Penulis : Fanly Katili
Ditengah Wabah Corona Virus Diseases (Covid-19) harusnya semua pihak tanpa terkecuali memusatkan perhatiannya dalam rangka untuk menangani penyebaran virus yang mematikan ini. Sayang, masih ada Oknum – oknum yang kemudian mencari sensasi untuk sebuah kepentingan HASRAT PRIBADINYA ditengah situasi Pandemik yang serba sulit dan telah menggemparkan masyarakat dunia.
Di Indonesia, Gorontalo satu satunya daerah yang Gubernurnya dilaporkan oleh masyarakat karena membagikan sembako untuk masyarakatnya yang terdampak Covid 19. Sebuah fenomena yang sangat miris sebenarnya.
Alih-alih untuk penegakan sebuah aturan perundang undangan, gubernur Gorontalo dilaporkan ke Polda Gorontalo karena “KATANYA” telah melanggar Pasal 93 UU No 6 tahun 2018 tentang Karangtina kesehatan.
Dalam Pasal 93 UU No 6 tahun 2018 yang dipersangkakan tersebut menyebutkan bahwa ” Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan karangtina kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dan/atau menghalang halangi penyelenggaraan karangtina kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 100.000.000″.
Sedangkan dalam Pasal 9 ayat 1 yang dimaksudkan dalam UU tersebut mengatakan bahwa “Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan karangtina kesehatan”.
PERTANYAANNYA, mengapa gubernur dilaporkan ? Siapa yang sebenarnya tidak mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan ? Apakah Gorontalo pada saat pembagian sembako tersebut telah mendapatkan legitimasi Pembatasan Sosial Berskala Besar dari kementrian ? Adakah hubungannya antara kegiatan pembagian sembako itu dengan pasal 9 ayat 1 dan Pasal 93 UU No 6 tahun 2018 ? Sedangkan pada saat kegiatan itu Gorontalo masih dalam status Zero Covid 19.
Apalagi jauh sebelum laporan tersebut dilayangkan, telah diklarifikasi ke publik dalam bentuk permohonan maaf oleh gubernur Gorontalo atas insiden tersebut. Dikatakan bahwa, seyogyanya kegiatan tersebut bukan dilakukan didepan rudis, namun telah disiapkan armada untuk diantarkan langsung ke 56 titik pangkalan bentor yg tersebar di seluruh kota Gorontalo. Karena antusias masyarakat yg datang secara spontan, karena ingin mendapatkan secepatnya kebutuhan sembako, agenda kemanusiaan itu terkesan kacau.
Namun, Apakah hanya karena alasan tersebut lantas Gubernur Gorontalo dengan mudah dipidanakan ? SANGAT SULIT ! Mengingat bahwa pembagian sembako seperti yg dilakukan oleh gubernur Gorontalo ini sebelumnya pernah juga dilakukan oleh bapak Presiden Jokowi. Bahkan kesengajaan mengumpulkan masa dalam bentuk yang banyak pernah dilakukan oleh masyarakat Gorontalo dan masyarakat didaerah lain dalam moment pesta pernikahan dan sebagainya. Itu pun pihak Kepolisian hanya dapat memberi himbauan untuk membubarkan diri, bukan menerapkan sangsi pidana.
Olehnya dalam pembagian sembako tersebut harus dapat dibuktikan terlebih dahulu apakah ada pengumuman atau undangan resmi langsung dari Gubernur terkait dengan agenda didepan rudis tersebut. Apakah ada faktor kesengajaan pihak Pemprov dalam mengumpulkan masa yang berkerumun ?
Sebenarnya dari pandangan kacamata hukum, sederhananya TIDAK ADA KORELASI ANTARA dengan bunyi pasal 9 ayat 1 dan pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 untuk kondisi Gorontalo saat itu. Apalagi hingga saat ini Gorontalo merupakan daerah yang belum menerapkan Status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan untuk membatasi aktifitas penduduk dalam suatu wilayah. Toh jikapun telah diberlakukan PSBB, sangsi pidananya pun tidak dapat diterapkan.
Ironisnya lagi, dalam laporan polisi tersebut mempermasalahkan juga penanganan masalah Ratusan Jemaah Tabligh yang diisolasi oleh Pemprov dengan status ODP selama 14 hari. “KATANYA” para ODP tsb tidak mendapatkan pelayanan yang layak, kesehatan para ODP tidak terkontrol, makanan tidak teratur dan asupan Gizinya tidak terpenuhi, serta tidak me