Beranda Mimbar Ide Denyut Nadi Keadilan

Denyut Nadi Keadilan

0
Fajlurrahman Jurdi
Fajlurrahman Jurdi

Oleh: Fajlurrahman Jurdi*

Kepala kejaksaan Negeri (Kajari) Takalar meneteskan air mata, ia menangis karena suatu urusan, yang mungkin selama ini ia tak bisa selesaikan dengan cara-nya, namun karena restorative justice, ia memiliki wewenang untuk memberikan rasa adil kepada orang-orang tertentu yang tak pernah disapa keadilan.

Tangis Kajari adalah refleksi hati nurani. Itulah keadilan itu. Itulah hakikat hukum. Hukum harus berlari menyapa setiap realitas. Hukum harus menembus keluar batas dinding pengadilan. Hukum diciptakan bukan hanya untuk dieja dan dibacakan dalam penatnya ruang sidang. Hukum harus memiliki rasa, harus mampu mehamami dan harus bisa menerjemahkan suara-suara dari pinggir. Suara dari mereka yang tak tersentuh oleh kebajikan dari negara, suara dari orang-orang yang kehilangan harapan pada kekuasaan, suara dari mereka yang perutnya lapar.

Lama sekali restorative justice ini di dengungkan, dikaji dan dianalisis. Menghasilkan puluhan bahkan mungkin ratusan skripsi, tesis dan disertasi. Semua analisis tentangnya mendalam, menguat dan dengan dalil-dalil yang kuat. Tapi berakhir dengan pajangan. Ia tak pernah menjadi tindakan. Ada keresahan sebagian penegak hukum, bahwa mereka ingin menyelesaikan perkara tanpa perlu diadili, karena suara-suara keadilan berdendang dengan kuat di dalam hati mereka.

Tangisan Kajari Takalar adalah serupa dengan apa yang terjadi di berbagai daerah. Hadirnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif merupakan cara penegak hukum memberikan rasa adil kepada masyarakat, setelah mereka kehilangan harapan tentang keadilan itu.

Keadilan yang semula hanya reflektif, hanya berupa harapan, tiba-tiba menjadi tindakan. Ini semacam perubahan radikal dalam penegakkan hukum. Aparat yang semula menggambarkan dirinya sebagai algojo bagi kepastian hukum, berubah memberikan rasa keadilan. Mereka tak lagi menjadikan kepastian hukum sebagai panglima, pun mereka tak lagi menjadikan pasal-pasal sebagai sandaran karir. Positivisme dipuja puluhan tahun, menjadi tak berdaya dihadapan penggalan surat sakti yang Bernama Peraturan Kejaksaan.

Hukum diciptakan bukan untuk menjadi penyemai keretakan dan permusuhan. Sementara kepastian hukum berpijak pada apa yang “salah” dan “benar” menurut pasal-pasal yang berjejal. Karena itu, ia hanya menguatkan sikap saling menegasikan. Kepastian hukum tak menembus nadi masyarakat, ia tak mampu merasakan penderitaan yang meresap bersama masyarakat.

Di tangan Jaksa Agung, Keadilan adalah kata dan tindakan. Ia dirumuskan dalam frase sederhana, tetapi meluas dalam bentuk tindakan. Pada 18 Oktober 2021 tercatat sebanyak 313 perkara yang berhasil diselesaikan dengan mekanisme Restorative Justice oleh Kejaksaan. Sedangkan di Institusi kepolisian, sebanyak 11.811 perkara yang diselesaikan dengan mekanisme Restorative Justice dengan rincian, sebanyak 11.755 perkara di Polda dan 56 perkara di Bareskrim.

Kesalahan baik dalam bentuk dolus (sengaja) maupun culpa (lalai) pada prinsipnya adalah perbuatan pidana, terlepas dari pembagian yang rumit di antara kedua konsep ini. Jika di dekati dengan argumen kepastian hukum, tidak peduli seberapa rumit kondisi pelaku, jika memenuhi unsur pidana, maka perbuatan itu akan diberikan kadar hukuman.

Tetapi melalui pendekatan restorative justice, perbuatan pidana tidak saja di dekati dengan argumen hukum pidana. Ia tidak di dekati dengan pendekatan kepastian hukum, tetapi lebih jauh lagi, ia berdiri di atas keadilan. Pendirian akan keadilan ini sangat diperlukan, disaat runtuhnya kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.

Keadilan menjadi perkakas yang tak bisa ditawar oleh siapapun, karena menyangkut apa yang genuine dari kehidupan umat manusia. Mengganggu keadilan sama dengan mengganggu perkakas kehidupan. Pun memenuhi keadilan adalah sama dengan memenuhi hakikat kehidupan. Jika masyarakat merasa bahwa mereka mendapatkan keadilan, tak perlu diarahkan, mereka akan memenuhi kehendak Negara atau pemerintah secara sukarela.

Karena itu, ada beberapa catatan bagi penegak hukum dalam mewujudkan keadilan; pertama, mereka harus “mengetahui” dan “memahami” bahwa keadilan adalah yang pertama dan utama untuk diwujudkan dalam penegakkan hukum. Kedua, penegak hukum harus meresapi kata keadilan sebagai basis filosofi tindakan dan keputusan dalam menegakkan hukum. Ketiga, penegak hukum harus meresapi kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat, sehingga pasal-pasal hukum yang ditegakkan kompatible dengan apa yang terjadi secara nyata. Keempat, penegak hukum harus melepas semua kepentingan yang melekat di dalam dirinya, kecuali kepentingan yang berurusan dengan tegaknya hukum yang adil.

Keadilan yang sempat hilang diaras penegakkan hukum, semoga kembali menemukan dirinya secara eksistensial. Keadilan ada karena ditegakkan. Dan penegakkan keadilan beririsan dengan penegakkan hukum. Semakin kuat komitmen penegak hukum meletakkan keadilan sebagai perkakas tindakan, maka keadilan akan terus hidup.
Wallahu alam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT