Oleh: Mubarak*
Bencana alam kerap dipahami sebagai peristiwa yang berada di luar kendali manusia. Narasi yang berkembang di ruang publik sering menempatkan bencana sebagai konsekuensi geografis dan iklim yang tidak terhindarkan, sehingga respon yang muncul pun cenderung berfokus pada empati, bantuan darurat, dan solidaritas kemanusiaan. Cara pandang semacam ini, meskipun penting dari sisi kemanusiaan, sering kali mengabaikan satu dimensi krusial: tanggung jawab hukum negara dalam mencegah dan meminimalkan dampak bencana.
Dalam negara hukum, bencana tidak dapat dilepaskan dari kerangka kebijakan dan regulasi. Negara bukan hanya berkewajiban hadir setelah bencana terjadi, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mengantisipasi, mencegah, dan mengurangi risiko berdasarkan data dan pengetahuan yang tersedia. Ketika bencana terjadi secara berulang di wilayah yang sama, pertanyaan yang harus diajukan bukan hanya seberapa besar kekuatan alam, melainkan sejauh mana hukum telah dijalankan untuk melindungi warga negara.
Perkembangan sistem pencatatan kebencanaan nasional menunjukkan bahwa negara memiliki basis data yang cukup rinci mengenai jenis, lokasi, dan frekuensi bencana. Data tersebut seharusnya menjadi dasar utama dalam penyusunan kebijakan hukum, penataan ruang, serta arah pembangunan. Namun, ketika dampak bencana terus berulang dengan korban jiwa dan kerugian yang besar, muncul indikasi bahwa data tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam tindakan hukum yang efektif.
Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa bencana bukan semata persoalan alam, melainkan juga persoalan hukum dan tata kelola negara. Dengan menggunakan data kebencanaan nasional sebagai pijakan, Opini ini menempatkan bencana sebagai indikator kegagalan hukum dan kelalaian struktural negara dalam membaca serta menindaklanjuti data yang telah tersedia. Untuk itu, pembahasan diawali dengan melihat bencana sebagai bentuk kegagalan hukum dalam menjalankan fungsi perlindungan warga negara.
Bencana sebagai Kegagalan Hukum
Data kebencanaan nasional menunjukkan bahwa bencana di Indonesia bukan peristiwa yang bersifat sporadis atau kebetulan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa hingga 24 November 2025 telah terjadi 2.919 kejadian bencana alam di Indonesia. Angka ini dipublikasikan secara resmi oleh BNPB dan diberitakan oleh ANTARA News, serta dianalisis ulang oleh Databoks Katadata dan GoodStats. Dari keseluruhan kejadian tersebut, hampir 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi, terutama banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor.
Berdasarkan data tersebut angka mendekati 3.000 kejadian bencana per tahun menunjukkan bahwa bencana memiliki pola yang berulang dan dapat diprediksi. Dalam perspektif hukum, keterulangan ini memiliki makna penting: bencana bukan lagi peristiwa tak terduga, melainkan risiko yang telah diketahui oleh negara. Ketika risiko telah diketahui dan dicatat secara sistematis oleh lembaga negara, maka tanggung jawab hukum negara secara otomatis melekat.
Dalam negara hukum, ketersediaan data menimbulkan konsekuensi yuridis. Negara tidak dapat berlindung di balik narasi takdir atau faktor alamiah ketika fakta menunjukkan bahwa risiko telah dipetakan dan didokumentasikan. Dalam konteks ini, bencana harus dibaca sebagai indikator kegagalan hukum, khususnya kegagalan negara menjalankan kewajiban mitigasi dan pencegahan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara tegas menempatkan mitigasi dan pengurangan risiko sebagai bagian utama penanggulangan bencana, bukan sekadar respons darurat. Pasal-pasal dalam undang-undang ini menekankan bahwa penanggulangan bencana dimulai jauh sebelum bencana terjadi. Ketika data menunjukkan ribuan kejadian bencana tetap berulang, maka terdapat indikasi kuat bahwa mandat undang-undang ini tidak dijalankan secara optimal.
Perspektif UUD 1945, bencana berkaitan langsung dengan hak asasi warga negara. Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sementara Pasal 34 ayat (3) menegaskan kewajiban negara menyediakan pelayanan dan perlindungan sosial. Ketika bencana berulang menimbulkan korban jiwa dan kerugian besar, kegagalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pelanggaran kewajiban konstitusional negara.
Kegagalan hukum ini bersifat struktural karena melibatkan banyak aspek: lemahnya penegakan hukum tata ruang, rendahnya kepatuhan terhadap peta rawan bencana, serta orientasi pembangunan yang mengabaikan risiko. Bencana bukan hanya persoalan alam, tetapi juga hasil dari keputusan hukum dan kebijakan yang mengabaikan data.
Dengan demikian, bencana di Indonesia harus dipahami sebagai cermin kegagalan hukum. Bukan karena hukum tidak ada, melainkan karena hukum tidak dijalankan berdasarkan data yang telah tersedia. Di titik ini, narasi bencana sebagai takdir justru menutupi persoalan yang lebih mendasar: kelalaian struktural negara dalam menjalankan kewajiban hukumnya.
Membaca Data melalui Tiga Pemikiran Hukum
Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Weimar dan dikenal luas sebagai pemikir pasca-positivisme hukum, menempatkan hukum pada tiga tujuan utama: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam Einführung in die Rechtswissenschaft serta esainya yang berpengaruh Gesetzliches Unrecht und Übergesetzliches Recht (1946), Radbruch menegaskan bahwa kepastian hukum tidak dapat dijadikan pembenaran ketika hukum gagal menghadirkan keadilan dan kemanfaatan bagi manusia, terutama dalam situasi yang menyangkut keselamatan dan penderitaan massal.
Jika dibaca melalui kerangka Radbruch, data BNPB tentang hampir 3.000 kejadian bencana per tahun menunjukkan bahwa hukum penanggulangan bencana di Indonesia gagal memenuhi unsur kemanfaatan. Hukum yang seharusnya berfungsi mencegah penderitaan justru membiarkan bencana berulang dalam pola yang dapat diprediksi. Dalam kondisi demikian, hukum tetap berlaku secara formal, tetapi kehilangan legitimasi moralnya karena tidak menghasilkan perlindungan nyata bagi manusia.
Dalam perspektif Radbruch menegaskan bahwa hukum tidak cukup hanya sah secara normatif dan tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hukum harus diuji dari kemampuannya melindungi kehidupan manusia secara konkret. Ketika korban terus berjatuhan di wilayah rawan yang sama, meskipun data dan peta risiko telah tersedia, maka hukum tersebut tidak dapat lagi diklaim sebagai hukum yang adil dan berorientasi pada kemanusiaan.
Pemikiran ini dipertegas oleh Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara, serta Ketua Mahkamah Konstitusi pertama (2003–2008). Dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jimly menegaskan bahwa negara hukum modern tidak bersifat pasif dan menunggu peristiwa terjadi, melainkan harus aktif dan preventif dalam melindungi hak-hak dasar warga negara.
Menurut Jimly, hak atas keselamatan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan mandat konstitusi yang bersifat langsung dan mengikat. Oleh karena itu, ketika negara telah memiliki data kebencanaan yang lengkap namun gagal menerjemahkannya ke dalam kebijakan mitigasi yang efektif, kegagalan tersebut bukan sekadar persoalan teknokratis, melainkan kegagalan konstitusional dalam menjalankan kewajiban negara hukum.
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan pelopor hukum progresif di Indonesia, memberikan kritik mendasar terhadap hukum yang terjebak pada prosedur dan formalitas. Dalam Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Satjipto menegaskan bahwa hukum harus ditempatkan sebagai alat untuk melindungi manusia, bukan sebagai sistem administrasi yang steril dari penderitaan sosial.
Dalam konteks kebencanaan, pendekatan hukum progresif menunjukkan bahwa hukum yang membiarkan bencana berulang di wilayah yang sama sesungguhnya telah kehilangan orientasi kemanusiaannya. Hukum lebih tunduk pada kepentingan struktural seperti pertumbuhan ekonomi dan proyek pembangunan daripada keselamatan warga. Pada titik inilah hukum tidak hanya gagal secara fungsional, tetapi juga kehilangan “jiwa” nya sebagai instrumen perlindungan manusia.
Analisis Bencana di Sumatra: Potret Kelalaian Struktural
Bencana di Pulau Sumatra memperlihatkan kegagalan hukum secara nyata. Berdasarkan data BNPB yang diberitakan oleh Tempo dan Reuters, banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sepanjang 2024–2025 telah menyebabkan lebih dari 1.000 korban jiwa serta ratusan ribu hingga hampir satu juta warga terdampak.
BNPB mencatat bahwa bencana di Sumatra didominasi oleh banjir dan longsor yang berkaitan dengan curah hujan tinggi, degradasi daerah aliran sungai, serta alih fungsi kawasan lindung. Artinya, faktor risiko telah diketahui jauh sebelum bencana terjadi.
Wilayah-wilayah terdampak merupakan kawasan yang sejak lama dikategorikan sebagai rawan bencana. Ketika bencana tetap berulang di lokasi yang sama, maka kegagalan tersebut bukan insidental, melainkan struktural.
UU No. 24 Tahun 2007 mewajibkan mitigasi pra-bencana, sementara UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan. Namun, data korban dan kerusakan menunjukkan bahwa kedua undang-undang ini belum dijalankan secara konsisten.
Lemahnya penegakan hukum tata ruang memperlihatkan adanya kompromi antara hukum dan kepentingan ekonomi. Ketika hukum tunduk pada kepentingan non-kemanusiaan, risiko bencana menjadi harga yang harus dibayar oleh masyarakat.
Kondisi ini mencerminkan kelalaian struktural negara, yakni kegagalan sistemik dalam menjalankan kewajiban hukum berdasarkan data dan pengetahuan yang telah tersedia.
Sumatra menjadi contoh konkret bagaimana kegagalan membaca data dan lemahnya penegakan hukum berujung pada penderitaan manusia dalam skala besar.
Berdasarkan data kebencanaan nasional dan regional, jelas bahwa bencana di Indonesia tidak dapat lagi dipahami sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ketika hampir 3.000 kejadian bencana terjadi dalam satu tahun, dengan pola, jenis, dan wilayah yang relatif berulang, maka bencana merupakan risiko yang telah diketahui dan dapat dipetakan. Dalam konteks negara hukum, kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang tegas: bencana tidak dapat dibenarkan sebagai takdir semata, melainkan harus dibaca sebagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajiban hukumnya.
Ketersediaan data resmi dari lembaga negara menunjukkan bahwa persoalan utama bukan terletak pada ketiadaan informasi atau ketiadaan regulasi. Negara telah memiliki peta risiko, catatan kejadian, serta kerangka hukum yang mengatur penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Namun, ketika dampak bencana tetap berulang dengan korban jiwa dan kerusakan yang besar, maka persoalan utamanya terletak pada ketidakpatuhan dan lemahnya pelaksanaan hukum.
Bencana di Sumatra memperlihatkan persoalan tersebut secara nyata. Wilayah rawan telah lama diketahui, faktor risiko telah diidentifikasi, dan regulasi telah mengatur kewajiban mitigasi serta pengendalian tata ruang. Namun, kegagalan mencegah bencana berulang menunjukkan adanya kelalaian struktural, yaitu kegagalan sistemik dalam menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan hukum dan kebijakan publik.
Dalam negara hukum, kewajiban negara tidak berhenti pada respons darurat dan bantuan pascabencana. Perlindungan warga negara menuntut tindakan preventif yang berbasis data, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta penegakan hukum yang konsisten, khususnya dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan perlindungan lingkungan. Ketika kewajiban ini diabaikan, bencana berubah dari peristiwa alam menjadi konsekuensi dari pilihan kebijakan dan kelalaian struktural.
Oleh karena itu, penanggulangan bencana harus ditempatkan sebagai agenda hukum yang serius, bukan sekadar agenda teknis atau kemanusiaan. Negara harus menjadikan data kebencanaan sebagai landasan utama dalam perencanaan pembangunan, penataan ruang, dan pengambilan keputusan strategis. Tanpa pendekatan ini, hukum akan terus hadir setelah bencana terjadi, tetapi absen dalam mencegahnya.
Dengan demikian, terdapat beberapa hal yang perlu ditegaskan sebagai arah pembenahan. Pertama, negara harus memperkuat kewajiban penggunaan data kebencanaan sebagai dasar utama dalam setiap kebijakan pembangunan dan penataan ruang. Data tidak boleh berhenti sebagai arsip administratif, melainkan harus menjadi instrumen pengambilan keputusan hukum yang mengikat. Kedua, penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana harus dilakukan secara tegas dan konsisten, tanpa kompromi kepentingan ekonomi maupun politik. Tanpa penegakan hukum yang nyata, regulasi hanya akan berfungsi sebagai simbol normatif tanpa daya cegah. Ketiga, diperlukan pergeseran paradigma penanggulangan bencana dari pendekatan yang semata-mata reaktif menuju mitigasi preventif yang berbasis hukum, data, dan prinsip akuntabilitas negara.
Tanpa perubahan mendasar tersebut, bencana akan terus dinormalisasi sebagai peristiwa yang tak terhindarkan, sementara kelalaian struktural negara dibiarkan berulang dari tahun ke tahun. Dalam negara hukum, kondisi ini tidak dapat diterima. Evaluasi serius terhadap cara hukum dijalankan menjadi keharusan, bukan hanya untuk merespons bencana yang telah terjadi, tetapi terutama untuk memastikan bahwa hukum benar-benar bekerja melindungi keselamatan dan martabat warga negara.
*) Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar









































