Oleh : M. Aris Munandar*
Cikal bakal dibentuknya regulasi terkait agraria di Indonesia adalah karena adanya suatu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hakikat keadaan hukum agraria di Indonesia berazaskan peniadaan asas domain verklarin (pengakuan hak milik oleh bangsa Belanda) menuju pada adanya hak ulayat (adat). Sejarah perkembangan regulasi terkait agraria dimulai dan baru memuncak pada 24 September 1960. Di mana pada masa itulah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Esensi dari UUPA adalah adanya pengaturan terkait berbagai macam hak yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, serta hak guna ruang angkasa, keseluruhan hak tersebut dapat dilihat dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) UUPA. Salah satu hak yang diatur secara eksplisit dalam UUPA adalah adanya hak ulayat atau hak adat yang diatur dalam Pasal 3 UUPA. Hak adat tersebut merupakan hak menjadi prioritas utama dan menjadi bersifat esensial apabila dilihat dalam konteks UUPA.
Untuk memahami makna agraria yang sebenarnya, penulis bertendensi pada pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Budi Harsono, SH (Guru Besar Universitas Trisakti) dalam buku “Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) yang ditulis oleh H, Ali Achmad Chomzah, SH, mengemukakan bahwa “AGRARIA” meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bahkan dalam batas-batas tertentu, juga ruang angkasa. Tentunya, makna agraria tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstitusi negara Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur terkait agraria dalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air fsn kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Konstitusi negara Indonesia secara fundamental telah mengamanatkan untuk memberikan pemanfaatan agraria untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan adanya pasal tersebut dalam konstitusi maka siapapun yang menjadi pemerintah ataupun penguasa wajib memanfaatkan segala kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan rakyat Indonesia bukan kepentingan bangsa asing.
Urgensi UUPA Sebagai Landasan Pembentukan Regulasi Terkait Agraria
Secara normatif, dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan undang-undang berada posisi ketiga di bawah UUD NRI dan TAP MPR RI serta berada di atas peraturan-peraturan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sehingga segala peraturan yang bersifat berada di bawah undang-undang wajib mengedepankan undang-undang tersebut sebagai landasan dalam pembentukannya, tak terkecuali UUPA sebagai undang-undang wajib menjadi patokan dalam pembentukan regulasi yang berada di bawahnya.
Pada perkembangannya, UUPA layaknya manusia yang pada masa mudanya memiliki kejayaan serta eksistensi dan kehidupan yang indah, namun pada masa tuanya telah lapuk bahkan tidak memiliki daya dan upaya dalam mempertahankan hidupnya. UUPA secara historis baru lahir setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun setelah negara Indonesia diproklamirkan. Dapat dilihat bahwa kelahiran dari UUPA ini memang sangat dinanti-nanti untuk bangsa Indonesia.
Kelahiran UUPA memang merupakan sebuah keindahan yang nyata pada masa lalu, namun seiring dengan perpindahan kekuasaan dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang menumpuk dari kalangan elitis bahkan penguasa, banyak regulasi yang bermunculan yang menghilangkan marwah dari UUPA itu sendiri. Kebanyakan regulasi dibuat untuk memberikan kemudahan kepada kaum elitis atau bahkan bangsa asing untuk ikut serta dalam rangka menggunakan fasilitas agraria di Indonesia tak terkecuali munculnya rencana revisi regulasi tentang hak milik properti untuk warga negara asing yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Pada Pasal 3 ayat (1) PP No. 103 Tahun 2015 itu disebutkan bahwa Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.
Selain itu, dalam kasus masyarakat hukum adat Kajang, Kabupaten Bulukumba beberapa hari sebelumnya melakukan gerakan aksi dengan melalui organisasi Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Bulukumba yang menuntut perlu ada pengukuran kembali batas kepemilikan masyarakat, tanah adat milik suku Kajang, tanah adat Bulukumba Toa dan Hak Guna Usaha milik PT. PP LONSUM yang akan dilakukan oleh Tim yang di bentuk oleh pihak pemerintah. Penghentian aktivitas seperti saat itu bukanlah kali pertama, sebelumnya juga sudah diakukan oleh warga untuk menghentikan aktivitas PT. PP LONSUM karena di latar belakangi oleh sikap dari pihak perusahaan yang mereka katakan terus memaksakan kehendak dan mengingkari kesepakatan-kesepakatan yang dibuat. (Sumber: Suarajelata.com).
