Opini: Hegemoni Dinasti Bangsawan dan Pembodohan Sistem Feodalisme di Bima
Oleh: Agus fahri (Kachy)
Pengamat politik
MataKita.co, Opini – Terdapat tanda dan penanda yg menjelaskan pengaruh sistem feodalisme di Bima masih kuat menguasai dan meracuni alam pikiran masyarakat Bima, menciptakan ketergantungan simbolik, baik secara sosial geografis, secara historis dan politik.
Eksistensi, sumber daya dan sistem ketokohan, struktur kepentingan, konsep pembangunan dan juga spiral pertumbuhan SDM di Bima mengikuti arus kuasa bangsawan dlm bentuk ketaatan, kepatuhan sekaligus ketundukan sikap politik masyarakat Bima oleh krn terjadinya pengkultusan dan sakralisasi sejarah kuasa kesultanan dari massa ke massa, dari zaman ke zaman, dari periode ke periode sampai skrg masih kuat pengaruhnya sehingga keberadaan para tokoh masyarakat yg hebat hebat selalu berada pada posisi inferior kompleks, termasuk urusan mobilitas dan pengaruh ketokohan secara sosial politik.
Sistem feodalisme di Bima memiliki akar sejarah pembodohan publik bagaimana kuasa kesultanan tetap hidup sebagai simbol ketaatan, penghormatan dan kecenderungan masyarakat bisa tenggelam dlm arus kuasa kerajaan menurut silsilahnya. Secara politik kita ketahui bhw pihak istana telah membangun dinasti kekuasaan yg menguasai alam demokrasi pada setiap pilkada, sebut saja almarhum Ferri Zulkarnain telah memimpin Bima 2 periode mulai thn 2005-2015, kemudian dilanjutkan lagi oleh Istrinya IDP pada periode 2015-2020. Menuju pilkada 2020-2025 kini sedang terus didengunkan untuk IDP lanjut 2 periode menjadi Bupati Bima 2020-2025, pada saat yg sama anak kandungnya Yandi pada umur 20 an dipilih menjadi Ketua DPRD Kab.Bima 2019-2024 atas kewenangan IDP selaku Ketua DPD Golkar Kab.Bima. Konon Yandi diorbit utk persiapan maju calon Bupati Bima 2025 akan datang.
Pada sisi ini pula IDP memainkan irama politik akrobat untuk menciptakan ketergantungan terhadap siapa bakal calon wakil nya yang akan diambil pada pilkada 2020-2025, kriterianya harus siap tunduk patuhi ritme yg diatur dgn sikap sami’na wata’na seperti sosok Dahlan M.Nor wakilnya skrg yg tdk pernah menghambat atau merasa keberatan pada setiap alur kebijakan yg dibuatnya selama memimpin daerah, itulah model politik dinasti. Sikap feodal bangsawan ini berhasrat mengendalikan siapapun yg berhubungan dgn nya menjadi robot, termasuk IDP akan berhitung siapa lawan politik yg berpotensi menghambat atau yg seirama mendukung misi sang anaknya yg dipersiapkan maju calon Bupati 2025-2030 akan datang.
Saatnya mendobrak tembok hegemoni dinasti bangsawan di Bima yg mengubur harapan non bangsawan utk memimpin daerah Bima, perlu mendekonstruksi bangunan “nalar sejarah kehebatan dinasti” yg didengungkan pada tiap proses transisi demokrasi. Perlu ada delegitimasi terhadap pihak istana tdk bisa diandalkan lg utk terus memimpin daerah dgn SDM terbatas. Kesadaran kolektif harus dibangun memproduksi narasi bhw SDM para tokoh non bangsawan jauh lebih unggul dari IDP atau pihak istana. Cukup banyak non bangsawan Bima yg bergelar profesor doktor, para ahli, para cendekia dan politisi hebat yg harus diapresiasi keberadaannya dan didukung secara politik, tidak malah menghamba pada dinasti oligar.
Pasalnya, hebat tdk nya para tokoh, tingginya elektabilitas atau populisnya kefiguran seseorang tergantung faktor apa yg mempengaruhinya, melegitimasi dan mendukung ketokohannya sehingga dapat diperhitungkan layak tampil diatas panggung politik kekuasaan, ini soal skema gerakan dan mobilitas politik saja yg menentukannya.
Figur yg SDM nya rendah seperti IDP atau seperti anaknya Yandi bisa menjadi luar biasa ketika dia dilegitimasi secara terus menerus dan dikultus secara berlebihan melalui sakralisasi simbol mistis yg dilekatkan pada dirinya sbg anak darah biru sehingga itu mempengaruhi psikologi sosial dan pilihan politik masyarakat, seperti anggapan bhw anak raja itu hebat atau org istana itu harus dihormati, dipuja, diagungkan dan didukung secara paksa menjadi pemimpin daerah, meskipun kualitas (SDM) kepemimpinan nya tdk bisa menjamin terwujudnya perubahan daerah utk kemajuan dan kesejahteran rakyat.
Mitos sejarah bisa menjadi fakta yg mengagumkan dan mengelabui serta meracuni otak masyarakat sekaligus membentuk kepercayaan semu jika ia lihai memanfaatkan situasi atau dpt menggunakan mesin intelektual yg ada utk memproduksi dan menyebarluaskan virus narasi “kebesaran dan kehebatan kaum bangsawan” secara terus menerus sampai menciptakan ketundukan dan ketergantungan sikap politik para tokoh dan masyarakat Bima umumnya. Pengaruh sistem feodalisme ini dapat melumpuhkan kecerdasan, mengekang nalar kritis sekaligus membunuh harapan para kompetitor non bangsawan di Bima.
Sebaliknya pada saat yg sama jika terjadi delegitimasi publik terhadap bahaya laten dinasti kekuasaan feodalisme ini maka kaum bangsawan bukanlah siapa siapa atau kualitas kepemimpinan mereka tdk lebih hebat dari para profesor doktor atau para cendekia dan tokoh politisi non bangsawan dlm merebut panggung kekuasaan, menjadi memimpin daerah Bima yg maju, bermartabat dan sejahtera masyarakatnya.
Kesadaran baru harus dibangun bersama, yaitu berhenti mengagumi mitos kebesaran sejarah dinasti istana atau berhenti memuja pihak istana secara berlebihan, sehingga kita bisa “tahu diri” dan bebas merdeka dari perangkap hegemoni sistem feodal atau penjara pembodohan publik melalui rekayasa politik pencitraan pihak Istana.
Kaum bangsawan sangat cerdik menciptakan pengaruh dan ketergantungan nasib hdp masyarakat sehingga putra putri Bima yg memiliki SDM unggul sekalipun tetap menjadi subordinasi kekuasaan pihak Istana, atau kasarnya menjadi budak pelengkap politik pihak Istana.
Dengan demikian, layak dan pantasnya seorang pemimpin yg didukung pada alam demokrasi skrg adalah harus dinilai dari kualitas SDM, mampu atau tdk dia membangun kemajuan daerah, mewujudkan kedamaian sosial dan juga kesejahteraan masyarakat Bima. Dia harus bisa mencerminkan nilai nilai kepemimpinan menurut konsep “Manggusu Waru” misalnya, bukan krn dia keluarga kerajaan.
IDP TIDAK LAYAK MEMIMPIN BIMA dalam analisa Dr. Ikhwan Sirajudin menurut data dan fakta.
“Capaian Bidang Ekonomi Antara Kemiskinan & Pengangguran masih Tinggi?
I. Pengagguran
Saya membaca Data Laporan BPS 2019 Menyajikan keberhasilan IDP mengatasi penggangguran, dimana tahun 2012 angka pengangguran 4,9% dari total angkatan kerja, kemudian menurun sebesar 1,5 % tahun 2017. Data ini berbanding terbalik dari Data yang di publikasikan NTB tahun 2018 masih sekitar 4,86% atau 12. 037 orang dimana Kabupaten Bima menjadi Daerah kedua di NTB dengan jumlah pengangguran tinggi sekitar 12. 073 orang. Ini ajaib jika benar adanya karena Bima selalu dibawah angka 6% dari standar Nasional dan bisa disebut Bima adalah daerah Full Employment. Angka penggangguran tinggi belum menunjukan trend perubahan sektor pekerjaan baru diluar sektor pertanian.
Saya agak meragukan data tersebut apakah benar banyak lapangan kerja tersedia di bima. Bukankah selama ini banyak anak muda mengganggur, menjadi petani mereka banyak mengadu nasib ke kota atau mereka menjadi guru honorer disekolah dengan gaji minim.
Kita lihat angkatan kerja yang bekerja sebagai petani cukup tinggi karena lapangan usaha yang tersedia sektor ini mencapai 54,71 %, Industri hanya 6,93 % dan sektor jasa 13,22%. Jika data ini benar kita harus mengakui Sektor pertanian tetap menjadi Leading sektor yang menopang Pertumbuah Ekonomi Kabupaten Bima
II. Kemiskinan
Capaian IDP dalam menurunkan Angka kemiskinan masih belum ada perubahan yang signifikan. Tingkat kemiskinan di Bima Tahun 2016 pada kisaran 15,3 % menjadi 15, 1% tahun 2017 Atau masih 288’703 jiwa hanya turun 0,19% dari tahun 2016 sebesar 16,04%. sedangkan tahun 2018 sebesar 14.84% atau masih sekitar 64. 254 jiwa. ini luar biasa.
Berapa penghasilan Warga miskin Kabupaten Bima berdasarkan Survei BPS 2018 sebesar Rp. 308.659 perbulan atau dihitung perhari Rp. 10.900, Jadi masih ada 71. 650 jiwa dari jumlah penduduk 432.985 orang yang MEMILIKI PENGHASILAN Rp. 10.900 perhari. Kalau mereka memiliki 3 orang Tanggungan berarti perorang perhari Hanya Hidup dengan Uang Rp. 3.633.-
Sedangkan untuk Buruh Tani juga sama nasibnya sangat prihatin untuk bisa bertahan hidup dengan upa buruh tani sebesar 80.000 perhari sekitar Rp 2.400.000 perbulan pada musim panen diluar musim itu tidak mendapatkan penghasilan, berarti 8 bulan mereka tidak punya penghasilan tetap. Kalau mereka hanya mendapatkan pengahasilan hanya 3 bulan berati hanya kumulatif sebesar 7.200.000.- dibagi dibagi 8 bulan menganggur berarti hanya sharing disposible Income sebesar Rp. 900.000/ bulan dan jika dihitung perhari hanya 30.000. Kalau di bagi 12 bulan hanya sebesar 600.000 dan perhari 20.000. Kalau menanggung anak 3 masing – masing hanya 10.000.
Tapi aneh indeks kedalaman kemiskinan justru meningkat 2017 sebesar 2.47% dibandingkan tahun 2015 sebesar 2.41%. berarti rata rata pengeluaran penduduk miskin cukup tinggi dari garis kemiskinan.
III. Ekonomi
Angka yang fantastis adalah Nilai PDRB Tahun 2017 sebesar 7,5 Triliun dibandingkan Tahun 2016 sebesar 7,1 Triliun dimana kontribusi sektor pertanian 43,93 % dibadingkan sektor yang lain. Sedangkan
Pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 6.02% dibandingkan 2017 sebesar 5,98% dan 2016 sebesar 5,12% Tiap tahun capaian Pertumbuhan ekonomi naik tapi tidak memberikan dampak meluas pada naiknya Pendapatan asli Daerah dan penurunan angka pengagguran atau angka kemiskinan,,,? Disini ada masalah Trade Off dari sisi Ekonomi, dan mungkin hanya sektor pertanian saja yang signifikan sedangkan Investasi, Konsumsi tidak punya kontribusi besar. Kisaran PAD kita hanya sekitar 200 M tahun 2018.
Kita menguji capaian dari kinerja pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dengan fakta dilapangan soal Infrastruktur daerah jalan terhubung kedesa- desa selain kecil dan banyak yang rusak, demikian juga infrastruktur pedesaan ( Irigasi ), jalan yang sulit diakses, jembatan banyak yang tidak layak. Minimnya fasilitas sekolah, puskesmas dll.
Total APBD kabupaten bima 2018 sebesar 1,8 Triliun dengan rincian pendapatan 1,7. T dan belanja 1,0 T. dari struktur APBD nya defisit mungkin ditutup dari dana Transfer dari pusat 1,5 T tadi. Ada kesenjangan antara capain PDRB dengan APBN. Kalau PDRB 7,5 Triliun sedangkan APBN hanya 1,8 Triliun berarti hanya 0,24 % dari PDRB jumlah dan Tahun 2019 APBD kab bima, naik 0,10%. sebesar 1,9 T. Atau sebesar 0,25% dari PDRB.
Logika nya mestinya ada hubungan antara PDRB dan APBD. Kalau PDRB naiak APBD juga naik karena Pendapatan daerah naik? Data yang disajikan BPS justru terbalik? Kita lihat bahwa Postur ABPD 2019 dimana Sumber penerimaan APBD dari dana Transfer pusat sebesar Rp. 1,55 T sedangkan dari pendapatan daerah 1.890 M dan Pembiayaan Daerah Netto hanya 21. 316 M. Sehingga Rasio kemandirian Daerah hanya 0.86% Artinya Kabupaten Bima sangat tinggi ketergantungan Pada Dana Transfer Pemerintah pusat baik dari dana Transfer umum, khusus maupun dari dana Desa.
Lho kobisa seperti ini terasa janggal dalam perhitungan angka nya dengan pertanyaan kenapa PDRB bagus Tidak memberikan kontribusi kepada meningkannya Penerimaan Daerah ? ,, Ada Mis poin disini berdasarkan Angka BPS kab. Bima?
Rasio kemandirian Daerah yang rendah menggambarkan kinerja pemerintah Daerah dibawa kepemimpinan IDP juga rendah, Karena gagal mendiversifikasi Potensi daerah untuk dikelola dan di tawarkan kepada Investor!.
IV. Investasi
Total Investasi yang masuk di Kabupaten Bima 2018 hanya 64,1 M, Kabupaten Dompu 76.7 M, Sumbawa, 2 Triliun, Kabupaten Bima Capaian Investasi masih di Bawah Kabupaten Dompu baik PMA maupun PMDN. Saya melihat IDP tidak mampu membuat dan menawarkan potensi unggulan kepada Investor, mestinya sektor Sekunder jasa bisa di tawarkan : Perhotelan, RS, dll untuk menopang Industri Pariwisata!.
V. Dana Desa:
Tahun 2019 Kabupaten bima mendapatkan dana transfer daerah sebesar 1,55 Triliun termasuk dana Desa 185, 61 Milyar. Bagaimana realisasi anggaran ini dan peruntukannya, kita cek dilapangan Apa yang dibangun di desa itu? Adakah program unggulan yang dihasilkan. Kebanyakan dana desa hanya bangun infrastruktur irigasi dan saluran itupun diluar wilayah desa. Mestinya peruntukan dana desa untuk penguatan perekonomian desa dalam program yang produktif bukan hanya dihabiskan untuk Infrastruktur desa ?”
Demikianlah data dan fakta pertumbuhan Daerah Bima dalam kepemimpinan IDP-Dahlan. IDP dibalik jubah kehebatannya sbg kaum bangsawan yg dikultus secara berlebihan oleh sebagian tokoh, aktifis dan masyarakat Bima atau yg dipuja selama ini adl berbanding terbalik dgn kegagalannya memimpin daerah utk sebuah perubahan, kemajuan, keamanan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Masihkah kita terhipnotis dgn narasi kehebatan kaum bangsawan yg diagung agungkan secara membabi buta atau saatnya kita harus move on, utk kita bebas merdeka dari penjara feodal yg membodohi dan menuntupi ruang kuasa masyarakat non bangsawan utk memimpin dan membangun daerah. Tanpa dukungan masyarakat Bima keluarga istana bukanlah siapa siapa untuk dipuja secara berlebihan, justru banyak tokoh Bima Non Bangsawan jauh lebih unggul kualitas SDM nya utk kita dukung bersama pada tiap masa transisi demokrasi di Bima.








































