Oleh : Asdar Nor*
Dunia adalah milik bersama. Segala sesuatu yang ada di dalamnya pun semestinya bukan menjadi masalah jika harus dinikmati bersama. Tetapi ada yang lebih penting daripada saling berbagi kenikmatan dunia. Ini semua terkait dengan manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Hal fundamen yang mendasari prinsip zoon politicon itu adalah niat yang tertanam di atasnya. Prinsip ini tidak akan terealisasi jika berdasarkan atas niat egoisme atau hedonisme seseorang atau kelompok tertentu semata. Karena merupakan hal yang fundamen maka seharusnya benar-benar berdasar atas peri kemanusiaan dan keadilan. Pepatah inggris mengatakan “where there is no vision, the people perish”, dan niat tersebut adalah visi yang harus dijunjung untuk menjalankan misi berupa prinsip zoon politicon tersebut. Jika tidak seperti itu, maka yang terjadi adalah kemusnahan, kekacauan, dan rusaknya sistem dan tatanam kehidupan.
Pancasila sebagai filosofische grondslag (ideologi bangsa) telah mengatur secara eksplisit mengenai semua itu. Pada sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan konseptisasi yang menolak secara tegas terhadap segala hal yang mengancam dan merebut kemanusiaan baik secara intern maupun ekstern. Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 pun telah dikontruksi bahwa “…maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Artinya, segala tindakan yang dimaknai sebagai sebuah bentuk pemusnahan, pembatasan, dan penistaan terhadap kemanusiaan dan keadilan seseorang atau kelompok orang harus benar-benar dihapuskan secara radix. Karena benar-benar mengancam eksistensi kehidupan.
Melalui semua itu, maka di dalam batang tubuh UUD 1945 telah di atur secara gamblang mengenai Human Right (Hak Asasi Manusia). Mulai dari hak untuk hidup, hak utnuk tidak disiksa, terbebas dari perlakuan diskriminatif, dan lain-lain telah diatur dalam konstitusi. Dengan semua itu, telah mengisyaratkan bahwa Indonesia menjaga dan melindungi hak asasi manusia setiap orang tanpa mengenal diversity (perbedaan). Bahkan setiap negara di dunia telah menggaungkan hal tersebut. Universal Declaration of Human Rights 1948, Declaration on The Rights of Peoples to Peace 1984, Vienna Declaration 1993, dan deklarasi HAM lainnya, semestinya telah cukup untuk benar-benar menjaga dan melindungi Hak Asasi Manusia setiap individu maupun kelompok secara sustainable (berkelanjutan). Bahkan tanpa semua itupun, sebagai makhluk yang merdeka semestinya sadar bahwa di atas haknya, ada hak orang lain yang tidak boleh dilanggar. Dan itulah makna keadilan yang sebenarnya.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa sakit tak berdarah adalah ketika cinta tak tersampaikan, tetapi semua itu salah karena sakit tak berdarah yang sebenarnya adalah ketika ekspektasi tak sesuai realitas yang diinginkan. Inilah yang terjadi pada saat ini, pada detik ini. Ketika para pembaca masih sempat untuk membaca dengan nikmat, di luar sana ribuan bahkan jutaan entitas tak bersalah disiksa, ditindas, dimusnahkan, tanpa mengenal rasa belas kasihan apalagi Hak Asasi Manusia. Sekali lagi, inilah realiatas atau kebenaran yang terjadi saat ini. Bagaimana India membasmi etnis Muslim Bengal dan Kashmir, Rusia yang berusaha memusnahkan etnis Muslim Tatar, Myanmar yang membasmi etnis Muslim Rohingya, Israel yang terus-menerus membunuh secara keji satu-persatu Muslim Palestina. Dan saat ini, detik ini, China (Tiongkok) yang berusaha melenyapkan etnis Muslim Uighur. Cukuplah menjadi manusia untuk simpati, menangis dengan semua itu.
Uighur adalah minoritas muslim yang sebagian besar berada di Xinjiang, China Barat. 45% penduduk di daerah tersebut adalah Muslim Uighur. Dan sampai saat ini, 90% Muslim Uighur ditahan dalam suatu camp yang merupakan camp penahanan massal. Mereka disiksa, tidak diberi makan, anak-anak dipukuli, wanita diperkosa, dan bahkan yang terbesar adalah meraka disuruh untuk meninggalkan kepercayaan mereka, agama mereka yaitu Islam oleh Komunis China. World Uyghur Congress menyatakan dalam laporannya bahwa para tahanan dibui tanpa dakwaan dan dipaksa meneriakkan slogan Partai Komunis. Kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch memberikan laporan kepada komite PBB yang mencatat tuduhan penahanan massal pada camp di mana para tahanan dipaksa melakukan sumpah setia kepada Presiden China, Xi Jinping. Telah jelas semuanya, telah jelas mana hitam dan mana putih. Sebagaimana telah jelas, mana yang seharusnya disebut melakukan tindakan ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme.
Apakah semua ini dapat dibenarkan dan dibiarkan begitu saja? Ataukah karena bukan Kelompok Muslim pelakunya sehingga dibiarkan begitu saja? Atau haruskah non muslim yang menjadi korban sehingga semuanya tidak menutup mata? Cobalah untuk berpikir objektif dan open mind sejenak. Jika dalam diri terus menutup mata dengan semua itu maka tidak layaklah diri disebut sebagai manusia. Karena Hak Asasi Manusia telah melekat pada manusia sejak lahir sedangkan hanyalah binatang yang tidak mempunyai dan tidak mengenal Hak Asasi Manusia. Begitulah sekarang adanya, muslim adalah objek utama perbincangan ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme. Mereka (termasuk media) tidak pernah meyebutkan seputar tindakan ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme Budha, Hindu, Yahudi, Kristen, dan Komunisme China, jika logika yang digunakan berlandaskan atas agama dan keyakinan. Sementara media terus-menerus menyajikan platform entrepreneur politik yang selalu menggambarkan Islam dengan tidak benar. Tetapi anehnya jika diungkit, mereka (termasuk sebagian Umat Islam) selalu mengatakan jangan rasis dengan membawa-bawa nama agama. Inilah yang dinamakan fallacy (kesalahan berpikir), mereka yang menyajikan, mereka pula yang melarang.
Sebenarnya semua ini tidak terkait dengan agama dan kepercayaan tertentu. Makanya, seharusnya media menyajikan berita secara seimbang dan objektif serta tidak menyudutkan pihak tertentu. Jika berintegritas, pastilah disajikan dengan sebenar-benarnya. Tetapi itu sudah menjadi barang langka dan hampir punah saat ini. Makanya hanya media-media yang berintegritaslah yang berani mem-publish opini seperti ini. Dan perlu diketahui bahwa jika suatu penganut agama dan kepercayaan tertentu melakukan perbuatan menyimpang, bukan agama atau kepercayaannya yang disalahakan tetapi benar-benar murni penganutnya, yang salah adalah ketika penganut suatu agama atau kepercayaan memaksa secara radix dan tidak mengindahkan Hak Asasi Manusia terhadap penganut agama atau kepercayaan lain untuk meninggalkan atau keluar dari agama atau kepercayaannya itu. Seperti yang dilakukan Pemerintah China (Tiongkok) kepada etnis Muslim Uighur. Dan yang seperti merekalah seharusnya dikatakan sebagai kelompok yang melakukan tindakan ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme.
*) Penulis adalah Sekretaris Bidang Hikmah Pikom IMM Hukum Unhas