MataKita.co – Untuk Cyber Monday, internet menjadi ladang jebakan dalam berbelanja online. Banyak orang yang menjadi sangat mudah tergiur dalam berbelanja di laman online, terlebih sebentar lagi Hari Belanja Online Nasional di mana setiap akun belanja online akan menyediakan diskon bombastis bagi konsumennya.
Munculnya e-commerce telah membuat gangguan pembelian dan belanja lebih parah dalam beberapa hal yang signifikan, khususnya internet yang menempatkan beragam produk yang menarik mata.
“Informasi produk yang dipersonalisasi, iklan pop-up, antarmuka yang mendalam dan sistem pembayaran kredit yang mudah, memiliki modul belanja yang dibangun di platform media sosial dapat mendorong keinginan untuk belanja online dan membuatnya lebih sulit untuk menghindari belanja online,” kata Profesor psikologi di Hannover Medical School di Jerman Astrid Muller
Dilansir dari laman CNBC-Make It, menurut survei National Retail Foundation 2019. Bahkan tahun lalu, orang Amerika menghabiskan $ 6,9 miliar untuk Cyber Monday saja, yang merupakan peningkatan 19,3% dari 2017 dan diperkirakan 68,7 juta orang akan berbelanja di Cyber Monday pada tahun ini.
Dari banyaknya jumlah konsumen tersebut, pembelian boros dan belanja online ekstrem dapat menjadi masalah bagi sebagian orang. Gangguan pembelian kompulsif atau biasa akrab disebut “gangguan belanja” ialah kondisi kesehatan mental yang mempengaruhi sekitar 5% dari populasi, menurut sebuah studi 2016.
Profesor psikologi di Hannover Medical School di Jerman Astrid Muller menjelaskan hal itu (seorang yang mengidap Shopaholic) dapat ditandai dengan keasyikan ekstrem yang dirasakan penderita serta rasa keinginan untuk membeli dan berbelanja, juga keinginan yang tak tertahankan dan pencarian identitas untuk memiliki barang-barang konsumen.
Tingkat Keparahan Kecanduan
Orang dengan kecanduan belanja dapat berbelanja sampai tingkat yang gigih, berlebihan tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi. Mereka akan membeli sesuatu tanpa melihat batas kemampuan yang mereka miliki.
“Mereka mungkin membeli lebih dari yang mereka mampu, atau berbelanja untuk barang-barang yang tidak ada gunanya,” kata Muller kepada CNBC- Make It.
Kebanyakan orang akrab dengan “belanja sebagai terapi” saat seorang ingin menghilangkan rasa sedih atau pusing saat mereka merasakannya. Mereka biasanya berbelanja untuk mendapatkan kesenangan, menghilangkan perasaan negatif atau mengatasi stres.
“Demikian pula, berbelanja berlebihan adalah outlet yang digunakan orang untuk mengatur emosi mereka,” tutur Muller.
Namun, berbeda dengan seorang yang kecanduan belanja, mereka berbelanja tidak hanya untuk mendapatkan keperluan yang mereka butuhkan atau inginkan. Mereka melakukannya untuk meningkatkan suasana hati mereka, mendapatkan pengakuan sosial dan meningkatkan citra diri mereka.
“Jika pola dan kebiasaan belanja khas Anda memenuhi beberapa kriteria seorang Shopaholic yang kuat, berbelanja untuk mengatur emosi serta tidak menggunakan barang yang dibeli — maka itu perlu dikhawatirkan,” ucap Muller.
Banyak ahli, termasuk Muller, percaya bahwa gangguan pembelian dan belanja harus diakui sebagai gangguan kesehatan mental formal karena prevalensi, dan cara itu mengganggu fungsi sehari-hari. Di luar hutang dan pengeluaran berlebihan, ada sejumlah efek jangka panjang yang mengganggu terkait dengan gangguan pembelian dan belanja.
“Dalam jangka panjang, gangguan berulang dalam pengendalian diri menyebabkan tekanan ekstrem, perselisihan keluarga, kekacauan karena penimbunan barang secara patologis dan menurunkan fungsi area penting,” ujar Muller.
Penelitian telah menunjukkan bahwa psikoterapi kelompok adalah pengobatan yang paling efektif untuk berbelanja kompulsif. Jika Anda khawatir tentang kebiasaan belanja Anda sendiri, pertimbangkan untuk mencari jaringan dukungan kelompok lokal atau berbicara dengan dokter kesehatan mental.
mrd