Beranda Mimbar Ide Jokowi dan Lemahnya Pemberantasan Korupsi

Jokowi dan Lemahnya Pemberantasan Korupsi

0
Furqan Jurdi

Oleh: Furqan Jurdi*

Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diangkat Presiden Jokowi Dodo lewat Keputusan Presiden Nomor 50/P tahun 2019, mendapatkan sorotan yang tajam dari berbagai pihak. Sejumlah nama-nama yang menjadi Pansel dipertanyakan integritasnya, karena dianggap bermasalah dan memiliki konflik kepentingan.

Desakan perombakan Pansel datang dari mantan Ketua KPK Abraham Samad. Abraham menilai Pansel sangat menentukan integritas pimpinan KPK yang akan terpilih untuk periode 2019-2023. Permintaan untuk melakukan perombakan Pansel kepada Presiden Jokowi untuk memastikan Seleksi Capim KPK independen dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik kelompok tertnentu.

Kalau melihat Track record Pansel memang patut dipertanyakan pemahamannya terhadap pemberantasan korupsi. sebab beberapa nama yang diangkat menjadi pansel tidak memiliki spesifikasi yang memadai untuk dianggap sebagai orang yang memahami pemberantasan korupsi.

Integritas Pansel  KPK

Langkah Pansel yang tidak mewajibkan nama-nama Capim KPK yang lolos ke tahap uji kompetensi untuk melaporkan Harta Kekayaan Kepada Negara merupakan langkah yang tidak bisa diterima. Sikap Pansel patut untuk dipertanyakan, apakah Pansel sudah transparan dalam menyeleksi Capim KPK? Kecurigaan yang paling mendasar bagi public adalah keputusan untuk tidak membuka hasil seleksi ke publik. Public patut menduga, ada indikasi Pansel meloloskan orang-orang yang tidak kompeten dalam tahap uji kompetensi.

Ketua Pansel Yenti Garnasih menganggap bahwa Laporan Harta Kekayaan bukan kewajiban Capim KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pernyataan ketua Pansel itu tidak memahami secara detail bunyi Pasal 29 Angka 11 UU KPK, yang menegaskan “seorang dapat diangkat sebagai pimpinan KPK, harus melaporkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Karena itu komitmen dan integritas Pansel dipertnyakan karena tidak memahami alur seleksi Capim KPK, untuk memastikan Pimpinan KPK yang terpilih nanti merupakan orang yang memiliki integrtias yang tinggi dan komitmen pemberantasan korupsi yang baik dan benar.

Capim KPK

Kecakapan, kejujuran, memiliki intgritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik adalah salah satu syarat untuk dapat menjadi pimpinan KPK. Kecakapan ini tentu berkaitan dengan pengetahuan dan pengalaman tentang pemberantasan Korupsi.

Jujur dalam setiap sikap dan tindakan, mulai dari diri sendri, dengan membuka rekam jejak, melaporkan harta kekayaan kepada Negara dan berbagai hal lainnya, bahkan dalam setiap tutur kata dan ucapan yang dilontarkan. Memiliki integritas moral yang tinggi. Seorang calon Pimpinan KPK standar moralnya tinggi, sehingga ia benar-benar dapat menjadi contoh bagi pejabat lainnya dan masyarakat pada umumnya.

Untuk mengetahui integritas moral yang tinggi dan reputasi baik capim KPK, public berhak untuk mengetahui proses seleksi yang dilakukan oleh Pansel, keterbukaan seleksi menjadi sangat penting agar public bisa ikut menilai Capim KPK dan mengenalnya lebih dalam lagi. Ini pentingnya keterbukaan capim KPK.

Karena selama ini, banyak yang menjadi Pimpinan KPK yang menjadi “petualang” bagi semua nasehat, sehingga agenda pemberantasan korupsi hanya mengandalkan sensasi dan euphoria belaka. Mereka bekerja untuk mencari sensasi dengan memanfaatkan lembaga Negara. Karena itulah keributan dalam pemberantasan korupsi terus terjadi.

