
Oleh : Ahmad Yani*
Di tengah euforia perayaan HUT RI Ke- 74 yang diseharusnya diisi dengan upaya merakit persatuan dan menyelami lautan kebhinnekaan, suasana batin kebangsaan kita seolah dihantam oleh ekspresi persekusi dan industri hoax demi menyebarkan virus kebencian dan permusuhan ke dalam rongga sel tubuh kebangsaan Indonesia. Seperti yang dialami oleh suadara kita—Papua—saat ini, adalah bukti tidak resistennya sel tubuh kebangsaan kita dalam menangkal virus kebencian dan permusuhan yang terus diproduksi oknum tidak bertanggungjawab. Tidak terinternalisasinya semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam nilai Pancasila sebagai “sistem imun” kekebalan tubuh kebangsaan merupakan titik nadir permasalahan.
Nyatalah apa yang pernah dituliskan oleh Yudi Latif bahwa kehidupan kebangsaan hari ini diliputi cuaca kebatinan dengan mega-mendung kerisauan, pertikaian, dan penggelapan. Sulit menemukan bintang penuntun yang menerbitkan kesamaan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju. Visi kebangsaan ibarat cermin kebenaran yang jatuh berkeping-keping. Setiap pihak hanya memungut satu kepingan, lantas memandang kebenaran menurut bayangannya sendiri. Rasa saling percaya pudar; bhineka warna sulit menyatu, rasa sulit bersambung, rejeki sulit berbagi. Pada dasarnya, merebaknya penetrasi pesan-pesan hoax dan kebencian ini mencerminkan dekadansi nalar-etis, nalar-literasi, dan nalar-nalar ilmiah dalam kehidupan bangsa.
Dengan kehidupan kebangsaan yang sedang mengalami fase krisis nalar-etis dan nalar-literasi (utamanya), berimplikasi layunya nilai persaudaraan dan gotong-royong sebagai pondasi rumah kebangsaan. ¬ Entah apa yang tengah diusung oleh oknum tidak bertanggungjawab, namun pastinya kerusahan yang dialami oleh suadara kita—Papua— setidaknya telah mengoyak jahitan persatuan kebhinnekaan. Kita semua bertanggungjawab untuk menjahit kembali rekahan ini dengan penghayatan kita adalah senasib, sebangsa, sepenanggungan, dan lahir dari rahim perjuangan yang sama. Rumah kebangsaan Indonesia dimerdekakan berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa bukan untuk saling menghujat, bermusuhan, apalagi saling membenci, melainkan untuk kita tinggali secara damai dan tentram, serta saling mengasihi satu sama lain sesama bangsa Indonesia.
*) Penulis adalah Aktivis Muda Muhammadiyah