Beranda Mimbar Ide Korupsi Kepala Daerah: Fenomena yang Tak Berujung

Korupsi Kepala Daerah: Fenomena yang Tak Berujung

0
Insyirah Fatihah Hidayat
Insyirah Fatihah Hidayat

Oleh: Insyirah Fatihah Hidayat*

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah menjadi fenomena yang terus berlanjut dan mengkhawatirkan. Fenomena tersebut setiap tahunnya tumbuh dan berkembang secara sistematis di setiap tingkatan lembaga-lembaga pemerintahan maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Ditambah dengan kondisi pandemi saat ini yang memberikan dampak signifikan ke setiap sektor-sektor kehidupan bangsa dan negara Indonesia menjadikan Tindak Pidana Korupsi menjadi suatu fenomena yang lebih dari sekadar mengkhawatirkan, tetapi sangat tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan.

Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat dan sering dibicarakan publik, baik dalam media massa lokal maupun nasional. Salah satu kasus korupsi yang sering muncul ada terkait kasus korupsi oleh kepala daerah.

Menurut penulis, Korupsi merupakan salah satu tindakan mencuri yang melibatkan kaum-kaum terpelajar. Jika biasanya para pencuri di pasar ataupun di tempat umum merupakan orang-orang yang kekurangan finansial, tidak terpelajar, dan/atau dari golongan remaja maupun dewasa, sedangkan dalam korupsi sendiri biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi dengan gelar yang panjang, memiliki finansial yang cukup bahkan berlebih dan/atau merupakan orang yang sangat dewasa secara pikiran dan perbuatan. Korupsi merupakan salah satu produk dari hasil keserakahan manusia yang mengakibatkan rusaknya masa depan bangsa karena hak yang seharusnya didapat oleh masyarakat malah direnggut dan digunakan untuk memuaskan keserakahan pribadi.

Dilansir dari Suara. com (Agatha Vidya Nariswari : 2022), setidaknya terdapat 23 kepala daerah yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Sepanjang tahun 2014 hingga maret 2021, tercatat sebanyak 130 walikota/bupati & wakil dan 22 gubernur yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi. Hal ini membuktikan bahwa otonomi daerah telah disalahgunakan oleh para petinggi-petinggi pemerintah daerah.

Hal ini sebagaimana pendapat Desi Sommaliagustina, (2019: 47) Menyatakan bahwa Terdapat korelasi positif antara otonomi daerah dan praktik korupsi. Kewenangan penuh yang diberikan kepada kepala daerah membuka celah terjadinya praktik penyelahgunaan wewenang yang akhirnya berujung pada perilaku koruptif.

Pada awalnya, otonomi daerah diberikan oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengurus, mengelola, dan mengatur daerah mereka secara mandiri. Peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah juga telah mengalami 10 kali perubahan dan di setiap perubahan telah dilengkapi dengan aspek dan penekanan-penekanan demi mewujudkan good governance. Namun, adanya kewenangan-kewenangan yang diberikan malah menjadikan para oknum mengambil celah untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Disajikan beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam upaya memberantas kasus korupsi oleh kepala daerah, yaitu:

Pertama: Melakukan pembersihan kepada pemerintah daerah secara detail dan cermat agar oknum-oknum korupsi dapat ditumpas,

Kedua: Adanya penyuluhan pendidikan anti korupsi pada lembaga pemerintah dan masyarakat secara berkelanjutan,

Ketiga: Dilakukan penguatan terhadap lembaga KPK,

Keempat: Dilakukan perekrutan ketat para aparatur penegak hukum pada peradilan korupsi agar mengurangi hasil putusan-putusan yang tidak setimpal,

Kelima: Dilakukan sistem perekrutan anggota KPK secara ketat,

Keenam: Adanya transparansi dan pengawasan secara cermat terhadap kegiatan-kegiatan pemerintah daerah, dan

Ketujuh: Adanya regulasi ulang peraturan UU tentang korupsi sehingga memberi efek jera pada pelaku. Upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara terus menerus dan secara ketat agar Indonesia bebas korupsi dapat terwujud.

*) Penulis adalah Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT