Beranda Fajlurrahman Jurdi Parlemen “Heavy”

Parlemen “Heavy”

0
Fajlurrahman Jurdi* Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan warga Muhammadiyah
Fajlurrahman Jurdi* Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan warga Muhammadiyah

Oleh: Fajlurrahman Jurdi*

Dalam kajian hukum tata Negara, dikenal kata “heavy” untuk melihat titik berat antara parlemen dan presiden. Pada sistem presidensial, kekuasaan presiden sangat besar, sehingga seringkali disebut “presiden heavy”, sebab keputusan dan kedudukan presiden lebih besar dan lebih kuat dibanding parlemen.

Sementara dalam sistem parlementer, dikenal pula istilah “parlemen heavy” untuk menyebut posisi parlemen yang kuat dalam menentukan kebijakan politik dibanding presiden. Namun ada juga gejala aneh, dimana di dalam sistem presidensial yang seharusnya posisi presiden kuat, justru parlemen yang mengendalikan kebijakan politik.

Dalam konteks inilah, personalitas dan regulasi menempati posisi penting untuk memastikan, apakah kecenderungan ke “presiden heavy” atau ke “parlemen heavy”. Jika personalitas presiden kuat dalam sistem presidensial dan di dukung oleh kekuatan partai mayoritas di parlemen serta ditopang oleh aturan hukum yang kompatible dalam menjalankan pemerintahan, maka kecenderungan menguatnya kekuasaan presiden tak bisa dihindari. Dalam konteks inilah istilah “presiden heavy” menempati ruang yang tepat.

Tetapi dalam konteks dan situasi tertentu, kadang-kadang presiden pemenang Pemilu didukung oleh partai minoritas, sementara parlemen dikendalikan oleh partai yang tidak searah dengan platform politik Presiden. Untuk memuluskan kebijakan politiknya, presiden harus bernegosiasi dan lebih banyak “mengalah” dengan parlemen, agar dukungan politik, terutama anggaran bisa diperoleh dengan mudah. Akibatnya, parlemen kuat sementara presiden harus banyak mengalah. Apalagi ditambah dengan personalitas presiden yang lemah, regulasi yang kurang mendukung, maka sempurnalah lemahnya presiden dalam sistem presidensial.

Gejala “parlemen heavy” dalam konteks Indonesia memperlihatkan “keajaiban” yang signifikan, sebab bukan presiden yang disasar untuk dilemahkan oleh parlemen untuk menunjuk kekuatannya, tetapi lembaga-lembaga lain yang berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Hal ini ditunjukan dengan keributan terbaru soal revisi Tata Tertib DPR.

Dalam revisi itu, terdapat usulan perubahan yang tertuang pada Pasal 228 A, yang berbunyi: (1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat mengikat dan akan dikirimkan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Dalam konteks ini, ada sejumlah jabatan yang melalui mekanisme fit and propert tes di DPR, seperti tiga (3) orang hakim MK diusulkan oleh DPR, hakim MA melalui mekanisme fit and proper test di DPR, juga anggota KPK, dan sejumlah jabatan lain. Menurut logika politik anggota DPR, yang mereka anggap tidak lagi memenuhi syarat akan di evaluasi, sementara tidak ada standar dan prosedur yang jelas tentang bagaimana memenuhi atau tidak memenuhi syarat itu secara hukum. Dengan kewenangan ini, akan muncul parlemen dictator, sebab mereka mencampuri dan mengaduk urusan lembaga lain tanpa mekanisme hukum dan konstitusi.

DPR seperti perampok Somalia yang membajak kapal-kapal yang berlayar, sebab dengan Tata Tertib tersebut, DPR membajak lembaga-lembaga lain tanpa aturan dan melanggar hukum yang berlaku.

Padahal ketentuan UU organik masing-masing lembaga sudah mengatur tentang tata cara pemberhentian jabatan. Misalnya UU MK sudah mengatur tentang tata cara pemberhentian hakim MK dan dalam hal apa si hakim itu bisa diberhentikan. Begitu juga dengan UU tentang MA, UU tentang KPK serta sejumlah UU organik lain. Termasuk mekanisme pemberhentiannya sudah diatur dalam peraturan teknis, seperti Peraturan MK.

UU Nomor 8 tahun 2020 tentang MK Pasal 23 menjelaskan bahwa Hakim konstitusi diberhentikan dengan dua cara, yakni; diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak hormat. Kedua cara pemberhentian ini disertai dengan alasan masing-masing yang secara hukum dapat diukur dan dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang tentang MA. Pasal 11 mengatur tentang pemberhentian dengan hormat dan Pasal 11A mengatur tentang pemberhentian tidak dengan hormat.

Dari dua contoh tersebut saja, maka tidak ada kewenangan DPR untuk memberhentikan atau mengevaluasi jabatan apapun. Sebab setiap jenis jabatan sudah ada mekanisme evaluasi dan pemberhentiannya dalam peraturan organik yang mengatur lembaga tersebut. Apalagi kedudukan hukum Tata Tertib DPR secara hierarkis jauh dibawah UU, sehingga “haram” hukumnya bertentangan dengan UU. sebab berlaku asas, lex superior derogat lege inferiori. Peraturan yang lebih tinggi harus didahulukan dari peraturan yang lebih rendah.

*) Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT