Beranda Mimbar Ide Mencari Pemimpin

Mencari Pemimpin

0
Ilustrasi

Oleh : Aswar Hasan*

Siapakah pemimpin itu? pertanyaan ini penting, karena sebagai anggota masyarakat Sulawesi Selatan kita sedang diperhadapkan dengan Pilgub dan Pilkada serentak yang akan berlangsung 17 Juni 2018 demikian juga secara Nasional kita akan diperhadapkan dengan Pemilu legislatif dan Pilpres serentak pada tahun 2019. Moment pemilihan para pemimpin itu, sudah mulai aromanya sedari sekarang. Lantas siapakah sesungguhnya pemimpin itu? Apa ciri dan kriterianya?

Khalifah Umar Bin Khattab pernah berkata bahwa seorang pemimpin itu, tidak bisa tidur sebelum merasa yakin telah selesai memikirkan dan mengatasi persoalan rakyatnya. Pertanyaannya kemudian, apakah sekarang ini masih tersisa jenis kualitas pemimpin seperti itu? Kalau Pemimpin sekualitas Umar tidak bisa tidur nyenyak sebelum selesai memikirkan umatnya, maka rasa-rasanya untuk sekarang ini, justru rakyatlah yang susah tidur karena memikirkan ulah para pemimpinnya. Sungguh sangat terbalik.

Para Raja-raja Luwu tempo dulu, pantang beranjak ke pembaringan untuk istirahat, sebelum tuntas memikirkan nasib rakyatnya. Setelah yakin bahwa kondisi rakyatnya baik-baik saja, barulah Ia bisa dengan tenang beranjak keperaduannya untuk istirahat memulihkan tenaganya, agar besok bisa kembali mengurus rakyatnya.

Sekarang, ada banyak pemimpin yang terpilih merasa tidak punya ikatan tanggung jawab moral. Betapa tidak, karena ia dipilih lewat sebuah transakasi material yang telah tunai saat terpilih. Suara yang dia peroleh telah terbayar tunai sebelum rakyat memberikan suaranya. Ia tidak merasa berutang kepada rakyat. Demikian juga halnya dengan kendaraan partai yang mengusungnya, adalah laksana kendaraan rental selama kampanye pemilu dan sewa rentalnya telah ia bayar lunas. Demikian halnya dengan para sponsor (donaturnya) juga telah tuntas ia bayar lewat sejumlah proyek APBD. Inilah era transaksional material proses memilih pemimpin. Semuanya ada ongkosnya dan harus bisa dibayar tunai pada saatnya. Tidak ada lagi komitmen dalam bentuk kontrak sosial dengan mewakafkan dirinya, waktu, tenaga, pikiran dan seluruh jiwa raganya untuk rakyat. Istilah siap mewakafkan diri untuk mengurus rakyat mulai terasa hambar tanpa ruh. Rasa-rasanya telah banyak diucapkan hanya sebatas retorika politik kualitas rendahan.

Melupakan janji politik adalah hal biasa. Karena ingatan politik rakyat rasanya juga sudah mulai tumpul dan rentan amnesia. Lagi pula toh tidak ada sanksi hukum yang menjerat jika seorang politisi melupakan janjinya. Setelah merenung mengapa sampai hal itu terjadi, saya menemukan setidaknya tiga penyebab, Pertama, karena sistem demokrasi kita masih belum subtansial terikat pada nurani rakyat dan keimanan kepada Tuhan. Demokrasi kita lupa dimana tempatnya berpijak (nurani rakyat) dan tempat dimana seharusnya bergantung (Tuhan Al Khalik). Kedua, telah terjadi degradasi moral politik para elit. Ketiga, Karena rakyat juga mulai masa bodoh. Jadi, sempurnalah sudah kerusakan negeri ini,

*) Penulis adalah komisioner komisi informasi publik (KIP) Sulsel

*tulisan ini juga dimuat di kolom secangkir teh koran Harian Fajar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT