Beranda HISTORIA Semangat Islam Dalam Kebangkitan Kesadaran Nasionalisme (Bagian 3)

Semangat Islam Dalam Kebangkitan Kesadaran Nasionalisme (Bagian 3)

0

Sekilas Tentang Piagam Jakarta

Piagam Jakarta (Jakarta Charter) merupakan Dokumen Sejarah yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia.Suatu Dokumen yang merupakan hasil kesepakatan bersama (Gentlement’s Agrement) antara tokoh-tokoh bangsa.

Di bulan Mei tahun 1945, Kekaisaran Jepang berbaik hati untuk mewujudkan janjinya memberikan kemerdekaan pada Indonesia dengan dibentuknya Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan (BPUPK) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbii Chōsakai.Badan ini bertugas untuk membahas Falsafah Dasar Negara (Filosofiche Groudslaag) dan Konstitusi Indonesia merdeka.

Dalam sidang itu ada perbedaan pendapat mengenai dasar negara yang akan dibentuk. Setelah perdebatan terbuka dalam suasana kekeluargaan,maka dicarilah jalan keluar dengan membentuk Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno. Panitia ini bekerja untuk merumuskan dasar negara dan akan menyampaikan hasilnya dalam rapat BPUPK. Maka pada Tanggal 22 Juli 1945, Panitia Sembilanmelaporkan hasil kerjanya yang berupa rumusan dasar negara,dan diberi nama Piagam Jakarta, yang dalam point pertama mengatakan,“Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Setelah membacakan hasil kerja panitia sembilan itu Soekarno dengan “tegas” meyakinkan anggota BPUPK bahwa itulah hasil konsensus antara pihak nasionalis dan Islam. Semua anggota menerima Piagam itu secara bulat.

Ternyata setelah itu kondisi politik dunia berubah. Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu—Amerika Serikat, pada tanggal 14 Agustus 1945, setelah Herosima dan Nagasaki di bom bardir. Otomatis janji kemerdekaan dari Jepang tidak bisa lagi diharapkan. Oleh karena itu pihak Republik, khusunya kaum muda mendesak untuk diproklamasikan Negara Indonesia.Sepulang dari Dalat, setelah bertemu Jenderal Terauchi, Soekarno dan Hatta “dipaksa” untuk memproklamirkan Negara Indonesia. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pengangasan Timur, hari Jumat jam 10 pagi di bacakanlah Proklamasi oleh Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta.

Sore hari, setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan – menurut cerita Bung Hatta – datanglah seorang Opsir Kaigun – Pembantu Laksamana – menyampaikan keberatan orang Indonesia Timur akan tujuh kata dalam point pertama Piagam Jakarta itu. Tatkala itu tanggal 18 Agustus 1945, tulis Haedar Nashir – dalam Republika.co.id, Ahad, 27 November 2016, Indonesia Siapa Punya?– Indonesiadiambang perpecahan, karena persoalan Piagam Jakarta itu. Namun umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus berkorban luar biasa. Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan Gentlement Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Soekarno.
Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, Lanjut Haedar, para wakil umat Islam demi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru merdeka, demi menjaga konsolidasi Republik yang masih muda, kalimat itu rela dihapuskan. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Kesimpulan

Dari peristiwa sejarah yang dituturkan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Islam-lah yang mula-mula membentuk semangat nasionalisme dan anti penjajahan. Semangat Umat Islam pula yang telah membawa Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat seperti sekarang ini. Munculnya organisasi-organisasi Islam di awal abad ke-20 merupakan tonggak awal terbangunnya solidaritas nasional dan sekaligus awal kebangkitan nasionalisme yang utuh.
Dalam kesimpulan ini dapatlah dikatakan bahwa umat Islam telah menjadi pelopor kemerdekaan dan akan tetap menjadi bagian penting dari perjuangan untuk membangun Indonesia sekaligus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, supaya menjadi bangsa yang besar dan maju. Bangsa yang menghargai kemajemukan dan memiliki nilai toleransi akan kemajemukan itu.Menjadi tugas serta kewajiban umat Islam pula, untuk mempertahankan Negara Indonesia dari perpecahan dan disintegrasi, sehingga cita-cita Fouding Fathers atau tokoh- tokoh Islam dahulu bisa terwujud.

Tanpa mengurangi kayakinan penulis akan universalitas ajaran Islam, namun dalam konteks nasionalisme penulis berpendapat bahwa memang nasionalisme menghendaki pengorbanan, yaitu mengorbankan kepentingan pribadi dan hasrat individual demi untuk keutuhan dan kemajuan bangsa dan Negara, itulah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Para pendahulu yang bersajaha itu telah merawiskan kepada kita semangat nasionalisme yang sangat agung dan patut kita contohi.(Selesai)

*)Penulis adalah Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here