Beranda Lensa APHTN-HAN Sulsel Diskusikan Tindak Lanjut Putusan MK 135/2024 Mengenai Desain Keserentakan Pemilu...

APHTN-HAN Sulsel Diskusikan Tindak Lanjut Putusan MK 135/2024 Mengenai Desain Keserentakan Pemilu Lokal dan Nasional

0

Matakita.co, Makassar-Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyebabkan meluasnya diskursus tentang Pemilu serentak dari berbagai ahli. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Sulawesi Selatan menangkap ini sebagai salah satu bahan diskusi yang sedang hangat, sehingga asosiasi ini melaksanakan webinar nasional dengan bertajuk Diskusi Publik yang di ikuti oleh berbagai kalangan dari berbagai daerah. Ada dosen, advokat, politisi, penyelenggara Pemilu dan penggiat Pemilu se Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut.

Webinar ini menghadirkan tiga narasumber yakni; Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH., M.Hum, Dr. Fahri Bachmid, SH., MH dan Fajlurrahman Jurdi, SH., MH. Ketiganya adalah ahli hukum tata Negara yang mumpuni dan menguasai konstitusi.

Menurut Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, SH., M.Hum, MK memeriksa juga Judex Factie, tidak memeriksa Judex Juris saja. Artinya tidak memeriksa norma konstitusi saja.

Bagi Prof Aidul, ada problem putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, terutama problem implementasi. Terdapat masalah dalam pelaksanaannya, sebab berpotensi melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945. Jelasnya

Lebih lanjut Prof Aidul juga menyampaikan bahwa Putusan MK 135/2024 berimplikasi pada terjadinya pemutusan proses legislasi yang tengah dilakukan oleh DPR. Lalu kemudian MK mengambil alih pilihan atas model keserentakan pemilu. tambahnya

“Ada dilema hukum yang berpotensi menciptakan pelanggaran konstitusi Masa jabatan anggota DPRD 5 tahun (Pasal 22E (1) UUD 1945), sementara KDH tidak ada ketentuan konstitusi. Nah prolemik ini kemudian MK memberikan Rekomendasi praktis untuk membuat aturan masa transisi. Lantas dengan demikian halnya apakah merupakan Rekayasa Konstitusional atau Konvensi Konstitusional’. paparnya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unhas, Fajlurrahman Jurdi, yang menegaskan bahwa putusan ini mengandung dualitas problem. “Jika tidak dilaksanakan, maka sama dengan melawan putusan pengadilan, dan itu berarti melawan hukum. Namun jika dilaksanakan, maka berpotensi melawan norma UUD NRI tahun 1945”, jelasnya.

Fajlur juga menegaskan “jika masa jabatan Anggota DPRD dipersingkat atau diperpanjang 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan, akan berpotensi melanggar ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945. Tetapi mempersingkat atau memperpanjang harus dilakukan berdasarkan perintah Putusan MK”. Paparnya

Kemudian Fajlur juga mengatakan bahwa “mungkin perlu ada Pemilu transisi untuk Anggota DPRD khusus masa jabatan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan. Jika Pilihan ini harus diambil, tetap juga berpotensi tidak sesuai norma konstitusi”. Ungkapnya.

Selanjutnya Fajlur melanjutkan “bisa juga masa jabatan anggota DPRD secara otomatis diperpanjang 2 tahun 6 bulan. Dengan demikian, total masa jabatan mereka 7 tahun atau 7 tahun 6 bulan. Ini alternatif yang paling mudah, dibanding alternatif diatas. Namun, menurutnya tetap juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945”. jelas Fajlur.

Hal berbeda disampaikan oleh Dr. Fahri Bachmid, SH., M.H., selaku Akademisi, politisi dan sekaligus advokat ini, sebenarnya keributan Putusan MK 135/2024 ini merupakan kelanjutan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menghendaki dua model keserentakan, yakni keserentakan nasional dan lokal atau tingkat daerah. Sehingga bagi saya yang paling bijak memang membuka ruang adanya masa pemilu transisi. Jelasnya

Fahri juga membeberkan bahwa untuk menyikapi putusan MK 135/2024 ini juga bisa saja terjadi perpanjangan masa jabatan bagi anggota DPRD, apabila pembentuk Undang-undang dalam Presiden dengan DPR menyepakati demikian. Kalaulah yang dikhawatirkan bahwa ini tidak sesuai dengan UUD 1945 atau Putusan MK melanggar UUD 1945, maka saya ingin katakan bahwa ada pendapat yang menarik kita direnungkan dari Prof. Jimly Asshiddiqie yang mengatakan “jika ditanya apakah putusan MK ultra petita ataukah putusan ultra pares?, memang fitrah dilahirkannya MK berangkat dari adanya kondisi ultra petita tersebut”. pungkasnya

Diketahui kegiatan ini dibuka langsung oleh Dr. Zulkifli Aspan, SH.,MH. Plt. Ketua APHTN-HAN Sulsel dengan menyampaikan dalam sambutannya bahwa kegiatan ini dirancang sebagai jawaban atas kegelisahan dikalangan akademisi untuk menyikapi putusan MK 135/2024 ini. Oleh sebab kita ditantang untuk bagaimana mendesain model pengisian jabatan pada tingkat lokal yang utama. Jelasnya.

Karena sebetulnya kita kehilangan orientasi untuk memberikan yang ideal dalam mendesain keserentakan pemilu lokal ini. Sebab kita terkendala pada ketentuan normatif pengaturan masa jabatan bagi anggota DPRD. Untuk itu melalui kegiatan ini kiranya bisa mendiskusikan secara seksama untuk mencapai gagasan yang paripurna dan memiliki legal standing yang kuat. Papar Dr. Zulkifli. (**)

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT