MataKita.co, Makassar – Menyikapi problematika hukum dan sosial keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selaku badan hukum publik di Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) kota Makassar melakukan Dialog Strategis (Dialogis) di Warkop Juang, jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, Ahad, (22/12/2019).
Dialogis tersebut bertemakan “Menilik Problematika Hukum dan Sosial Keberadaan BPJS Selaku Badan Hukum Publik” dengan menghadirkan pemateri diantaranya dari Dinas Sosial Kota Makassar diwakili oleh Asvira Anwar, BPJS Kota Makassar diwakili oleh Ridjal Mursalim, Akademisi oleh Asrullah, dan Ketua Umum KAMMI Daerah Makassar oleh Rustam.
Kegiatan Dialog Strategis (DIALOGIS) tersebut dipandu langsung oleh M. Aris Munandar selaku Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Daerah Makassar Periode 2019-2021.
Kegiatan tersebut digelar dikarenakan keresahan masyarakat dari kenaikan iuran BPJS yang mencapai 2 (dua) kali lipat, misalnya pada klaster 3 (tiga) yang mengalami kenaikan dari Rp. 25.500,00 (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang menjadi Rp. 42.000,00. Kenaikan iuran tersebut didadasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan keresahan pada masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, problematika kewenangan BPJS selaku badan hukum publik yang hingga hari ini masih menjadi pertanyaan besar, sebab seakan terjadi pengebirian terhadap BPJS selaku badan hukum publik dalam hal kewenangannya membuat peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Serta kolaborasi pendataan Penerima Bantuan Iuran (PBI) oleh Dinas Sosial yang masih belum maksimal ketercapaiannya di masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ridjal Mursalim, Pada kesempatan ini, pihak BPJS menjelaskan bahwasanya BPJS pada dasarnya bukanlah lembaga pelayanan kesehatan melainkan lembaga keuangan
“BPJS pada dasarnya memang berkolaborasi dengan pihak Rumah Sakit dalam hal pembayarannya, namun BPJS tidak ikut campur secara penuh dalam mekanisme pelayanan kesehatan hanya saja memastikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit sudah sesuai ketentuan atau belum,” tuturnya.
Terkait adanya isu pembayaran auto debet (penarikan saldo secara otomatis dari rekening), Ridjal mengungkapkan bahwa memang benar hal itu terjadi, namun ketentuan tersebut hanya berlaku bagi peserta BPJS mandiri saja.
Hal ini dilakukan agar terjadi efisiensi dalam pembayaran sehingga penunggakan dapat dicegah. Oleh karenanya, sikap kooperatif masyarakat sangat diharapkan,” ungkapnya.
Berkaitan dengan hal itu, Asvira Anwar selaku perwakilan dari Dinas Sosial Kota Makassar menuturkan bahwa dalam hal pendataan PBI memang memerlukan kolaborasi antara Dukcapil dengan Dinas Sosial.
“Dinas Sosial memiliki kewenangan dalam melakukan pendataan terhadap PBI, kesulitan yang dialami untuk mendeteksi masyarakat yang layak mendapatkan PBI atau tidak adalah terletak pada rana kelengkapan berkas administrasi. Ada banyak penduduk yang berpindah-pindah tempat seenaknya, padahal sistem sekarang mensyaratkan setiap penduduk yang melakukan perpindahan temapat harus mengurus administrasinya agar mempermudah mendeteksi yang mana masyarakat fakir miskin dan orang tidak mampu”. Ungkapnya.
Masih soal PBI, Asvira mengungkapkan bahwasanya peranan masyarakat juga sangat dibutuhkan, sebab ada banyak kasus di mana masyarakat acap kali mengaku miskin untuk memperoleh fasilitas PBI ini. Makanya, biasa ditemukan terdapat suatu wilayah memiliki masyarakat yang layak dapat PBI justru tidak mendapatkannya malah yang sebaliknya terjadi.
Berseberangan dari dua argumentasi sebelumnya, Asrullah selaku akademisi membedah secara mendalam segala bentuk problem hukum yang dialami oleh tubuh BPJS. Ia memulai dengan argumentasinya dengan mengungkapkan asas hukum solus publica suprema lex (kepentingan rakyat berada di atas segala-galanya termasuk di atas hukum).
“Saya mengawali argumentasi saya dengan memberikan sebuah pandangan hukum yakni solus publica suprema lex, sebab kepentingan rakyat berada di atas hukum, sehingga apabila terdapat undang-undang sekalipun yang melanggar kepentingan rakyat maka dapat dilakukan upaya hukum untuk menguji undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Asrullah mengungkapkan bahwa landasan konstitusional dari BPJS ini adalah berada pada Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi.
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” ucapnya.
Pada poin argumentasinya, Asrullah menyinggung soal pengebirian kewenangan BPJS dalam membuat sebuah peraturan. Bahwa sebuah badan hukum publik memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan selama tidak bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya dan terdapat perintah dari peraturan yang lebih tinggi sebagaimana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kesimpulan dari Asrullah adalah bahwa BPJS dibentuk karena adanya cita-cita bangsa Indonesia untuk menasionalisasikan pelayanan kesehatan secara gratis, sebagai contoh adalah jika orang Papua sakit di Sulawesi Selatan maka harus memperoleh pelayanan kesehatan gratis tanpa terkecuali, begitu pun sebaliknya.
Sedangkan Rustam selaku perwakilan dari KAMMI Daerah Makassar, menuturkan bahwa KAMMI memiliki standing position tetap mengawal segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan BPJS. Sebagaimana diungkapkannya,
“Kami dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia secara tegas akan mengawal berjalannya roda pemerintahan yang ada, hal ini dilakukan agar apa pun yang menjadi kebijakan pemerintah harus sesuai dengan aspirasi rakyat, jika terdapat kebijakan yang bersebarangan dengan aspirasi rakyat maka harus senantiasa dikawal agar tidak terjadi problem sosial dan penindasan terhadap masyarakat,” ungkapnya.
M. Aris Munandar selaku moderator sekaligus Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Daerah Makasar yang menisiasi dialog ini, memberikan argumentasi bahwa, “KAMMI Daerah Makassar tetap berada pada garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Salah satunya adalah memperjuangkan hak rakyat dalam memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis sebagaimana asas dalam hukum kesehatan the right to health care (hak atas pelayanan kesehatan) yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 34 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, bahwa negara memiliki kewajiban untuk menciptakan sistem jaminan sosial dan menyediakan fasilitas kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Pada bagian akhir acara disampaikan bahwa dialog terkait BPJS ini akan terus dilakukan untuk mengawal terciptanya sistem jaminan sosial yang progresif. Sehingga dialog-dialog yang akan dilakukan oleh KAMMI Daerah Makassar dapat memberikan kontribusi bagi seluruh rakyat Indonesia, serta dapat menjadi ghiroh bagi pemerintah dalam menggunakan kewenangannya agar senantiasa berlaku adil.
mam