Secara subtansial hak adat diatur dalam UUPA guna melindungi eksistensi masyarakat adat yang masi ada dan memiliki pengakuan secara konstitusional. Hak adat itu sudah seyogyanya menjadi prioritas utama pemerintah dalam memberikan perlindungan bahkan mewujudkannya. Tetapi penguasa atau pemerintah seakan hanya menjadikan istilah Reforma Agraria sebagai ajang kampanye politik yang tak kunjung diimplementasikan kesetiap sudut negara Indonesia yang terpencil. UUPA selaku undang-undang khusus yang mengatur tentang agraria sudah sepantasnya dijadikan sebagai tolak ukur dalam setiap membuat regulasi bahkan suatu perjanjian dalam kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi baik swasta nasional maupun swasta asing.
Marwah UUPA Bertransformasi Menjadi Arwah
Kegelisahan demi kegelisahan dalam benak bangsa Indonesia semakin terjadi hampir setiap waktu dalam memikirkan eksistensi dari UUPA. Keberadaan UUPA telah menjadi nafas untuk hidup oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat hukum adat khususnya. Namun, nafas itu telah terkontaminasi oleh polusi dari udara kekuasaan yang banyak menimbulkan polemik agraria dikehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Masyarakat seperti kehilangan arah dalam menentutkan sikap, memilih diam justru akan tertindas, memilih bersuara akan di judge tidak bersyukur. Kerancuan kebijakan merupakan sumber utama menyebabkan marwah UUPA berubah menjadi arwah yang menghantui rakyat Indonesia. Arwah UUPA seakan bergentayangan dalam setiap aktivitas masyarakat, seakan meminta agar dihidupkan kembali dan menuntut agar UUPA dijadikan sebagai landasan berpijak dalam mencapai tujuan negara Indonesia yakni untuk menciptakan kesejahteraan umum dan kemakmuran yang berkeadilan.
Harapan hanya menjadi sebuah angan-angan, cita-cita hanya menjadi sebuah derita dan cerita, UUPA menjadi bangkai dalam bingkai kekuasaan. Arwah UUPA telah berhalusinasi untuk menuntut dikemabilkannya marwah UUPA yang secara esensial memberikan penguasaan tanah, air dan seluruh kekayaan alam yang ada di dalam negara Indonesia kepada pemerintah untuk dimanfaatkan demi kepentingan warga negara Indonesia bukan warga negara asing atau korporasi.
Pergerakan masyarakat untuk menuntut keadilan agraria acap kali dicekam dan dianggap sebagai suatu gerakan yang tidak bermutu. Seorang aktivis bernama Tan Malaka dalam bukunya “Aksi Massa” pernah mengatakan“Aksi massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan politik mereka…”
Ungkapan tersebut merupakan sebuah refleksi bahwa setiap gerakan sosial itu bukanlah gerakan tak bermutu, melainkan gerakan yang bermutu untuk menuntut keadilan demi kepentingan hidupnya. Sangatlah sia-sia suatu roda pemerintahan apabila cinta dari masyarakatnya tidak dapat ia manfaatkan untuk membangun bangsa dan negara. Namun, pada akhirnya siapakah yang akan menghidupkan marwah UUPA untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?. Jawabannya adalah hanya mereka yang berpikir dan mempunyai kepedulian terhadap rakyatlah yang akan memperjuangkan kesejahteraan dan menghidupan marwah dari UUPA sebagai tumpuhan hidup bangsa.
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal KAMMI Komisariat Sosial Humaniora Universitas Hasanuddin