Beranda Kampus IMM Unhas, LPSD, Republik Institut, Hingga LHKP Gelar Diskusi Nasional Bahas Rekayasa...

IMM Unhas, LPSD, Republik Institut, Hingga LHKP Gelar Diskusi Nasional Bahas Rekayasa Konstitusional Pemilu Nasional dan Lokal

0

Matakita.co, Makassar, 31 Juli 2025-Pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi sorotan utama dalam Diskusi Nasional yang diselenggarakan oleh Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Hasanuddin, bekerja sama dengan berbagai lembaga pemikir dan aktivis kebijakan publik.

Kegiatan bertajuk “Rekayasa Konstitusional Pasca Putusan MK” ini menghadirkan pembicara dari unsur legislatif, akademisi, dan peneliti yang membahas arah reformasi sistem kepemiluan secara holistik dan multidisipliner. Acara ini terselenggara atas kolaborasi Pimpinan Komisariat IMM Hukum Unhas, Koordinator Komisariat IMM Unhas, Lembaga Penelitian Sosial dan Demokrasi, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Republik Institute, dan Matakita.co.

Dalam forum tersebut, Dr. H.M. Taufan Pawe, S.H., M.H., Anggota Komisi II DPR RI menekankan bahwa Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 merupakan momen penting dalam memperbaiki sistem pemilu nasional. Ia mendorong agar revisi regulasi kepemiluan tidak dilakukan secara parsial, tetapi melalui kodifikasi undang-undang dalam satu kerangka omnibus law. Menurutnya, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini telah menimbulkan dampak negatif seperti fragmentasi partai dan politik uang, sehingga perlu dipertimbangkan pengadopsian sistem campuran yang lebih representatif dan stabil.

Lebih lanjut, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Golkal ini menyoroti perlunya kolaborasi antarlembaga negara untuk membentuk regulasi kepemiluan yang adil, demokratis, dan inklusif. Ia juga menggarisbawahi pentingnya penguatan kapasitas penyelenggara pemilu, rekrutmen berbasis merit system, serta keterbukaan proses sebagai langkah memperkuat kepercayaan publik. Menurutnya, keterlibatan publik dalam proses perumusan revisi menjadi hal mutlak agar pemilu mendatang tidak hanya sah secara prosedural, tapi juga substansial.

Sementara itu, Dr. Endang Sulastri, M.Si., akademisi dan pakar kepemiluan, menyatakan bahwa Putusan MK ini merupakan bentuk koreksi sistemik atas kompleksitas pelaksanaan pemilu serentak lima kotak suara. Pemisahan jadwal antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dianggap dapat mengurangi beban kerja penyelenggara, meningkatkan kualitas pengawasan, serta memaksimalkan partisipasi pemilih. Ia menekankan bahwa pemilu harus dilihat sebagai proses institusional, bukan sekadar kegiatan politik periodik.

Menurutnya, pemisahan pemilu membawa implikasi luas, baik dari sisi hukum, kelembagaan, maupun administratif. Ia menyebut perlu segera dilakukan revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada, pembentukan roadmap transisi yang terstruktur, serta penataan ulang tahapan dan logistik pemilu. Penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu harus disiapkan sejak awal agar tidak gagap menghadapi perubahan format kepemiluan di tahun 2029 dan seterusnya.

Dari sisi Hukum Tata Negara, Muslim Haq, S.H., M.H. Peneliti Lembaga Penelitian Sosial dan Demokrasi menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat secara konstitusional. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak ada ruang penolakan oleh lembaga legislatif. Ia juga mengusulkan perlunya rekayasa konstitusional yang mencakup skenario transisi, pengaturan jadwal baru, hingga kemungkinan amandemen UUD jika konflik tafsir berlarut.

Lebih lanjut, peneliti LPSD ini menawarkan sejumlah opsi rekayasa konstitusional yang dapat ditempuh mulai dari revisi undang-undang, pengaturan pasal transisi untuk menghindari kekosongan jabatan legislatif daerah, hingga opsi ekstrem berupa amandemen UUD 1945 jika konflik tafsir terus berlangsung. Ia juga mengangkat konsep verfassungswandlung (perubahan konstitusi informal) sebagai fenomena yang sudah lazim dalam praktik hukum tata negara Indonesia pasca reformasi.

Selain itu Muslim juga memberikan catatan bahwa sebelum menyikapi putusan MK ini maka terlebih dahulu harus memadukan cara pandang, mungkinkah pasca Putusan MK ini berakibat pada Hukum ketatanegaraan darurat, atau hanya sekadar membutuhkan rekaya konstitusional, atau justru menjadi konvensi konstitusional. tandasnya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Ahli Hukum Ketatanegaraan di bidang Kepemiluan Fakultas Hukum Unhas, Fajlurrahman Jurdi, SH., MH., yang menegaskan bahwa putusan ini mengandung dualitas problem. “Jika tidak dilaksanakan, maka sama dengan melawan putusan pengadilan, dan itu berarti melawan hukum. Namun jika dilaksanakan, maka berpotensi melawan norma UUD NRI tahun 1945”, jelasnya.

Fajlur juga menegaskan “jika masa jabatan Anggota DPRD dipersingkat atau diperpanjang 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan, akan berpotensi melanggar ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945. Tetapi mempersingkat atau memperpanjang harus dilakukan berdasarkan perintah Putusan MK”. Pungkasnya

Bagi Fajlur dalam menyikapi putusan MK 135 ini “mungkin perlu ada Pemilu transisi untuk Anggota DPRD khusus masa jabatan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan. Jika Pilihan ini harus diambil, tetap juga berpotensi tidak sesuai norma konstitusi”. Ungkapnya.

Bisa juga masa jabatan anggota DPRD secara otomatis diperpanjang 2 tahun 6 bulan. Dengan demikian, total masa jabatan mereka 7 tahun atau 7 tahun 6 bulan. Ini alternatif yang paling mudah, dibanding alternatif diatas. Namun, menurutnya tetap juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945”. jelas Fajlur, Penulis Buku Pengantar Hukum Pemilu.

Engki Fatiawan selaku Ketua Korkom IMM Unhas dan juga bertindak sebagai moderator, menyampaikan bahwa kegiatan diskusi ini tidak hanya menjadi ruang pembelajaran bagi mahasiswa hukum, tetapi juga sebagai kontribusi nyata dalam membangun diskursus publik yang konstruktif. pungkasnya

Lebih lanjut Engki menyampaikan Pihak panitia berharap, kegiatan ini dapat menjadi sarana advokatif yang mendorong literasi konstitusional serta meningkatkan kesadaran publik terhadap dinamika hukum dan demokrasi di Indonesia.pungkasnya

“Kami berharap diskusi ini bisa menjadi referensi intelektual dan arah baru bagi reformasi sistem pemilu yang lebih adil dan rasional,” ujar Engki

Diakhir Engki juga menegaskan bahwa IMM komitmen untuk terus menghadirkan forum-forum akademik yang menjembatani pemikiran mahasiswa, akademisi, dan pengambil kebijakan dalam isu-isu strategis ketatanegaraan. paparnya (**)

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT