(Ironi politik bangsa Berawal Dari Ironi Mahasiswa)
Oleh : Arief Rachman*
Kata “pemuda” seringkali ditafsirkan dengan kelompok anak muda yang masih “bau kencur” alias belum berpengalaman, belum matang dalam berpikir dan belum stabil secara emosi. Pemuda juga ditafsirkan sebagai penyuplai dan peletak narasi idealisme. Sebenarnya dalam hidup ini yang namanya idealisme iyalah suatu pemikiran tentang dunia utopia. Dunia utopia seperti mimpi. Tapi penulis percaya bahwa mimpi yang terukur dan dikombinasikan dengan pemikiran serta semangat positif dapat mengubah dunia. Sejalan dengan salah satu kata bijak yang mengatakan “Pada saat kita berhenti bermimpi, kita berhenti berusaha, maka kita akan mati.
Disinilah peran pemuda, sebagai sosok yang dinamis, yang penuh energi, dengan optimisme diharapkan untuk dapat menjadi pembawa perubahan (agen of change). Berpikir, bergerak dan berusaha untuk sedekat mungkin dengan dunia utopia itu. Pemuda, diharapkan bisa membawa ide-ide segar, pemikiran-pemikiran kreatif dengan metode thinking out of the box yang inovatif. Untuk Perubahan Bangsa yang yang berkemajuan.
Pemuda Sebagai Agen Of Change
Dari literasi yang penulis pelajari, setidaknya ada lima karakteristik pemimpin yang baik yang harus ada dalam diri seorang Agen of change. Pertama, visi pembaharuan. Sebagai pemimpin, seseorang harus memiliki target yang jelas sehingga program kerja dapat disusun dengan baik dan dengan tahapan yang berkesinambungan, karena arah yang dituju tergambar dalam visi. Pemimpin yang baik harus bisa menjelaskan ide dan konsep yang ada dalam pemikirannya secara jernih kepada masyarakat yang dipimpinnya. Penulis berpendapat bahwa benar pernyataan Albert Einsten benar “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”.
Yang kedua, pemimpin harus memiliki kegigihan untuk mencapai target. Ketiga, bersikap kritis dan analitis. Keempat, sarat akan pengetahuan dan memimpin dengan memberikan contoh, bukan hanya dengan instruksi. Kelima, membangun hubungan yang kuat dengan orang-orang sekitarnya dengan membangun kepercayaan. Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus memiliki integritas agar dapat dipercaya.
Pemuda dan semangatnya dibutuhkan sebagai change agent dalam berbagai sektor, termasuk sektor politik. Selama masih ada yang namanya “negara”, politik juga akan selalu ada. Masalahnya, politik sudah terlalu lama terasosiasi sebagai suatu hal yang kotor dan karenanya dihindari banyak orang. Kata politik hampir identik dengan “perebutan kekuasaan demi jabatan dan uang”. Akibatnya, banyak anak muda berpotensi menghindari dan tidak peduli dengan politik. Namun sikap ini tanpa disadari secara tidak langsung membuat kondisi politik menjadi semakin buruk karena level of competition tidak sehat, baik dari sisi kemampuan maupun integritas, menjadi rendah untuk seseorang menduduki posisi strategis dalam lembaga-lembaga negara. Itu semua tidak terlepas dari pada bagaimana terjadinya disfungsi partai politik.
Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik (Miriam Budiardjo) menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya tugas dan fungsi partai politik. Disebutkan, setidaknya ada 4 (empat) fungsi partai politik yaitu: komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana recruitment atau regenerasi politik dan sarana pengatur konflik.
Tentunya dari ke empat fungsi itu bisa kita pahami bagaimana pentingnya dan vitalnya peranan partai politik, andai saja partai-partai itu beserta seluruh representasinya di badan legislatif, hingga eksekutif benar-benar mampu menjalankan. Realita yang terjadi malah menunjukkan sebuah paradoks yang memprihatinkan.
Implementasinya jauh panggang dari api. Di mulai dari Sistem/Prosedur pengkaderan partai politik/perekrut kader (membuka kran selebar-lebarnya pendaftaran bakal calon baik dari kader maupun non kader untuk diusung mejadi calon legislatif ataupun eksekutif yang akan datang, sekalipun beberapa diatara parpol tersebut dengan lantang menawarkan pendaftaran secara GRATIS namun kelak tetap akan membebankan Cost Politik terhadap Calon yang akan di menangkannya kelak, minimal operasional mesin partai/Istilahnya Mahar Politik) kemungkinan partai akan sekehendak hati dalam merekrut dan menentukan calon tanpa melihatkan aspirasi dan partisipasi konstituennya serta masyarakat umum, tidak jarang melakukan black campaign yang disebarkan kepada masyarakat demi menarik simpati. Belum lagi kegagalan partai dalam melakukan proses agregasi perumusan kepentingan masyarakat yang akan dijadikan sebagai usulan kebijakan. lebih disibukkan dengan upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan semata (Tampa ada doktrinasasi pengetahuan politik murni dan sehat). Pun dalam regenerasi kepemimpinannya, tampaknya belum ada partai yang mampu menunjukkan kepada masyarakat, bahwa parpol menjadi salah satu representasi praktik demokratisasi. Malah yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, pembentukan pengurus tandingan, gugat menggugat ke Pengadilan, atau mengukuhkan kembali pemimpin partai yang sudah menahun dalam kepengurusannya tanpa melalui proses yang kita sebut demokrasi. Aklamasi, katanya. Paraktik-praktik itu tak lebih hanya mempertegas bahwa: menata internal saja mereka belum mampu, konon lagi menata bangsa.
Terakhir kegagalan partai politik sebagai pengatur konflik. Partai yang diharapkan sebagai penyimpul kepentingan sehingga meminimalisir terjadinya konflik ditengah masyarakat malahan menggunakan kondisi masyarakat yang buta politik dan fanatik untuk menciptakan konflik. Kita sangat memahami kondisi ini, dimana hampir dalam setiap berita selalu saja ada sengketa pemilu yang berakhir dengan bentrokan fisik dan juga konflik tersebut berlarut-larut sehingga menciptakan kondisi sosial yang tidak stabil. Jika Parpol saat ini menyadari keadaan ini, maka seharusnya parpol meretas jalan baru dan tidak lagi menggunakan pola struktur lama atau membiarkan politik itu di kotori oleh oknum tertentu. Akibatnya, orang-orang yang memegang kekuasaan dalam negara bukanlah orang-orang terbaik yang ada di negara tersebut, melainkan orang-orang yang memang dari awal masuk ke dalam politik dengan niat untuk semata-mata memperoleh jabatan dan kekuasaan demi uang atau kepentingan pribadi lainnya. Pada saat kancah politik dan lembaga negara dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkualitas ini, semakin orang-orang yang berkualitas menjauhi area tersebut. Hal ini terjadi terus menerus dan menjadi lingkaran setan
Dan tentunya bagaimana keadaan politik bangsa hari ini, bagaimana keadaan Negara hari ini, itu tidak terlepas dari peran generasi muda. Maka dari itu Peribahasa yang sering kita dengarkan ialah “Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, kalau ada masalah pada batang atau buahnya coba cari akarnya”.
Saat ini banyak sekali terjadinya kesenjangan sosial, kesengsaraan, tirani dan fenomena-fenomena ketidakadilan yang lainnya, seperti korupsi, penyelewengan, perampasan hak warga, dan bagi saya hal tersebut bisa di sebabkan kejanggalan Sistem Partai politik sebagai jembatan Demokrasi dan sedikit banyaknya punya kaitan dengan pengalaman-pengalaman pejabat tersebut saat masih menjadi mahasiswa. Jadi jangan heran ketika pejabat-pejabat golongan elit berlaku seperti itu.
Faktanya di lapangan, orang-orang yang sekarang menduduki kursi pemerintahan adalah orang-orang yang dulunya merupakan seorang organisatoris, atau dia pernah aktif di lembaga mahasiswa, mengenyam asam garam pahit manisnya dunia kampus atau istilah kekinian dan kerennya ialah “aktivis”. Jadi kalau banyak yang korupsi hari ini mungkin saja ada yang salah ketika dia bermahasiswa, ada yang tak beres ketika dia berlembaga.
Melihat penyakit sosial yang menggrogoti sebagian besar aktivis mahasiswa maupun para intelektual, telah menjadi duri tersendiri dalam kesucian sebuah perjuangan. Ya mungkin saja penyakit itu hadir ketika seseorang punya hasrat terhadap kekuasaan dan berusaha meraihnya seperti kata Nietzsche, semua orang punya “the will to power”
Realitas kemahasiswaan yang saya saksikan dan dirasakan hingga detik ini, pertama di forum-forum perkaderan dan kajian serta ruang-ruang diskusi, kita sering mendengar dan selalu disampaikan, bahwa kita punya kemandirian berfikir, harus mengedepankan nilai-nilai etika saling menghormati, menghargai dan rasa nasionalisme harus di junjung tinggi, jujur, beribawa, diajarkan untuk menegakkan keadilan dan hukum sebagai panglima negara, serta dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki harusnya mampu memberikan kontribusi denga cara meraih prestasi agar dapat mengharumkan nama bangsa dan negara tercinta. dan yang utama doktrinasasi memerangi korupsi!!!
Namun apa daya sebagian aktivis mahasiswa memiliki perilaku tidak mencerminkan seperti apa yang seharusnya di lakukan ketimpangan antara “das sollen” dan “das sein” antara lain kuliah di terlantarkan, banyak mahasiswa yang secara sadar melanggar hukum, bukan saja diluar tapi juga di internalnya, sering terjadi pelanggaran AD/ART yang menjadi konstitusi organisasi. Sering terjadi pelanggaran POUK yang menjadi landasan Berjalannya Lembaga Kemahasiswaan yang tidak di implementasikan dengan semaksimal mungkin. Yah lagi-lagi konstitusi sekedar omong kosong belaka sebullshit tarian! Pada saat berlangsungnya aksi demonstrasi meliputi kegiatan pembakaran bendera merah putih, pembakaran gambar pemimpin nasional, pendudukan terhadap gedung-gedung kenegaraan, perubahan syair lagu-lagu nasional menjadi lagu-lagu yang menyuarakan ketidakpuasan, dan kerawanan sosial sebagai salah satu contohnya terjadi bentrok dengan aparat penegak hukum. Etika tidak di kedepankan bagaimana ingin menjadi pemimpin yang baik di masa yang akan datang?
Fenomena lainya yang sering muncul pada saat pemilu raya mahasiswa (PEMIRA) tidak kalah menariknya juga untuk di bahas, tidak jarang terjadi permainan pada lembaga KPRM/KPUM (Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa) “siapa yang akan kita menangkan, apa keuntungan dan kerugian ketika dia menang” pertanyaan utama baik secara personal bahkan secara kelembagaan dan parahnya lagi dalam dunia kampuspun tetap berlaku pula istilah “money politik” sebagai jembatan (prosedur instan) dalam menggapai sebuah kekuasaan, Jika kita kaitkan dengan konspirasi maka inilah yang disebut dengan “outher out of chaos” (menciptakan kekacauan untuk menggolkan agenda)
Lucu tidak? Mengkritik dunia politik “money politik” berbicara tentang politisi pragmatis dan pemilih pragmatis yang menimbulkan dampak pada Korupsi namun tidak sadar dengan dirinya sendiri.
Bahkan yang lebih parahnya, Di jalanan dengan lantang bersuara yang tidak senonoh, Kalimat kalimat kasar dilemparkan dan di kemukakan begitu saja menggunakan megaphone sembari memblokir jalan, bakar ban yang terminologi mereka biasa dikenal dengan parlemen jalanan. Mereka menyuarakan perlawanan terhadap KORUPSI. tapi siapa yang tau? siapa sangka? dan siapa yang bisa pastikan apa yang terjadi ketika mereka berurusan dengan proposal kegiatan yang bernilai jutaan bahkan ratusan juta yang mereka Laporkan ke birokrasi dan pimpinan kampus (Kegiatan Kemahasiswaan). Proses Laporan Pertanggung Jawabannya. Saya katakan bullshit!!!
