Beranda Mimbar Ide Vanessa Angel, Wajah Otentik Moralitas Kita

Vanessa Angel, Wajah Otentik Moralitas Kita

0
Satria Madisa

Oleh: Satria Madisa*

“Pelukan iyalah pelukan, perasaan soal lain”, (Juang).

Hitam, gelap, berisik, hening, dialektis, suasana malam ini. Kopi Tambora, Tepal, Seruni, melayani malam kami, lengkap dengan keragaman rasa kretek, senafas dengan selera masing-masing anak muda. Saat malam mulai menghitam, dilangit Mataram, disebuah Keday Coffe kami merajut rasa. Kami jelas anak muda ngetren. Sekali kencan 80 Juta melayang, pelitik, kopi, disasar untuk melatih dan membiasakan otak mencerna isue berkembang. Hingga malam mulai membisu, 80 juta dan Vanessa Angel membantu kami tuk semangat berpikir. Terimakasih 80 Juta, angka keramat pemuas pikiran kami malam ini.

Latihan otak mencari dalil, gambaran suasana malam yang hitam ini, sampai jam 12: 38 terpaksa dijeda, dengan dua alasan, keday coffe tutup, dan suasananya kembali berisik, diluar narasi diskusi. Nampaknya waktu memperlihatkan sakralitasnya, kamipun berhenti mungkin besok, 80 Juta mempertemukan kami kembali. Mahasiswa harus ngetren yaa. Isue viral harus dilumat. Hitung-hitung memperkaya mulut menyediakan narasi. Karena itu, 80 Juta perlu disasar. Saya memilih sikap yang cukup ekstrem di negeri yang kaya falsafah dan moralitas ini. Diluar tendensi moralitas, yang sekarang (merespon 80 Juta) dalil untuk menghakimi dan mengutuk VA. Dengan dua alasan, lebay dan reflektif dengan kondisi kita hari-hari ini.

Alasan moralitas, agama, ekonomi, politik kita pertautkan dalam ucapan-ucapan justifikasi merespon sekali kencan 80 Juta. Tentu kita bisa berdebat panjang. Aspek moral menuntun kita untuk menjustifikasi baik dan buruk. Aspek ekonomi menuntun kita untuk bicara untung dan rugi. Sementara hukum sibuk mencela Celana Dalam VA, dan aspek publik terbelah bermacam-macam varian interprestasi. VA dan rekannya bernasib sama, yang terdahulu, maupun yang belum tersentuh media dan penegakan hukum, iyalah wajah asli dari biduan-biduan modrn yang kita sebut artis, dan nama lainnya. Mereka juga anak bangsa seperti kita, yang memilih realis memaknai modrnitas. Modrnitas yang meneguhkan satu poin penting, selama bernilai ekonomis, apapun itu bisa dijual. Online maupun offline. Jika tubuh (simbol integritas) selama ekonomis semacam halal untuk dijual. Bukankah negara secara sistemik menyediakan panggung legalisasi sex di negeri moralis ini? Hal sederhana saja, di Alfamart dan Indomart penjualan helm sex dilakukan tanpa standar yang jelas? Atau dalam dunia birokrasi penjualan kepala rakyat jadi budaya elit kita (KKN), lebih-lebih dunia aktivis yang dengan mudah mendagangkan integritas atas nama rakyat dengan tanpa beban. Mengapa VA yang memercantik tubuhnya dengan perawatan yang tanpa kita subsidikan dana, merasa perlu moralitas kita terpanggil untuk mengutuknya?

Kalau pemimpin saya diindikasikan berjinah dengan suami orang, saya berhak marah. Sebab kita gaji mereka untuk melayani kebutuhan kita, jika pejabat kita korup kita wajar marah dan mengutuknya, karena itu jelas merugikan masa depan pembangunan kita, Ini VA yang uang kita gak dia jarah, menjual dirinya, saya kira itu haknya. Kita kagak perlu mencelanya. Saya gak rugi, secara ekonomis maupun moral.
Kita lanjutkan analisisnya!

Lebay

Soal VA bukan soal baru. Tiap hari lalu lintasya dijalani kita semua. Bahkan tanpa kita sadari dan mengerti. Mungkin Angka 80 Juta memiliki kekuatan mistik yang ampuh menghidupkan nalar dan emosi kita. Di Kota besar, maupun kota kecil VA iyalah gambaran umum suasana glamor dan kejamnya kehidupan kita, di Bumi Manusia. Kelas kapitalis, semi, ataukah proletar, dan tetap saja standarnya bukan moral dan agama. Mulai dari bisnis online maupun ofline, kelas elit ataukah ekonomi, mahasiswa ataukah artis, negara memfasilitasinya. Di Kota Mataram ada kelas ekonomi legalisasi sex berbayar, namanya biasa disapa ‘Pasar Beras’. Untuk kelas elit yang menggunakan fasilitas elit, biasanya pejabat, negeri ini menyediakakan tempat yang layak. (Kelas dan kualitas daging dan tubuh) menjadi magnet tersendiri. Di Pantai, diskotik, bar, dan perhotelan. Gedung legalisasi sex atas nama pajak untuk rakyat, dengan gagah dan indah berdiri kokoh. Apakah kita marah karena 80 Juta tidak ada persen untuk pajak pembangunan? Sementarara tempat yang legal turut berkontribusi untuk pendapatan negara?

Lebainya kita dalam meramaikan isue yang terviralkan oleh media, ditambah dengan narasi menghakimi perempuan (VA). Bahkan CD ungunya dieksploitasi berlebih. Hukum dijadikan perkakas untuk menelanjangi anak bangsa yang sudah telanjang yang psikologi tercemar tajam. Sementara pengusaha, pejabat, yang menawarkan jasa kenikmatan (Laki_laki) merasa perlu untuk Hukum menjaga marwahnya. Bahkan untuk kasus menawarkan dan meminta jasa kenikmatan hanya yang kebetulan perempuan dieksploitasi berlebih dalam ragam interprestasi publik.

“jika produk yang ditransaksikan iyalah tubuh, dan tubuh dipandang tidak boleh didagangkan, maka pihak yang menawarkan dan meminta jasa harus diadili secara adil”! Lima belas kali pemesanan terhadap VA (Permintaan) yang notabanenya pengusaha dan pejabat harus dipanggungkan diruang publik. Bahkan penegak hukum perlu untuk menyita Celana Dalamnya dan mengumumkan diruang publik, Ungukah, Birukah, ataukah Hitam Pekat?

Reflektif

Nikita Mirzani (kabar.post) mengatakan bahwa hampir semua artis terlibat prostitusi online. Terserah kita percaya atau tidak. Tapi seharusnya riset dan survei perlu dilakukan untuk memahami wajah tersembunyi yang perlahan terkuak dalam dinamika keartisan kita hari-hari ini, yang sangat tentu status sosialnya lebih tinggi dari kaum intelektual dan teknokrat.

VA iyalah wajah tersembunyi menohoknya dunia keartisan kita. Iya bagai fakta yang mengguggah misteri. Wajah yang menampilkan sisi keotentikan glamornya jaman dengan semua kemajuan tekhnologi dan informasi. Setiap kota, memiliki VA dengan tarif yang berbeda-beda (tergantung kelas dan kualitas tubuh). VA mewakili gambaran sebuah negeri yang kaya falsafah dan moralitas dengan gedung dan gudang sex yang tersedia. Di produksi untuk dan atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD tentu atas nama rakyat dan pembangunan. Jika demikian mengapa kita perlu kaget dengan 80 Juta sekali kencan, sekali korup saja bisa bermiliaran rupiah? Sekali demo saja, ratusan juta siap ditransaksikan dengan atas nama rakyat?

Refleksi (kritik diri) atas persoalan ‘LENDIR WC 80 JUTA’ (Dr. Maman A Majid Binfas) dalam merespon kualitas daging 80 Juta seharusnya cerminan kolektif kita bersama. Dia (VA) sisi lain dari absennya falsafah, agama, dan moralitas dalam sistem pengelolaan negara, dan aktivitas kita sebagai warga negara. Lagi-lagi kita harus jujur, itu akibat hilangnya keteladanan, agama, moral dalam gambar besar sistem kehidupan kita. Bahkan tidak perlu ke Ibu Kota untuk membuktikan kebablasan dan pameran ‘amoralitas’ semacam prostitusi online!

Moralitas Kelaut Saja?

Tatkala senja mulai menganga, disuatu sore yang belum resmi menjadi malam, di bibir Pantai Ampenan kami melanjutkan diskusi yang tertunda. Walau personil yang berbeda. Sentral narasinya masih sama, tentang 80 juta sekalali kencan. Hari mulai berganti, VA, Pengusaha, dan moralitas masih kami sasar. Pentingkah aspek moral dilibatkan untuk menelaah perilaku yang menurut mayoritas amoral?

Kita pernah mendengar filosofi lautan? Sebuah bagian dari alam yang terdiri dari air, karang, ikan, anjing laut, mutiara, pasir, dan ombak. Kita mendengar beliau (laut) adalah bagian dari alam yang sangat penyabar dan akomodatif. Selalu menerima dengan ikhlas dan lapang dada semua benda yang menemuinya, dengan ikhlas ataukah paksaan. Bisahkah kita buang dengan ikhlas atau terpaksa moralitas kita, yang kita pendam untuk membebaskan kita dari malapetaka amoralitas yang kita gunakan menghakimi moral anak bangsa, sementara pameran amoralitas yang diskemakan secara sistemik luput dari cacian kita semua. Saya berpikir moralitas kita, dinegeri yang katanya kaya falsafah dan keragaman moralitas bisa dibuang kelaut, saat kita tidak bisa menempatkan moralias kita secara proposional!

Resapi sekeliling (lingkungan) kita. Kita perhatikan secara cermat dan seksama. Bagaimana dengan tingkat KKN? Adakah gedung dan gudang sex yang dilegalkan, bebaskah retail modrn dengan pemasaran helm dan sex? kemudian kita bertanya, moraliskah kita?

Kilas Balik

Vanesa angel saat kita sepakat menjual badannya seharga 80 juta, merupakan kegiatan yang amoral, maka amoralitasnya hanya butiran debu dari pelembagaan budaya KKN para pejabat dan penguasa negara. Walau pun kita kaget, dan seolah tidak percaya gambaran asli wajah selebritis, yang popularitasnya lebih tinggi dari kaum intelektual, teknokrat, agama, dan tokoh bangsa lainnya. Dalam sepak terjangnya di negeri pancasilais ini. Marilah kita mulai membaca realitas negeri ini secara utuh, perhatikanlah sudut dan jantung kota, bebaskah dari gedung dan gudang sex yang dilegalisasi oleh negara dan daerah, bebaskah dari industry minuman-minuman keras, atau kita tengok disetiap retail modrn adakah standar untuk pembeli helm-helm sex yang beraneka ragam. Bukankah itu didukung dengan regulasi, dan kebijakan Pemerintah. Bukankah itu tidak menjual bangsa dan semua nilai dan moralitas kita. Apakah karena faktor ekonomi, pajak, PAD, APBN, APBD dihasilkan dengan memperhatikan keadaban dan moralitas. Bukankah status menjual tubuh miliknya (VA) dan kawan-kawannya, bahkan kita dan cara negara melegalisasi amoralitas dan falsafah bangsa tidak sama statusnya, ekonomistik.

Dinegeri yang berketuhanan ini, sering kali regulasi dan kebijakan ’bebas tuhan’ dan tidak manusiawi mencari dalil kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbusana tertutup dicela radikalis, tidak berbusana dituduh amoralitas. Kita gugup mencari dan menemukan tempat yang layak untuk nilai-nilai moralitas menyusupi regulasi, kebijakan, dan pelaksanaan pemangku kepentingan. Hingga gambar besar negeri dibangun dengan membebaskan nilai-nilai, saat muncul issue murahan semacam VA tiba-tiba moralitas kita ngamuk.

Jika negeri ini menaruh hormat pada falsafah dan moral, maka istana, gedung dewan, kantor menteri, kantor gubernur, walikota, bupati, bahkan kades memiliki kewajiban menerjemahkan pesan nilai dan moralitas dalam regulasi dan kebijaksanaanya. Tidak ada lagi perdagangan kepala rakyat dengan online maupun ofline, tidak ada perjinahan dengan para kapitalis, tidak ada lagi korupsi dan macam, tidak ada lagi legalisasi sex dan minuman keras dan semua aktivitas yang amoral. Jadilah bangsa ini melembagakan moral dalam struktur negara dan pemerintahan. Penulis berkayinan, cara tersebut akan mengarahkan rakyat untuk tidak matrealistik dan menganggap semua cara bisa halal dan baik dilakukan atas nama kepentingan ekonomi. Bukankah negara maju bukan hanya soal gedung dan gudang pencakar langit, perut elit dan rakyat dan terisi, tapi sejauh mana nilai dan moral bisa hidup dalam kesadaran kolektif kita sebagai warga negara.

Malam mulai membisu, gemuruh kendaraan mulai riuh, anak mudapun larut, ada baiknya kita semua kembali merefleksi diri. Sudah bermoralkah kita?

La IRA KEDAI, Mataram 14 Januari 2019

*) Penulis adalah Mahasiswa Indonesia

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT