Oleh : Wahyudi Akmaliah*
Beberapa teman memberikan tautan informasi dari media online terkait dengan Ria Ricis yang pamitan dari YouTube. Mendapatkan informasi tersebut, saya lalu mencari video tersebut dan menontonnya dengan seksama. Awalnya saya agak curiga dengan video tersebut karena ada kata-kata yang diulang silahkan subscribe channel ini. Dalam membangun narasi, Ricis juga terlihat sedih, menutup kecurigaan saya bahwasanya itu adalah sekedar prank.
Kebetulan saya pernah menulis mengenai Ria Ricis. Bahkan, saya kirimkan tulisan itu untuk sebuah Jurnal Nasional. Bagi saya, penting menuliskan kembali untuk publik umum dengan versi lebih umum dan populer. Saat anak-anak tidur, draft opini mengenai beliau sudah tuntas ditulis. Iseng-iseng saya mengecek kembali akun Ria Ricis tersebut. Ternyata video pamit itu benar-benar prank. Ini karena, setelah itu ada video vlog selanjutnya.
Marah dan kecewa bercampur dalam diri saya. Untuk mendapatkan google adsense, Ria Ricis bersama timnya bisa begitu teganya melakukan sandiwara. Memang buah dari sandiwara itu menghasilkan 4,8 juta orang yang menonton. Bisa dikalikan berapa keuntungan yang didapatkan. Tapi, bagaimana dampak dari video pamit tersebut yang sudah diberitakan oleh sejumlah media online? Sementara, ia sebenarnya tidak jadi pamit?.
Saya tahu, Ria Ricis tidak seorang sendiri. Para Youtubers ini bersaing satu sama lain. Atas nama mendapatkan keuntungan kapital, para youtubers berbondong-bondong mengejar google adsense dengan membuat video yang menarik perhatian. Ini dilakukan agar orang kemudian menonton sebagai implikasi dari perhitungan yang nanti akan didapatkan. Namun, alih-alih membuat konten yang bermutu dan menambah pengetahuan, yang terjadi mereka membuat video apapun, meskipun di luar etika publik masyarakat, agar bisa ditonton.
Sementara, pihak Google sendiri tampaknya tidak berdaya melihat situasi ini, karena mereka berpegang kepada prinsip pasar, siapa yang banyak ditonton, mereka yang mendapatkan pundi-pundi Google adsense. Harus diakui, kita memang memiliki hak dan otoritas atas video apa yang kita tonton. Tapi, jika ternyata banyak dari video isinya sampah, ini sama saja dengan kita menonton acara televisi sebelumnya, membuat kita tidak memiliki pilihan lainnya. Karena, viral mempertemukan kita dengan video-video itu.
Melihat itu, saya membayangkan, betapa enaknya menjadi Youtuber yang bisa seenaknya membuat konten tanpa melihat jauh efek ikutan yang dibuat. Sementara, bagi kita? Sudah kuota pulsa habis, tidak mendapatkan faedah, tiba-tiba merasa dibohongi juga. Sakit banget rasanya. Bayangkan kalau pamit ini terjadi kepada saya sebagai peneliti. Pintu rejeki langsung tertutup semua. Tidak pelan-pelan tapi seketika. Ini karena, peneliti punya prinsip, “peneliti boleh salah, tapi enggak boleh bohong”. Ya, begini akhirnya. Jadi rakyat missqueen terus.
*) Penulis adalah peneliti LIPI