Beranda Fajlurrahman Jurdi Hukum Hampir Tak Pernah Merdeka

Hukum Hampir Tak Pernah Merdeka

1
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI selalu mengingatkan kita soal posisi Negara yang rechstaat. Bukan machstaat atau Negara yang dikelola oleh seorang “fuhrer” berdasarkan kehendak kekuasaannya. Salah satu penyangga rechstaat adalah hukum yang ditegakkan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kepastian atau kemanfaatan.

Pembentukan Negara Indonesia merdeka tidak terlepas dari perdebatan ini, yakni meletakkan hukum sebagai pengatur lalu lintas kepentingan umat manusia. Hukumlah yang mengatur kekuasaan agar bertindak menurut norma-norma dan prinsip-prinisp kewajaran, akuntabilitas dan keterbukaan, sehingga warga Negara dapat dengan leluasa menolak keputusan dan/atau tindakan penguasa jika tak sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebaliknya juga demikian, tindakan warga Negara haruslah mengikuti prinsip-prinsip hukum yang ditetapkan oleh Negara.

Antara Negara dan warga Negara sama-sama diikat oleh hukum sebagai norma yang mengatur atau dengan kata lain, setiap orang dalam makna person sebagai subyek hukum bertanggungjawab terhadap keputusan dan/atau tindakannya. Sehingga tidak ada yang lebih superior daripada yang lain, sebaliknya juga demikian.

Pemikiran ini bukanlah hal baru, karena telah menjadi konsensus sejak abad pertengahan yang gelap gulita mulai ditinggalkan. Orang-orang mulai alergi dengan penangkapan dan penahanan tanpa status, pengasingan tanpa sidang, pembunuhan tanpa ditanya kesalahannya. Para despot masa lalu tak layak hidup terlalu lama, karena tangan mereka berlumur darah kekerasan dan “pemusnahan”. Hukum tak pernah ada, karena mereka sekaligus hukum. Kata Louis XIV, “l’État c’est moi; Negara adalah saya” adalah musuh kebebasan yang mengerikan.

Tahun 1945 adalah tahun kemerdekaan, tepat 17 Agustus. Sehari setelahnya, Jakarta Charter atau piagam Jakarta yang dirumuskan oleh Panitia Perumus yang disebut dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Pancasila sebagai volkgeist dengan sedikit perubahan pada sila pertama. UUD 1945 praktis pada saat yang sama juga diberlakukan. Saat itu, jadilah kita sebagai Negara merdeka, setelah dibelenggu oleh “buldozer” kolonialisme selama berabad-abad lamanya. Kemerdekaan politik yang ditandai dengan pekikan proklamasi yang menggema. Kolonialisme berakhir. Penindasan yang melilit dan tak terurai sepanjang sejarah yang tak terjangkau berhenti. Kemanusiaan mulai ditegakkan.

Kesetaraan mulai menemukan bercak-bercak untuk disinggahi. Kebebasan direfleksikan kembali, serta manusia menemukan hakikat dan prinsip-prinsip kehidupannya kembali.

Negara yang mulai menetas itu, meskipun sudah merdeka secara politik, tetapi instrumen hukumnya masih terus-menerus dihantui oleh “kegelapan” kolonialisme. Hukum sipil kita, setelah merdeka sekian lama, 72 tahun yang lalu, masih belum berubah. Hukum kolonial Belanda yang merupakan Code Civil Prancis masih belum diganti. Watak hukum kolonial ini berpengaruh terhadap watak penegak hukum yang sebagian masih mewarisi watak para penjajah dulu.

Kita boleh bilang merdeka secara politik. Kita juga boleh bilang merdeka secara ekonomi, meskipun semua itu dapat dibantah. Tetapi hukum tak perlu dibantah, karena terbantahkan dengan sendirinya. Kita jelas belum merdeka sepenuhnya dari sisi hukum. Watak penegak hukum yang sebagian seperti “penjajah” adalah hasil pelajaran sistem hukum kolonial yang kita gunakan.
Selamat ulang tahun Indonesia.

Makassar, 17 Agustus 2017

*) Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

Comments are closed.