Beranda Mimbar Ide Tiga Ritual Kematian: Nalar, Demokrasi dan Keadilan

Tiga Ritual Kematian: Nalar, Demokrasi dan Keadilan

0
Ermansyah R. Hindi

Oleh : Ermansyah R. Hindi*

Pada hari-hari terakhir, sebelum temponya melaju cepat, negeri ini masih memiliki sisi buram yang kadangkala tidak diketahui darimana datangnya. Dari titik inilah, kita akan melakukan refleksi atas kondisi Indonesia mutakhir diantara bayangan hitam dari mimpi buruk kita, sekalipun kita masih menghela nafas panjang secara perlahan-lahan sejauh perjalanan sejarah dengan tuntutan-tuntutan yang akan membebaskan dirinya. Selama ini, tidak satupun ahli sejarah atau pemikiran genealogis untuk mengevaluasi kembali seluruh nilai Keindonesiaan yang akan dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan mengatakan: “Akhir Zaman”, “Akhir Sejarah”, “Akhir Ideologi”, “Akhir Indonesia”, dan “Akhir dari Libido”, kecuali teks atau struktur bahasa politik tentang “keruntuhan mitos” atau kritik musik dan puisi atas kondisi mutakhir membuat orang tidak waras dan pandir menertawakan suatu permainan dari orang waras. Tetapi anehnya, orang tidak waras tidak membuat orang tertawa; ia hanya menertawakan dirinya sendiri mengapa bisa terjadi. Orang tidak waras ternyata hanya mampu berpikir apa yang tidak dipikirkan oleh orang-orang berakal sehat. Ada suatu masa, dimana orang tidak waras berbicara tentang kebenaran dan logika yang akan menuntaskan seluruh alur cerita.

Mungkin tidak berlebihan apabila dalam pembentukan diskursus ini menguraikan secara singkat tiga ritual kematian yang menggantikan istilah krisis dan ketidakhadiran.

(1) NALAR. Bentuk ritual kematian nalar memiliki hubungan dengan nihilisme. Kata lain, kematian nalar dari kebangkitan nihilisme, yaitu nihilisme yang meritualisasi kematian nalar. Nihilisme menihilkan “kehampaan”, sebab dengannya meninggalkan “pergolakan pikiran yang tidak terpikirkan”. Hal ini bukan sesuatu yang membuat kita gila, yang menyebabkan kita sedih dan kehilangan ingatan, melainkan lebih daripada pupusnya harapan. Bentuk nihilisme diantaranya mencakup “nihilisme birokrasi-politik” (korupsi dan seluruh perwujudannya) dan “nihilisme metafisika dan sejarah” (terorisme, kekerasan, dan seluruh perwujudannya). Dalam nihilisme, seluruh kehidupan akhirnya menjadi tidak nyata; ia digambarkan sebagai penampilan, yaitu penampilan palsu. Ia memiliki nilai nol dalam keseluruhannya. Karena itulah, subyek-nalar menjadi titik akhir substansi “Cogito-subyek Descartes” setelah citranya diproyeksikan dari bayangan setan kecil pikiran.

Mengilusikan gambar kesewenang-wenangan kuasa tanpa malu dan tabu seiring dengan seks bebas atau melacurkan diri melalui tubuhnya dari satu medium ke medium layar lainnya yang memproduksi nihilisme. Lain lagi, proses ritual kematian nalar yang ditandai ketika dana bencana Tsunami dan gempa bumi diselewengkan.

Di sini sebaliknya, ada kehidupan yang masih ada, tetapi ia masih tetap kehidupan telah jatuh yang sekarang terus berlangsung dalam suatu dunia tanpa nilai, tanpa cermin, terpisahkan dari makna dan tujuannya telah hancur. Kehidupan manusia tergelincir lebih jauh lagi menuju kelenyapan dirinya sendiri yang tidak terbayangkan (pikiran dan hasrat dimaterialisasi melalui tubuh), akhirnya terjatuh dalam kehampaan yang tidak terkira.

Betapa kekosongan atau kenihilan pada dandanan dipolesi dan ditopengi membuat orang terpikat, tertantang dan terangsang birahinya; ilusi atas makna, dimensi ironis dari bahasa dan permainannya yang menukik tajam dan penuh teka-teki. Libido melawan nalar. Tubuh milenial tunjukkanlah dirimu, “cantikkan”, “gagahkan”! Kini, ia bukan lagi sebagai keunggulan nilai kebenarannya, melainkan pemujaan kecantikan tubuhnya untuk menyebarkan dan melipatgandakan ilusinya sendiri. Sementara, birokrasi dibujuk-rayu oleh hasrat ekonomi. Sebaliknya, permainan politik uang melalui Pemilihan Umum telah meracuni pikiran atau nalar sebagai bagian dari ritual kematian

(2) DEMOKRASI. Sebaliknya, kekacauan dari kehidupan memasuki proses ritual kematian demokrasi menghilang dalam ruang bebas yang nihil. Nihilisme memiliki arti yang dalam hal ini lebih berkaitan dengan struktur bahasa dan logika non-dialektis, berkaitan dengan hamparan dan gelombang peristiwa. Dalam penerapan konstitusional negara, setiap orang berbicara bebas, berpikir bebas, berekspresi bebas, dan berserikat bebas. Tidaklah cukup kita mengatakan, bahwa “tidak ada yang benar”, “tidak ada yang baik”, tetapi juga kenetralannya menghasilkan paradoks bahkan ilusi. Tetapi begitulah, demokrasi berbicara pada pemuja kebebasan termasuk pada pembajak demokrasi. Kita dapat berbicara bebas melalui demokrasi, sekalipun aneh. “Aku berbicara bebas”, “Anda berbicara bebas” tentang demokrasi! Kebenaran dan subyektivitaslah yang akan menguji demokrasi.

Singkatnya, gagasan tentang demokrasi atau gagasan tentang nilai-nilai yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan bukanlah tatanan oligarkis yang mengeluarkan wilayah pembentukan fiksi dan penciptaan ilusi tidak termasuk ahli sejarah, tetapi para pejuang demokrasi. Berkat nilai-nilai kehidupan tidak dapat dipisahkan dari fenomena ideologis menuju titik pertentangan identitas bangsa melalui pengingkaran realitas atas keragaman suku, agama dan etnis sebagai tanda keredupan demokrasi yang tidak terbayangkan. Jika mereka dipisahkan dari ritual perayaannya, maka hal itu terjadi karena prinsip mereka adalah kesenangan untuk menolak perbedaan, memerosotkan dan menggelincirkan hal-hal yang berkebalikan dengannya seperti kejujuran dan kebajikan lainnya. Nihil dalam nihilisme berarti kelenyapan pesona demokrasi, kelenyapan nilai dari ketelanjangan apa-apa yang kita kagumi dan tidak dilihat secara kasat mata. Namun demikian, dalam arti dasar, nihilisme menandakan nilai nol yang diambil oleh fiksi dan ilusi menerobos nilai-nilai demokrasi (dengungan ujaran kebencian, kebohongan, atau bully menjadi sesuatu yang lazim dalam suara-citra tontonan terutama melalui media sosial).

(3) KEADILAN. Ia bisa diasumsikan bahwa suatu kekuatan untuk berubah atau beracak sekaligus mampu untuk tidak mewujudkan daya yang dimilikinya, maka ia tidak lebih aneh jika sebaliknya kita juga mengasumsikan bahwa suatu cara mengendapkan ledakan “bom waktu” manusia bisa mewujudkan ritual perayaan yang tidak dimilikinya (kemiskinan muncul dari ketidakhadiran akan keadilan). Pergerakan citra ritual kematian diproyeksikan dalam obyek-obyek telanjang begitu nyata; obyek yang memantulkan (ketidakadilan) dianggap tidak patut dipersalahkan. Jika keadilan masih berada dalam logika kematian dan kerancuan tata bahasa; bukan akibat ketidakmampuan melakukan tindakan, tetapi teka-teki obyek, teka-teki “akhir dari akhir” (termasuk teka-teki bolak-balik orang jahat dan orang baik). Perbedaan asli antara bentuk yang “baik” dan yang “buruk” terjatuh dalam kualifikasinya, digantikan dengan ”lingkaran hitam dari siangnya moral” menjadi suatu pertentangan bukan dari “baik” dan “jahat” membutuhkan “bunuh diri moral”. Logika kematian dan kerancuan tata bahasa keadilan muncul disaat rumusan lima puluh bagi yang satu dan lima puluh persen bagi yang lain.

Mimpi dan visi Indonesia dalam kontestasi Pemilihan Presiden Tahun 2019 adalah bagaimana kita keluar dari “ketidakhadiran akan keadilan”. Teks Taufik Ismail dalam bait puisinya “Kami Muak dan Bosan” mengironikan nalar, demokrasi dan keadilan:

“Dahulu di abad-abad yang silam … Negeri ini pendulunya begitu serasi dalam kedamaian … pemimpinnya jujur dan ikhlas memperjuangkan kemerdekaan … Ciri utama yang tampak adalah kesederhanaan … Kini negeri ini berubah jadi negeri copet, maling dan rampok … Bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu … Negeri penyogok dan koruptor, Negeri yang banyak omong, Penuh fitnah kotor … Begitu banyak pembohong … Tanpa malu mengaku berdemokrasi … Tukang dusta, jago intrik dan ingkar janji”.

Bukankah juga pada Sila Kelima Pancasila: “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” mampu dihafal anak-anak di luar kepala, tetapi masih jauh dari kenyataan? Dimana keadilan di negeri ini, jika hanya hanya orang-orang kuat yang memiliki hukum: “Tajam di bawah, Tumpul di atas”, “Hukum tidak tebang pilih” atau “Hukum tidak pandang bulu” nampaknya memasuki wilayah semboyan dan retoris. Kita juga berbicara tentang ketidakadilan akibat “permainan angka” (statistik kemiskinan dan buta aksara). Tetapi semua itu hanya kekuatan untuk keluar dari permainan simulasi dan citra artifisial melalui media sosial dengan serangkaian pertentangan, pembujukan, perang opini, dan pengucilan lawan.

*) penulis adalah ASN Bidang Sosial dan Ekonomi Bappeda Kabupaten Jeneponto

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT