Matakita.co, Vietnam- Peneliti Republik Institute memperkenalkan kearifan lokal masyarakat adat Suku Kajang sebagai model tata kelola lingkungan berkelanjutan dalam ajang internasional 13th International Conference on Environment Pollution and Prevention (ICEPP 2025) yang diselenggarakan di Ho Chi Minh, Vietnam Pada 07 Oktober 2025.
Konferensi ini dihadiri oleh akademisi dan peneliti dari berbagai negara, termasuk Rusia, India, Australia, Amerika Serikat, Singapura, Taiwan, China, Korea Selatan, Philipina, yang bersama-sama membahas strategi global dalam menghadapi krisis iklim, pencemaran lingkungan, dan kehilangan keanekaragaman hayati yang terus terjadi setiap tahun.
Dalam presentasinya berjudul “Integrating Indigenous Governance into Nature-Based Solutions for Climate and Biodiversity Resilience,”.
Rismawati Nur, peneliti Republik Institute sekaligus mahasiswi pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, memaparkan pentingnya mengintegrasikan sistem tata kelola masyarakat adat (indigenous governance) dalam kebijakan lingkungan modern.
Risma menjelaskan bahwa pendekatan berbasis alam atau Nature-Based Solutions (NbS) harus dipahami tidak hanya sebagai upaya teknis, tetapi juga sebagai proses sosial yang menuntut partisipasi dan keadilan. “Kearifan lokal masyarakat adat memiliki nilai ekologis dan moral yang mampu menjaga keseimbangan alam jauh sebelum konsep konservasi modern diperkenalkan,” ujarnya.
Penelitian ini menegaskan bahwa meskipun masyarakat adat hanya mencakup sekitar 5% dari populasi dunia, mereka melindungi hampir 80% keanekaragaman hayati global di wilayah adat yang luasnya sekitar 24% dari daratan bumi. Data ini menunjukkan bahwa keberlanjutan ekosistem global sangat bergantung pada peran masyarakat adat dalam menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Sebagai contoh konkret, penelitian ini mengangkat Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang menerapkan sistem hukum adat berbasis pada nilai-nilai spiritual dan ekologis. Mereka membagi wilayah hutan menjadi tiga kategori: Borong Karamaka (hutan sakral yang dilindungi sepenuhnya dari aktivitas manusia), Borong Batasayya (hutan komunal yang hasilnya digunakan untuk kepentingan bersama dengan izin pemimpin adat Ammatoa), dan Borong Luarayya (hutan subsisten yang dikelola secara lestari untuk kebutuhan sehari-hari).
Sistem ini memastikan keseimbangan antara konservasi, kebutuhan ekonomi, dan pelestarian budaya. Filosofi hidup masyarakat Kajang yang termaktub dalam Pasang ri Kajang menyatakan bahwa “jika hutan rusak, maka adat dan kehidupan pun akan rusak.” Pandangan ini menunjukkan keterikatan erat antara manusia, hukum adat, dan lingkungan.
Risma menegaskan bahwa pengalaman masyarakat Kajang telah membuktikan bahwa tata kelola adat dapat menjadi fondasi utama Nature-Based Solutions (NbS). Pendekatan ini menanamkan tanggung jawab ekologis ke dalam sistem sosial dan budaya, menghasilkan legitimasi dan keberlanjutan yang sulit dicapai oleh mekanisme hukum negara semata.
Ia juga menyoroti bahwa hingga kini hak-hak masyarakat adat masih sering diabaikan sehingga menghambat potensi mereka dalam menjaga keberlanjutan ekosistem. Padahal, masyarakat adat selama berabad-abad telah mengembangkan sistem pengetahuan ekologis dan tata kelola sumber daya yang terbukti mampu menjaga keseimbangan alam. “Masyarakat adat perlu diakui haknya atas tanah, wilayah, dan sumber daya, serta memperoleh perlindungan hukum yang kuat. Tanpa pengakuan ini, upaya mitigasi perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati tidak akan benar-benar adil dan efektif,” tegasnya.
Risma menambahkan bahwa upaya pencegahan kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang semakin memburuk tidak akan terwujud jika tata kelola lingkungan tetap bersifat sentralistik dan mengabaikan prinsip pluralisme hukum yang mengakui peran hukum adat. Pendekatan negara yang bersifat teknokratis sering kali gagal karena kurangnya legitimasi sosial dan minimnya keterlibatan masyarakat lokal. Sebaliknya, ketika nilai adat dan struktur sosial masyarakat adat diakui dalam kebijakan lingkungan, muncul legitimasi yang lebih kuat dan kepatuhan ekologis yang berkelanjutan.
Melalui penelitian ini, Risma menekankan pentingnya penerapan model ko-manajemen (co-management) antara negara, masyarakat adat, dan masyarakat sipil sebagai wujud tata kelola lingkungan yang inklusif dan partisipatif. Kolaborasi ini diyakini mampu menghasilkan sistem pengelolaan yang tidak hanya berorientasi pada konservasi ekologi, tetapi juga menjamin keadilan sosial dan keberlanjutan lintas generasi.
Karya ini mendapat perhatian luas di ICEPP 2025 karena menawarkan kerangka ilmiah yang menggabungkan hukum, ekologi, dan budaya lokal sebagai satu kesatuan. Kontribusi ini memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi lingkungan global, dengan menampilkan bahwa pengetahuan adat Nusantara bukan hanya warisan budaya, tetapi juga solusi ilmiah untuk krisis iklim dan keberlanjutan lingkungan.(**)









