Sikap Presiden Menentukan Nasib KPK

Mantan ketua KPK Busyro Muqoddas menilai komposisi Pansel Capim KPK yang dibentuk Jokowi dapat mencerminkan ketidakjujuran Jokowi dalam memberantas korupsi. dapat dikatakan bahwa Jokowi tidak berpihak pada pemberantasan Korupsi.

Tidak adanya sikap yang jelas dari Jokowi tentang pemberantasan korupsi memberikan efek yang buruk bagi KPK. Gerakan pelemahan kepada KPK (meskipun saya tidak setuju dengan kata melemahkan KPK) semakin canggih dan efeknya mengerikkan.

Bahkan pelemahan terhadap KPK yang terjadi sekarang ini, lebih berbahaya daripada kritik Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Sebab, yang menjadi pusat pelemahan adalah dari jantung KPK, yaitu pimpinannya.

Kuat dugaan kepentingan politik sedang mendominasi seleksi Capim KPK 2019-2023. Hal itu diperkuat dengan adanya “pencegahan” kepada Natalius Pigai yang notabene merupakan aktivis Kemanusiaan dan mantan komisioner Komnas HAM.

Ada indikasi, bahwa Pansel bekerja untuk sebuah “tujuan” pihak-pihak tertentu. Apalagi Banyaknya Anggota Polri yang mendaftar untuk menjadi Capim KPK menjadi masalah tersendiri.

Kehadiran Capim KPK dari kalangan kepolisian justru dapat dinilai sebagai langkah mundur pemberantasan korupsi. Sebab, kalau kita baca sejarah KPK dibentuk, alasannya karena Polisi dan Jaksa tidak efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.

Oleh karena itu, memang ini adalah bahaya institusi dan kemunduran pemberantasan korupsi. Yang paling bertanggungjawab atas masalah ini adalah presiden yang telah memilih Pansel.

Kenyataan ini seharusnya mendorong presiden untuk mengambil langkah konkrit supaya pemberantasan korupsi tidak surut dan melemah. Ini bukan semata-mata tentang KPK, ini tentang negara yang bersih, berwibawa, bebas KKN.

Langkah untuk memberantas korupsi tidak hanya memastikan KPK kuat, tetapi memastikan bahwa pimpinan KPK Harus memiliki integritas moral yang tinggi. Tanpa itu, sekuat apapun sistem, akan tetap rusak apabila diisi oleh orang yang moralitas rendah.

Untuk memastikan KPK menjadi berfungsi secara optimal, Presiden dengan kewenangannya untuk menunjuk Panitia Seleksi Capim KPK harus menunjuk orang yang paham dan mengerti alur pemberantasan korupsi, akademisi yang punya integritas dan moral, sehingga tidak terjadi rekruitmen berdasarkan kepentingan politik segelintir orang.

Maka besar harapan, agar KPK berfungsi secara optimal, Presiden perlu untuk mengevaluasi kerja Pansel yang akhir-akhir ini menjadi kontroversi di Masyarakat. Lebih jauh lagi presiden bersikap secara tegas tentang pentingnya KPK dan pimpinan yang berada di dalamnya yang mampu memimpin jalannya pemberantasan korupsi.

Untuk memastikan itu, selain Presiden bersikap tegas, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi seleksi Capim KPK Harus terus diperkuat. Karena itu transparansi dalam penyeleksian pimpinan KPK menjadi bagian penting adanya kontrol masyarakat tersebut.

Dengan demikian maka, semangat pemberantasan korupsi yang merupakan amanat reformasi dapat berjalan maksimal, sehingga korupsi dapat diselesaikan dengan tuntas.

Wallahualam bis shawab.

*) Penulis adalah Ketua Komunitas Pemuda Madani

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT