harus kehilangan ciri khas keindonesian mereka.
Pasca artinya sama identitasnya tetapi meningkat pendalamannya, luasnya, lebih memekar, lebih canggih, lebih multidimensional. Dengan kata lain, lebih dewasa. Dan mudah-mudahan ini berarti lebih bermoral, lebih beretika, lebih jujur, dan semakin mendekati status manusia se_utuhnya. Ini tidak hanya berlaku dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi, berlaku juga dalam segi-segi kehidupan “ipoleksosbudaghankamling” dan lain-lain, khususnya dalam dimensi keagamaan dan religiositas. Walahu’alam bi’showab
Mataram, 18/12/2018
*) Penulis adalah Mahasiswa Semester akhir Universitas Muhammadiyah Mataram