Beranda Ekologi Belajar dari Kepulauan Spermonde; Gurita Jadi Pintu Masuk Tata Kelola Perikanan...

Belajar dari Kepulauan Spermonde; Gurita Jadi Pintu Masuk Tata Kelola Perikanan Berbasis Nelayan

0

Matakita.co, Makassar – Pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga keberlanjutan sumber daya laut sekaligus mempertahankan penghidupan nelayan skala kecil. Tekanan pasar, kerusakan ekosistem karena penangkapan yang merusak, perubahan iklim, dan keterbatasan akses ekonomi membuat laut kian dieksploitasi, sementara daya dukungnya terus menurun.

Di Pulau Langkai, Lanjukang, dan Bonetambu Kota Makassar, gurita menjadi salah satu komoditas utama yang menopang ekonomi rumah tangga nelayan. Nilai jualnya tinggi dan permintaannya stabil. Namun, intensitas penangkapan yang meningkat dalam dua dekade terakhir mulai memunculkan tanda-tanda tekanan ekologis. Ukuran gurita mengecil, hasil tangkapan fluktuatif, dan nelayan harus melaut lebih jauh.

“Tidak bisa lagi mengandalkan satu titik tangkap. Sebelum kami memulai program yang namanya buka tutup, daerah tangkap lumayan jauh padahal kalau dulu dekat pulau cukup,” kata Erwin RH, nelayan Pulau Langkai di Kota Makassar, Rabu 24/12/2025.

Kondisi ini diperparah oleh perubahan iklim. Musim barat yang semakin panjang membatasi hari melaut nelayan. Dalam situasi tersebut, laut tetap menjadi tumpuan utama karena alternatif mata pencaharian di pulau kecil sangat terbatas.

Gurita sebagai Pintu Masuk Tata Kelola

Sejak 2021, Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKL) Indonesia bersama masyarakat pesisir Spermonde melalui Program Penguatan Ekonomi dan Konservasi Gurita Berbasis Masyarakat (PROTEKSI GAMA). Pendekatan yang digunakan menempatkan nelayan sebagai aktor utama dalam pengelolaan perikanan.

“Gurita dipilih karena secara ekonomi penting bagi nelayan, tetapi secara biologis sangat sensitif terhadap penangkapan berlebih. Jika diberi ruang dan waktu, stoknya bisa pulih relatif cepat,” ujar Alief Fachrul Raazy, Program Manager YKL Indonesia.

Pendampingan tidak dimulai dengan pembatasan atau larangan, melainkan penyusunan profil perikanan secara partisipatif. Nelayan dilibatkan mencatat alat tangkap, musim, lokasi penangkapan, volume hasil, hingga harga jual. Data ini kemudian menjadi dasar diskusi bersama untuk memahami kondisi sumber daya secara lebih objektif.

Dari proses tersebut, muncul kesepakatan untuk menerapkan sistem buka–tutup wilayah penangkapan gurita. Sebagian area ditutup sementara agar gurita dapat tumbuh dan berkembang biak, lalu dibuka kembali dalam periode yang disepakati bersama.

Kesepakatan dari Nelayan, untuk Nelayan

Sistem buka tutup tidak ditetapkan dari luar. Nelayan sendiri yang menentukan lokasi, durasi penutupan, serta mekanisme pengawasan. “Awalnya memang ada keraguan. Takut hasil turun,” kata Erwin. “Tapi setelah dibuka kembali, gurita lebih besar dan hasilnya terasa.”

Menurut Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia, proses musyawarah menjadi kunci utama. “Ketika aturan lahir dari kesepakatan nelayan sendiri, kepatuhan tumbuh secara alami. Yang dijaga bukan hanya wilayah, tetapi juga kepercayaan.”

Di Pulau Langkai dan Lanjukang, sistem ini berkembang menjadi praktik kolektif lintas pulau. Wilayah kelola berbasis buka–tutup kemudian diselaraskan dengan Kawasan Konservasi Daerah (KKD) Lanjukang. Pengawasan dilakukan oleh nelayan melalui kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas), dengan sanksi sosial sebagai instrumen.

Dampak Ekologi dan Ekonomi

Pemantauan menunjukkan peningkatan kondisi ekosistem di wilayah kelola. Tutupan karang hidup meningkat, sementara praktik penangkapan merusak seperti bom dan bius menurun. Ukuran gurita yang tertangkap menjadi lebih besar dan seragam.

Dari sisi ekonomi, pendapatan nelayan meningkat seiring membaiknya kualitas hasil tangkapan dan harga jual. Di darat, kelompok perempuan nelayan mulai mengembangkan produk olahan seperti nugget dan sambal gurita, membuka peluang nilai tambah di tingkat lokal.

Kesadaran konservasi juga meluas ke spesies lain. Di Pulau Lanjukang, masyarakat aktif melindungi sarang penyu dan melepasliarkan ribuan tukik dalam beberapa tahun terakhir. “Dari gurita, kami belajar menjaga yang lain,” ujar Anas nelayan dari Pulau Lanjukang.

Bonetambu sebagai Ruang Replikasi

Pada 2024–2025, pendekatan PROTEKSI GAMA direplikasi di Pulau Bonetambu, salah satu sentra perikanan gurita terbesar di Kota Makassar. Bonetambu menjadi ruang pembelajaran penting untuk melihat apakah model ini dapat bekerja di wilayah dengan tekanan tangkap yang tinggi.

Sekitar 70 hektar wilayah buka tutup mulai dirintis. Monitoring hasil tangkapan diperkuat melalui pencatatan harian nelayan, sementara Sekolah Tanpa Ragu (SETARA) digelar sebagai ruang belajar bersama.

“Bonetambu menjadi ujian penting. Jika tata kelola berbasis masyarakat bisa berjalan di sini, peluang replikasi di wilayah pesisir lain akan semakin besar,” kata Nirwan.

“Setelah belajar di Pulau Langkai dan Lanjukang, kami coba buka tutup. Hasilnya setelah dibuka luar biasa, nelayan yang menangkap sebentar saja bisa dapat gurita grade A atau yang paling tinggi. Selama ditutup juga menurun bahkan hilang pelaku bom ikan,” ujar H. Gassing Tokoh Masyarakat di Pulau Bonetambu.

Pembelajaran dari Pulau-Pulau Kecil

Pengalaman dari Spermonde menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan skala kecil yang berkelanjutan tidak selalu membutuhkan instrumen rumit. Data sederhana, kesepakatan lokal, dan kepercayaan antar nelayan dapat menjadi fondasi kuat tata kelola sumber daya.

Lebih dari sekadar menjaga stok gurita, pendekatan ini memperkuat posisi nelayan sebagai pengelola lautnya sendiri. Di tengah tekanan perubahan iklim dan pasar global, pembelajaran dari pulau-pulau kecil Spermonde memberi pesan penting keberlanjutan laut dan penghidupan nelayan dapat berjalan beriringan, jika dikelola dari bawah dan berbasis pada pengetahuan lokal.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT