Oleh : Ahmad Yani*
Tak terasa kita telah berada di penghujung Ramadhan. Bulan yang penuh rahmat dan pengampunan akan segera meninggalkan kita. Telah hampir sebulan lamanya kita melatih dan mendidik mentalitas spritual, jiwa dan raga, dengan harapan predikat “insan taqwa” dapat disematkan-Nya kepada kita semua. Segala aktivitas ibadah mulai dari ibadah sholat, bersedekah, zakat, puasa, tadabbur Al-Qur’an, maupun ibadah amaliyah Ramadhan lainnya telah mengiringi perjalanan kita di bulan nan suci ini.
Di penghujung Ramadhan ini, semoga selalu melekat sebuah “Pengharapan” yang hakiki, yakni pengharapan akan kemana muara dari aktivitas peribadatan kita selama bulan Ramadhan. Pengharapan ini harus kita renungi secara mendalam di setiap “sudut-sudut” i’tikaf yang biasa kita lakoni di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Sebab, tanpa perenungan yang mendalam maka “Pengharapan” kita akan bias dan bercabang ke sana-kemari. Jadilah kita sebagai hamba yang tidak ikhlas melaksanakan segala amaliyah Ramadhan.
Seyogianya kita mendiagnosis diri kita, apakah segala aktivitas ibadah di bulan Ramadhan dijalankan untuk meraih ridho Allah SWT. Sebab, segala aktivitas ibadah kita satu-satunya harus murni berorientasi untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Jika pengharapan kita telah murni kepada Allah SWT, maka ini akan mendidik kita di luar hari-hariselain Ramadhan agar sekiranya kita hanya menggantungkan pengharapan kepada Allah SWT semata. Dalam hal apapun itu, pengharapan kita harus tertuju kepada Allah SWT semata, bukan kepada makhluk-Nya.
Konkretnya, berapa ribu kekecewaan yang mendera batin dan menikam jiwa telah kita rasakan di dunia ini? Atau bahkan tak terakumulasi lagi dalam sistem alat hitung. Mulai dari kekecewaan terhadap perjalanan karier, bisnis, dan hidup yang tak sesuai dengan perencanaan. Mungkin ada diantara kita yang setiap harinya harus merasakan berbagai kekecewaan hidup yang tiada bertepi. Setiap hari, ada-ada saja rasa kecewa karena perencanaan yang meleset tak mengenai target. Hingga akhirnya kita berspekulasi jika hidup ini tak adil dan kita selalu menyalahkan “angin” yang menggugurkan “daun”, padahal nyatanya “daun” yang gugur berderai tak semua akibat dari terpaan “angin”. Ini semua terjadi akibat kita teramat sering menggantungkan “pengharapan” kepada mahluk-Nya, namun bukan kepada Allah SWT semata.
Mari kita renungi sejenak. Berapa banyak awal perencanaan karier yang selalu menggantungkan (mengharapkan) kemampuan intelektualitas dan kecerdasan kita? Berapa banyak awal perencanaan bisnis kita yang selalu menggantungkan relasi dan jaringan yang luas? Dan berapa banyak perencanaan hidup kita yang selalu menggantungkan kepada kemampuan kita menganalisa kejadian yang akan datang? Mungkin, kita selalu memulai segala sesuatu karena percaya akan kecakapan dan kemampuan kita, namun kita lupa menggantungkan pengharapan kepada Allah SWT. Hingga akhirnya, ketika perencanaan tadi tak kunjung terealisasi, maka kita akan kecewa, berputus asa dan bahkan mengalami depresi tingkat akut.
Ibnu Athoillah dalam kitab Al-Hikam, jauh sebelum hari telah memperingatkan kita untuk tidak membawa sebarang apapun itu memperoleh apa yang diinginkan kecuali berharap kepada Allah SWT. Sebab pengharapan kepada Allah SWT, akan melahirkan hati yang selalu kuat menerima takdir walaupun tidak sesuai dengan keinginan. Singkatnya, pengharapan kepada Allah SWT, akan membuat pelaku memiliki hati yang selalu bahagia.
*) Penulis adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Hasanuddin