Oleh : Andi Hendra Dimansa
(Warga Negara Indonesia & Bangsa Bugis)
Lekas setelah Hindia Belanda kehilangan kendali atas tanah jajahannya, negara dengan seruan paling mantap dan meyakinkan. Menghendaki bebas dari segala bentuk penjajahan dan rakyat akan disejahterakan. Lantas, setelah negara bekas jajahan Hindia Belanda itu berusia 80 tahun, semenjak diproklamirkan, merdeka dan sejahterakah rakyatnya?
Kemerdekaan itu tak seindah cita-cita, nyatanya seperti cermin retak. Gambar tak jelas dan buram sudah pasti.Apalagi aktor-aktornya makin hari perannya kian ganda. Pagi pejabat, sore pengusaha dan malam pencuri. Sudah demokratis bukan, memberi ruang atas berbagai bentuk aspirasi.
Lalu, apa yang harus dirayakan? Hanya sesuatu yang semu, apalagi suguhan pidato-pidato panjang, entah pesannya kepada siapa. Apalagi berkemauan nasional bersafari hingga ke Antartika. Seru bukan? Belum lagi parade-parade yang tidak jelas, mempertontonkan superioritas kepada rakyat. Masikah engkau mengingat bahwa bedil itu pernah merobohkan generasi muda di 1998.
Merdeka itu tidak membuat lebih baik, justru di era kemerdekaan-lah hal-hal aneh menimpah rakyat. Dari urusan ijazah sampai urusan tarif pajak. Tidak mudah merdeka itu, namun apakah rakyat pernah menagih atau menggugat janji kemerdekaan itu? Bahkan kepada pihak yang mengaku paling cilik di antara partai wong, tengok-lah jerit dan derita rakyat. Jangan jadi pembual di tengah negara yang kehilangan akal.
Bisa-kah imajinasi liar, menyatakan “kapan akhir merayakan kemerdekaan alias tutup buku bagi republik?” Semoga pernyataan itu berkonotasi positif, agar Menteri Kebudayaan punya dampak dari proyeknya. Kemerdekaan yang semarak dan dihidup-hidupkan perayaannya, terkesan telah kehilangan peminat dan sepi penonton.
Indah di cita-cita, membual di pidato pejabat dan norak di kenyataan. Itulah senyata-nyatanya kondisi republik, lalu bagaimana hendak merayakan kemerdekaan? Toh juga, janji kemerdekaan telah kehilangan gaungnya. Yang tersisa hanya kisah-kisah yang seolah heroik, namun nyatanya penuh drama dan layak jadi aktor. Mereka bukan pejabat, namun aktor yang di sk-kan dan distempel cap republik. Apakah ini titik balik dari republik? Seolah enerjik, namun rapuh, mungkin ada baiknya sedikit ragu terhadap masa depan republik. Salam hormat kepada orang-orang republik.







































