Beranda Mimbar Ide Koperasi Desa Merah Putih ; Mimpi Besar yang Butuh Keseriusan Nyata

Koperasi Desa Merah Putih ; Mimpi Besar yang Butuh Keseriusan Nyata

0
Muhammad Syaiful, S.Pd., M.E.

Oleh : Muhammad Syaiful, S.Pd., M.E.*

Sesaat lagi kita akan merayakan Hari Koperasi Nasional tahun 2025. Biasanya ini momen yang penuh seremoni, pidato panjang, potong tumpeng, dan parade penghargaan. Tapi tahun ini suasananya terasa beda, pemerintah lagi semangat mendorong program besar bernama Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang ditargetkan akan lahir di 80.000 desa seluruh Indonesia. Kalau dibayangkan, gagasan ini memang luar biasa. Setiap desa nantinya akan punya koperasi modern dengan modal awal Rp3-5 miliar. Fungsinya tidak main-main: bisa sebagai toko sembako, gudang hasil tani, cold storage ikan, klinik kesehatan, agen logistik, bahkan layanan simpan-pinjam digital. Pemerintah memproyeksikan satu koperasi desa ini bisa meraup Rp1 miliar laba per tahun. Kalau benar terwujud, ini berarti potensi perputaran uang hingga Rp80 triliun setahun. Kontribusi raksasa untuk ekonomi nasional.

Kenapa ini penting?

Karena wajah perekonomian kita masih sangat timpang. Kota-kota besar berkembang pesat, sementara desa-desa tertinggal dalam banyak hal, akses modal, pasar, teknologi, dan bahkan literasi usaha. Padahal sekitar 43% tenaga kerja Indonesia masih menggantungkan hidup di sektor pertanian dan kelautan yang berpusat di desa. Kalau koperasi desa ini berjalan baik, bisa memotong mata rantai tengkulak yang selama ini menekan harga hasil tani dan ikan. Desa bisa jual langsung ke pasar lebih luas, simpan produk lebih lama di cold storage, dapat pasokan pupuk atau bibit lebih murah lewat jaringan koperasi, bahkan urusan kesehatan bisa ditangani lebih dekat.

Untuk itu, perlu ada pendekatan serius dan sistemik. Pertama, tata kelola koperasi harus diperkuat dengan sistem akuntansi digital yang transparan. Kedua, SDM pengelola harus mendapatkan pelatihan yang berkelanjutan. Ketiga, perlu regulasi yang melarang aparatur desa menjadi pengurus koperasi, demi menghindari konflik kepentingan (sepertinya yang ini sudah ada). Keempat, usaha koperasi harus disesuaikan dengan karakter lokal: koperasi nelayan di desa pesisir, koperasi pangan di desa agraris, dan koperasi kreatif di desa wisata.

Belajar dari KUD di masa lalu

Tapi kita tidak boleh naif. Kita pernah punya cerita manis sekaligus getir tentang Koperasi Unit Desa (KUD) yang dulu berjaya di era Orde Baru. KUD waktu itu sempat menjadi urat nadi ekonomi pedesaan yang mengurus penggilingan padi, pupuk, hingga kredit. Namun, banyak KUD yang kemudian bangkrut. Sebabnya yah klasik, manajemen amburadul, pengurus dipilih bukan karena kompetensi tapi kedekatan politik, serta anggota yang tidak dilibatkan secara utuh dalam proses pengambilan keputusan misalnya. Sebagian KUD akhirnya hanya jadi papan nama: kantor tak terurus, kas kosong, dan asetnya hilang entah ke mana. Kita tidak mau kegagalan ini terulang dalam baju baru bernama Kopdes Merah Putih.

Kondisi terkini: peluang & tantangan nyata

Kalau kita lihat sekarang, tantangan koperasi di desa masih hampir sama. Data Kemenkop UKM tahun 2024 menunjukkan sekitar 39% koperasi di Indonesia tidak aktif atau tidak melaporkan RAT (Rapat Anggota Tahunan) ini mengindikasikan lemahnya tata kelola. SDM koperasi di desa juga masih minim kemampuan akuntansi, manajemen, dan digital.

Selain itu, muncul potensi tumpang tindih dengan BUMDes. Siapa nanti yang pegang domain usaha pupuk? Siapa yang kelola warung pangan? Ini bisa memicu konflik internal di desa. Belum lagi kalau nanti keluarga dekat kepala desa atau perangkat terlibat jadi pengurus koperasi, rawan disalahgunakan demi kepentingan politik lokal.

Tapi semua ini bukan berarti ide koperasi desa harus berhenti. Justru kita harus menekankan pendampingan serius, audit transparan, pelatihan digital, serta model bisnis adaptif yang sesuai karakter ekonomi tiap desa. Misalnya, desa pesisir fokus koperasi perikanan dengan cold storage dan pemasaran hasil tangkap, sementara desa agraris mengutamakan penyediaan pupuk, benih, dan penampungan gabah.

Kita perlu menjaga mimpi besar ini tetap waras.

Sebagai seorang akademisi yang menekuni ekonomi kerakyatan dan pembangunan desa, saya menaruh harapan besar pada Koperasi Desa Merah Putih. Program ini bukan hanya tentang mendirikan lembaga ekonomi di tingkat lokal, tetapi tentang bagaimana kita membangun ulang sendi kemandirian masyarakat desa serta memperkuat posisi mereka dalam rantai nilai, sekaligus meningkatkan kapasitas literasi ekonomi, manajerial, dan teknologi.

Saya berharap Kopdes Merah Putih tidak terjebak menjadi proyek administratif yang sekadar mengejar target jumlah, tetapi benar-benar mengakar pada kebutuhan, karakter, dan potensi ekonomi setiap desa. Dibutuhkan pendekatan pendampingan yang serius, audit yang transparan, serta keberanian menegakkan prinsip demokrasi koperasi

Lebih dari itu, saya berharap Kopdes Merah Putih dapat menjadi instrumen yang nyata dalam menjaga ketahanan pangan nasional dan memutus ketergantungan petani maupun nelayan pada tengkulak. Semoga koperasi ini tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri kolektif warga desa sebagai pelaku utama pembangunan.

Jadi, di Hari Koperasi besok, mari kita rayakan dengan penuh kesadaran. Bukan sekadar menunggu pita dipotong pejabat, tapi memastikan koperasi desa merah putih betul-betul lahir sebagai lembaga ekonomi rakyat yang sehat, mandiri, dan tumbuh menjadi kebanggaan bersama. Kita ingin koperasi ini menjadi alat masyarakat desa mengangkat harkat ekonominya, bukan hanya menjadi papan nama proyek yang berdebu bertahun-tahun kemudian.

*) Penulis adalah Dosen Ekonomi Pembangunan USN Kolaka dan Penerima Pendanaan Hibah Penelitian Skema Penelitian Fundamental Reguler (PFR) oleh DRTPM KEMENDIKTISAINTEK Tahun 2025 dengan Judul Strategi Digitalisasi Koperasi Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Anggota dalam Diversifikasi Produk Hasil Perikanan)

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT