Oleh : Muhammad Syawal, S.E*
“Kekayaan saya membuktikan ketimpangan ekonomi dunia.” Bill Gates
Pada periode 5 tahun pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah sangat gencar melakukan pembangunan di sektor infrastruktur. Salah satu motifnya adalah untuk melancarkan arus logistik demi menekan biaya distribusi barang. Berdasarkan data rencana pembangunan infrastruktur 2014, terdapat 233 proyek pembangunan yang ditargetkan selesai pada 2019 namun yang terealisasi baru sekitar 103 proyek atau sebesar 46% (tirto.id). Pembangunan infrastruktur ini diklaim mampu genjot pertumbuhan ekonomi Indonesia. Benarkah demikian? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan pada Maret 2019 memang mengalami penurunan menjadi 9,41% atau setara 25,14 juta penduduk. Angka itu tercatat lebih rendah 0,53% dari capaian September 2018 yang berkisar di angka 9,66%. Kendati demikian, seorang Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penurunan angka kemiskinan di Indonesia relatif lamban dan disparitas kemiskinan kota dan desa masih tinggi dimana tingkat kemiskinan di desa nyaris dua kali lipat dari kota. Melihat seluruh catatan ini, tak salah kemudian jika kita menarik kesimpulan bahwa pembangunan infrastruktur yang masif belum ampuh dan efektif dalam menekan angka kemiskinan di Indonesia.
Miskin seringkali dinarasikan sebagai akibat dari kemalasan bekerja, bahkan ada pula yang secara serampangan menyeret Tuhan sebagai dalang dibalik kesulitan ekonomi yang menjerat kelompok miskin. Tentunya setiap orang memiliki hak untuk menilai, namun kita bisa memilih untuk menjadi lebih rasional. Mengutip data Credit Suisse, Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia menyatakan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia memonopoli 45,4% kekayaan nasional. Sementara itu, 10% orang terkaya di Indonesia memiliki 74,8 persen kekayaan nasional. Fakta tersebut mengamini bahwa ada keculasan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia sehingga hanya segelintir orang yang dapat mengecap surga di tanah kaya raya ini. Kalau sudah begini, kaum mustadh’afin tidak layak dianggap semata-mata “orang miskin”, melainkan “orang yang dimiskinkan” oleh sistem yang timpang. Dalam hal ini, tentunya yang paling tepat disoroti adalah si perancang sistemnya. Penulis mendiagnosa mereka telah terjangkit sebuah virus mematikan bernama MESA (Materialistik, Egoistik, Sekularistik dan Ateistik).
Mewabahnya Virus MESA
Virus MESA pertama kali diperkenalkan oleh Iwan Triyuwono, dosen Universitas Brawijaya Malang. MESA merupakan singkatan dari Materialistik, Egoistik, Sekularistik dan Ateistik. Materialisme dalam konteks ekonomi bermakna segala aktivitas ekonomi yang dilakukan semata-mata berorientasi pada materi (baca:uang). Sementara egoistik merupakan sikap mementingkan diri sendiri dan tak acuh terhadap kepentingan orang lain. Pemilik modal akan menjelma menjadi makhluk tamak yang cenderung menumpuk kekayaannya dan pada akhirnya akan terjadi ketimpangan ekonomi di masyarakat. Selanjutnya, sekularistik dalam ekonomi dimaknai sebagai suatu kecenderungan memisahkan ilmu ekonomi dengan aspek ilahiah atau immaterial. Aspek ilahiah disini mencakup nilai religiusitas dan sosial. Ekonomi tidak boleh diceraikan dengan tujuan mulianya yaitu sebagai jembatan menuju kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Ekonomi juga tidak boleh dijadikan alat untuk menindas orang lain dan terjebak dalam kenikmatan duniawi lalu abai terhadap kehidupan yang abadi. Hal ini berkaitan pula dengan ateistik dimana para ekonom abai terhadap keberadaan Tuhan sehingga berperilaku semena-mena sesuai keinginan diri sendiri.
Virus MESA inilah yang telah banyak menjangkiti para pelaku ekonomi sehingga orientasinya tidak lebih dari sekedar memperkaya diri dan sanak famili. Tidak heran jika segala macam cara dihalalkan mulai dari merekayasa laporan keuangan hingga korupsi besar-besaran. Virus MESA tersebut juga tersirat dalam entity theory, sebuah teori ekonomi modern yang menyatakan bahwa kesukesan usaha dapat dilihat dari seberapa besar pendapatan. Oleh karena itu seluruh aktivitas ekonomi diarahkan untuk memperoleh penghasilan dan keuntungan sebesar-besarnya untuk kemudian masuk kembali ke kantong shareholders (pemegang saham). Tak jarang, arah perekonomian yang sangat materialistik ini juga menumbalkan alam. Eksploitasi terhadap sumber daya dalam terjadi dimana-mana. Mulai dari pembakaran hutan, reklamasi, dan penggusuran untuk alih fungsi lahan. Hal itu mengikis nilai-nilai kemanusiaan, mencederai fitrahnya sebagai makhluk yang memiliki amanah baik secara individu maupun sosial. Semboyan “hallala wa hallulu ululu maneng” yang berarti halal maupun haram sudah tak jadi masalah benar terjadi di semesta ini, masyarakat benar-benar permisif dan abai terhadap nilai-nilai ilahiah. Lantas apa makna berislam ditengah-tengah ketimpangan sosial?
Ekonomi Islam; Rahmat bagi Seluruh Alam
Ekonomi islam merupakan alat atau medium perjuangan dan pembebasan dengan dasar ke-tauhid-an. Maka dari itu, praktik ekonomi islam selalu memiliki nilai ibadah sebagai representasi dari dimensi kehambaan manusia. Orientasi dari ekonomi islam tidak lain agar manusia mencapai maslahah. Jadi orientasi para pelaku ekonomi mestinya bukan hanya untuk materi/laba semata, Akan tetapi harus menjadi instrumen untuk menyatu dengan Tuhan sebagaimana dalam konsep Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun. Untuk melakukan gerak penyatuan dengan Tuhan maka mesti melakukan penyingkapan terhadap segala tabir penghalang salah satunya adalah virus MESA ini.
Iwan Triyuwono mengajukan konsep sharia enterprise theory sebagai antitesa dari entity theory. Sharia Enterprise Theory dibentuk atas aksioma bahwa manusia merupakan khalifah di muka bumi (QS.2:30 dan QS.35:39). Amanah kekhalifaan ini mengindikasikan bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk mengelola seluruh nikmat Tuhan dengan cara dan tujuan yang benar sesuai aturan Sang Pemilik Nikmat (QS.2:254 dan 267). Kemudian, hasil dari pengelolaan tersebut mesti didistribusikan bukan hanya pada shareholder (pemegang saham) melainkan pada stakeholders (kemajemukan masyarakat) dan lingkungan. Sebagaimana pula yang termaktub dalam QS.51:19 bahwa sesungguhnya pada harta kita terhadap hak orang lain yang membutuhkan. Pada akhirnya, hanya dengan berpegang teguh pada nilai-nilai islam, ekonomi akan tumbuh menjadi rahmat bagi seluruh alam.
*) Penulis adalah Mahasiswa UIN Alauddin Makassar








































