Beranda Ekologi Coret-coret tentang Ecosystem Approach to Aquaculture

Coret-coret tentang Ecosystem Approach to Aquaculture

0
Para petugas kawasan budidaya udang windu di Lanrisang Pinrang

Oleh : Idham Malik*

Beberapa bulan terakhir ini, kita agak dibuat kaget-kaget, tapi alhamdulillah belum sampai kejang-kejang. Mulai dari target produksi udang yang membumbung tinggi, hingga demam estate yang mulai menjalari perikanan budidaya, seperti shrimp estate, seaweed estate, bahkan ada pula isu kepiting/crab estate. Meski begitu, pada sekian banyak rencana yang membuat kepala kita pening itu, belum lagi melihat tetangga kita di sektor pertanian, berupa food estate yang menuai beragam kontraversi, terdapat beberapa program yang agaknya pula sedikit meredakan suasana.

Salah satunya yaitu ADPE atau Akuakultur Dengan Pendekatan Ekosistem, yang merupakan terjemahan dari EAA (Ecosystem Approach to Aquaculture). EAA adalah panduan yang disusun oleh FAO (Food Aqriculture Organization) agar kegiatan budidaya perikanan juga memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Aspek lingkungan yang dimaksud yaitu keberlanjutan ekosistem (sesuai RZWP3K dan RTRW, sesuai daya dukung lingkungan, tidak melakukan pencemaran (dll), sedangkan mencegah dampak sosial melalui identifikasi dan penanganan konflik, penyerapan tenaga kerja, jaminan sosial, serta pengelolaan yang bersifat partisipatif dan adanya pengakuan dan penegakan hukum. Sekilasnya begitu.

Konsep ADPE di Indonesia pun menempuh jalan panjang, sekitar 2015, beberapa ahli mulai mendiskusikan konsep ini, dengan mengundang beragam parapihak untuk menentukan prinsip, hingga indikator-indikatornya. Pada 2018, ketika konsep dianggap final, ADPE pun diujicoba di Pinrang Sulawesi Selatan, dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan parapihak di kantor DKP Provinsi Sulsel pada 26 Maret 2018.

Beberapa komentar menarik dari para undangan saat itu, seperti tanggapan dari Dr. Taruna Mulia dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, melihat perlunya persiapan yang matang dalam penilaian ADPE, yang dimulai dari scoping/pelingkupan isu, strategi identifikasi isu, kesiapan teknis, hingga analisis resiko dari penerapan ADPE.

Memang, jika kita membaca Peraturan Direktorat Jendral Petunjuk Teknis Pengelolaan ADPE pada bagian persiapan, cukup menekankan hal-hal yang dibahasakan oleh Taruna, yaitu pelingkupan, penetapan zonasi, hingga pemilihan lokasi. Pada bagian ini hal-hal yang perlu dipertimbangkan yaitu telaah peraturan dan perundangan yang terkait akuakultur dan penerapannya di lokasi rencana, penerapan kebijakan-kebijakan akuakultur pada lokasi rencana, identifikasi pemangku kepentingan, peluang dan permasalahan umum, identifikasi spesies dan metode budidaya. Untuk zonasi, selain untuk keperluan kepengaturan, juga untuk analisis resiko seperti persaingan dan konflik horizontal yang munkin saja muncul. Pada zonasi ini juga berperan untuk memudahkan strategi pengelolaan dampak lingkungan, serta pengendalian hama dan penyakit.

Sehingga, boleh dikata dalam mendorong ADPE dibutuhkan persiapan yang cukup, sehingga dalam penilaian indikator lingkungan, sosial, maupun tata kelola kelembagaan, tim penilai tidak lagi mengalami gap/kesenjangan informasi dan dapat memberi penilaian secara lebih objektif (menuju objektivitas).

Jika misalnya tim penilai agak berjarak dan belum begitu terkoneksi, bisa juga menggunakan auditor lokal atau perwakilan stakeholder setempat, entah itu penyuluh perikanan, pembudidaya itu sendiri, sebab mereka lebih memahami konteks dan permasalahan apa yang sebenarnya berlangsung di kawasannya. Sehingga, yang diperkuat pada penajaman metodelogi pada auditor-auditor lokal.

Dengan cara seperti ini, terdapat penghargaan pada kapasitas lokal untuk melakukan refleksi dengan pendekatan/skema ADPE. Sebab, setiap orang pada dasarnya memiliki piranti-piranti standar rasional untuk menilai sesuatu. Biasanya jika orang lokal, besar kemungkinan dapat mengarahkan program yang lebih tepat sasaran.

Pertanyaan/tanggapan menarik pula dari Prof Hatta Fattah saat itu, yang menjelaskan tentang program-program yang sudah berjalan di kawasan budidaya udang windu/vannamei di Pinrang. Sehingga, titik kritis dalam kajian ADPE adalah sejauh mana ADPE ini dapat bersinergi dengan program-program yang jalan atau sedang direncanakan oleh Pemda, sehingga dalam perencanaan tidak menjadi tumpang tindih.

Mengantisipasi hal itu, dalam perdirjen Juknis ADPE telah terdapat gambaran bahwa tim pelaksana ADPE ini sebaiknya di bawah kendali BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Berarti, yang mesti dimatangkan pada skema ini, yaitu segi operasional Bappeda dalam pengawalan isu-isu yang diusung oleh ADPE. Sebaiknya ada kisi-kisi, seperti apa Bappeda dalam mengambil peran dalam kepemimpinan kawasan, dan seperti apa distribusi peran masing-masing instansi yang terkait. Jika tidak begitu, dalam segi pelaksanaan, pihak Bappeda akan kebingungan dalam pengawalan, sebab hal ini merupakan mahluk baru, kedua lingkup beban cukup banyak dan menyentuh begitu banyak parapihak. Mengawal isu ini, apakah tidak mungkin dilakukan kajian kembali/curah pendapat dengan melibatkan elemen-elemen pemerintahan dan parapihak di sektor kabupaten, seperti apa model organisasi/kelembagaan yang cocok untuk mendorong pengelolaan kawasan budidaya berbasis ekosistem ini.

Ada pula komentar dari akademisi dari Unhas, yaitu Dr. Rustam, yang menanyakan, apa kira-kira keuntungan yang diperoleh oleh petambak? Apakah sistem ini dapat memvisualisasikan peningkatan produksi udang atau produk perikanan lainnya? Serta seperti apa visualisasi ‘pendekatan ekosistem’ini, apakah seperti IMTA (Integrated Multi Tropic Aquaculture)?

Ya, pertanyaan ini tepat, sebab, buat apa petambak repot-repot ikut berpartisipasi dalam APDE jika ujung-ujungnya tidak berdampak langsung bagi peningkatan ekonomi mereka? Pertanyaan ini begitu perlu untuk dipikirkan dan diseriusi, untuk menghindari ADPE terperangkap dalam skema formalitas yang lagi-lagi justru membebani petambak. Ini pun akan menjadi bagian dari analisa resiko pada kajian pendahuluan, yang mana dalam penerapan ADPE terdapat strategi kunci untuk mengungkit/menjawab permasalahan dalam budidaya udang. Misalnya, melalui ADPE ini, pemerintah melakukan perbaikan secara matang aspek kualitas dan kuantitas air melalui kerjasama antar bidang dalam perbaikan infrastruktur saluran irigasi dan muara, atau melalui skema ini menjadi jembatan sektor pembudidaya dan sektor pertanian yang begitu sering bersinggungan, untuk dicarikan jalan tengahnya dalam penanganan limbah pertanian yang sering pula mencemari kawasan perikanan budidaya. Atau skema ADPE ini menjadi jalan dalam mencari solusi untuk penerapan biosecurity/penangkalan terhadap hama dan penyakit dalam satu kawasan. Atau ADPE ini menjadi strategi untuk mengatur ketersediaan benur dalam satu kawasan dengan bekerjasama dengan hatchery-hatchery berkualitas di dalam dan di luar kawasan. Intinya, ADPE menjadi forum untuk merumuskan dan menjalan strategi penyediaan bahan baku penting bagi kawasan.

Soal gambaran konsep ramah lingkungan yang dimaksud, saya kira penting. Apakah ADPE ini serupa dengan penerapan IMTA yang mana terdapat sistem budidaya dengan beragam spesies yang saling mendukung dan melengkapi (multitropic), ataukah seperti model silvofishery yang mencoba memadukan antara aspek perikanan dan kehutanan. Sehingga indikator penilaian bukan sekadar bahwa pembudidaya telah melakukan rehabilitasi mangrove, tapi sejauh mana budidayanya memberi ruang pada aspek ekosistem, misalnya terdapat sekitar 20-30% dari luasan budidaya betul-betul dikembalikan menjadi hutan.

Dengan begitu, ADPE ini bukan sekadar penilaian status budidaya dari 1-3, tapi betul-betul memberi konsep yang jelas, berupa protothipe budidaya yang berbasis ekosistem.

Terlepas dari tanggapan-tanggapan di atas, satu hal kelebihan dari konsep ADPE ini adalah adanya penekanan pada aspek Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) kawasan budidaya. Saya kira, Carrying capacity inilah yang menjadi pondasi utama ADPE, yang berarti pada kawasan ADPE telah ketahuan kapasitas produksi komoditas budidaya yang jika dilewati akan berdampak buruk bagi kualitas air, dan tentu berefek pada penurunan produksi. Dengan begitu terdapat kesepakatan bersama (jika bisa) untuk menekan hasrat para pembudidaya untuk peningkatan produksi, yang mana jika dibiarkan akan melewati ambang batas dan menjadi bom waktu menuju perusakan kawasan.

ADPE ini pada dasarnya adalah kerangka penilaian dan batu pijakan untuk menyusun rekomendasi dan rencana kerja. Hal ini sangat baik dan sama baiknya dengan skema-skema yang mirip, seperti CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) atau skema sertifikasi swasta (ASC-Aquaculture Stewardship Council). Yang mana, mekanisme-mekanisme seperti ini, masih berbahasa standar, sehingga dibutuhkan keahlian khusus dan komprehensif untuk menurunkan ke bahasa metodelogi yang ringan untuk memenuhi gap pada masing-masing indikator.

Serta yang perlu pula dipertimbangkan adalah indikator-indikator lain yang tidak atau belum tercover/teridentifikasi oleh ADPE, yang mungkin dianggap belum relevan, tapi biasanya cukup berdampak/berpengaruh di lapangan, misalnya faktor kepemilikan lahan, status lahan apakah sewa atau milik atau kondisi struktur lapisan kelas dalam pengelolaan kawasan, persoalan kebudayaan, politik ekonomi, pengetahuan-pengetahuan lokal, dll, yang tidak tercover oleh ADPE.

Dengan begitu, konsep ini tidak sekadar bersifat verifikatif (pembuktian/verifikasi fakta-fata melalui kerangka/teori/konsep/skema), tapi juga bersifat falsifikasi atau pembuktian panduan apakah sudah benar atau masih keliru melalui fakta-fakta. Jika begitu, ADPE ini akan menjadi dokumen hidup, yang terus berkembang sesuai dengan kondisi lumpur dan air di mana ia hidup dan menetap.

*) Penulis adalah koordinator Kader Hijau Muhammadiyah Sulsel

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT