Oleh: Masmulyadi*
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendata pemilih disabilitas mental menuai polemik. Pihak yang setuju dengan keputusan KPU melihatnya bahwa apa yang dilakukan KPU sudah tepat mengingat penyitas mental merupakan warga negara yang dilindungi hakhaknya. Sedangkan pihak yang tidak setuju mendasari pandangannya bahwa orang dengan status disabilitas mental dianggap tidak bisa berfikir secara sehat.
Bahkan bukan hanya setuju dan tidak setuju atas keputusan KPU itu. Di linimasa nitizen berkembang pandangan yang lebih fatal. Pandangan itu mengemukakan bahwa pendataan disabilitas mental adalah bentuk akal-akalan KPU dalam memenangkan kepentingan tertentu pada Pemilu 2019.
Persepsi Yang Keliru
Polemik diatas sejatinya tidak perlu terjadi kalau kita jernih memandang keputusan MK dan KPU berkaitan dengan disabilitas mental ini. Menurut saya polemik tersebut latar belakangi oleh dua hal yaitu adanya norma baru dalam PKPU yang mengatur penyusunan daftar pemilih dan persepsi yang keliru memaknai keputusan MK dan KPU.
Pertama, norma baru yang ada dalam ketentuan pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu yaitu tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya yang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak lagi diatur.
Kalau disebut norma baru, sebenarnya bukan juga baru. Karena memang dalam praktik di Pemilu 2014, Pemilihan 2015, 2017 dan 2018, norma “tidak sedang terganggu jiwa/ ingatannya” memang ada. Tetapi berdasarkan keputusan MK Nomor 135/2015, maka pembuat UU tidak lagi memasukkan norma tersebut dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang diatur sebagai syarat pemilih dalam ketentuan pasal 198 sampai pasal 200 UU aquo yaitu: (1) WNI, (2) berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, (3) didaftar, (4) tidak dicabut hak politiknya oleh putusan pengadilan, dan (5) bukan anggota TNI/Polri.
Kedua, persepsi mengenai terminologi “gila” lahir dari cara pandang yang sempit mengenai disabilitas mental ini. Hal ini dapat dilihat dari status nitizen yang berkembang sebagai respons atas keputusan KPU itu. Saya ambil contoh, misalnya “Jika orang gila punya hak memilih, maka dia juga punya hak untuk dipilih”?
Pandangan tersebut sesungguhnya tidak hanya berkembang di kalangan masyarakat bawah. Bahkan beberapa tokoh dan elit politik juga berkembang pandangan yang sama. Yaitu melihat disabilitas mental ini dari satu perspektif saja, yaitu gila.
Padahal keputusan MK Nomor 135/2015 jelas mengatakan bahwa gangguan jiwa/ingatan dapat bersifat permanen dan episodik. Terhadap yang disabilitas mental dengan sifat episodik inilah yang di data oleh KPU. Sedangkan yang permanen seperti yang dibayangkan banyak orang, yaitu “gila” tidak lagi di data.
Hak Disabilitas
Keputusan KPU melakukan pendataan dan memasukkan pemilih disabilitas mental episodik dalam daftar pemilih patut diapresiasi. Keputusan tersebut meski menuai polemik, tetapi membuka ruang bagi penyitas mental memperoleh hak-hak politiknya dalam Pemilu.
Apa yang diputuskan oleh KPU bukanlah sebuah hadiah, tetapi dari sisi penyitas dan gerakan difabel, keputusan tersebut adalah kemenangan-kemenangan kecil – meminjam istilahnya Roem Topatimasang – yang diperoleh dari satu proses perjuangan panjang. Bukan apa-apa, dalam banyak kasus, afirmasi dan penghormatan terhadap kaum difabel belum menjadi arus utama di Negeri ini. Itulah sebabnya, keputusan KPU itu seolah memberi pelajaran bahwa tidak ada yang tidak mungkin kalau keyakinan, gagasan dan idealisme diperjuangkan dengan konsisten.
Jadi perlu diingat bahwa keputusan KPU itu bukan pemberian cuma-cuma, tetapi hak-hak kaum difabel yang diperjuangkan dan sudah sepatutnya penyelenggara Pemilu melaksanakannya dengan sepenuh hati dan akuntabel. Lagi pula apa yang menjadi keputusan KPU mendata disabilitas mental merupakan refleksi dari amanat konstitusi pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan yang sama didepan hukum, termasuk kepada kaum difable.
Akhirnya pengakuan dan jaminan hak-hak asasi kaum disabilitas, khususnya disabilitas mental yang dilakukan oleh KPU melalui proses pendataan disabilitas mental kedalam daftar pemilih perlu diapresiasi dan dikawal oleh publik untuk menjamin akuntabilitas prosesnya. Wa Allahu A’lam.
*) Penulis adalah peneliti Institute for Social and Democracy (ISD).