Dari warkop yang satu ke warkop yang lain khotbah bahwa jangan berlaku curang sesama manusia, tapi justru kecurangan menjadi santapan sehari-harinya, yang telak menjadi korbannya tidak jauh-jauh, temannya sendiri. Aktivis mahasiswa memasang wibawa intelek dan sok suci. Lidahnya yang begitu lihai memainkan setiap inchi kalimat-kalimat retoris, memaksa psikologi orang yang mendengarnya berdecak kagum, tapi aneh bin ajaib semua itu berubah saat dia kembali ke rumah ataupun kosnya, 180 derajat tidak sesuai dengan apa yang dia sampaikan.
Koar-koar politik sehat politik sehat!!! Penerapan politik ente di kampus sudah sehat belum??
Dan masih sangat banyak inkostensi gerakan lainnya yang sangat jauh dari khittanya yang mewabah di kaum “Agent of change” ini, ya… semuanya omong kosong yang di lumuri retorika semu dan melangit belaka. Yang saya mau bilang bahwa kita masih jauh dan sangat jauh, jauh sekali dari apa yang kita impikan di forum-forum diskusi, ruang-ruang kajian dan wadah diskursus selama ini. Jangan heran ketika banyak pejabat/dosen/staf/pegawai korupsi. Karena secara tidak langsung dalam dunia kampuspun kita ajarkan seperti itu. Bagaimana tidak, kurang banyaknya pengkajian penulis, aktivitas mahasiswa yang penulis ceritakan tadi belum terlalu terbesit bagaimana indikasi awal munculnya rasa ingin melakukan aksi korupsi itu. tapi hasrat yang memunculkan kemauan untuk melakukan tindakan itu tidak lain dan tidak bukan ketika mereka melihat suatu fenomena-fenomena yang terjadi pada lingkungannya. Tidak jauh-jauh mengambil contoh kita berbicara pada tatanan kampus Universitas Muhammadiyah Mataram. Bagaimana dosen/staf pegawai-pagawai yang banyak melakukan tindakan tidak senonoh yang tidak patut untuk di tiru, contoh sederhana terjadinya pemungutan liar uang ijin survei yang di pungut Rp10.000/kepala mahasiswa(tidak memiliki SK Rektor), dugaan kasus korupsi yang tidak di proses secara hukum malah di proses secara kekeluargaan bahkan hanya di biarkan begitu saja. Nah fenomena-fenomena seperti inilah yang merusak psikologis mahasiswa. Dosen/staf pegawai sebagai orang tua mahasiswa ketika dalam ruang lingkup kampus yang seharusnya di gugu dan di tiru malah berbuat yang tidak-tidak. Kalau pemikiran awam muncul mending seperti itu kalau masuk ngajar/jadi pegawai di kampus ini, toh gak diapa-apain. Aman-aman saja. (itu hanya secuil masalah yang ada di kampus UMMAT, Kalaupun KPK bisa masuk dalam lingkungan kampus mungkin sudah banyak yang memakai seragam kebanggaan yang bertuliskan Tahanan KPK).
Sebagai penutup tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa Generasi milenial harus bisa bertindak sebagai change agent dan memutus lingkaran setan tersebut. Pemuda harus tetap optimis dan tidak berhenti melakukan langkah-langkah perbaikan, termasuk dalam sektor politik. Pemuda harus mau peduli dengan kualitas politik negaranya dan berani terjun ke dalamnya. Karena perbaikan politik hanya akan terjadi pada saat orang-orang baik, profesional dan berintegritas masuk ke dalam politik.
Tidak dapat disangkal bahwa politik sudah terlalu lama disalahgunakan oleh orang-orang opportunist demi jabatan, kekuasaan dan uang semata. Tapi sesungguhnya ada dimensi lain dari politik, yaitu suatu alat dahsyat yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Apabila kita berpolitik dengan baik dan benar, maka kita dapat menjadikan dunia ini menjadi lebih baik. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandi, “Be the change you wish to see in the world “. Jangan mengandalkan orang lain untuk melakukan perbaikan, tapi kita harus mau turun tangan untuk melakukan perbaikan yang kita inginkan yang dapat membumikan gagasannya lewat program-program yang membuat kaum milenial lebih siap menghadapi tantangan. Seperti penambahan jumlah penduduk usia produktif itu pasti, namun apakah pertumbuhan ini akan menjadi bonus atau petaka demografi bergantung kepada keberanian kita memilih jalan perubahan itulah yang harus kita perjuangkan secara bersama.
*) Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Mataram