Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
“Kesetaraan” adalah merupakan salah satu kata yang terus-menerus didendangkan dalam penegakkan hukum. Selain “kesetaraan”, terdapat juga kata yang memilik relasi tak terpisahkan, yakni, “kemandirian” yang ditujukan kepada lembaga peradilan atau kata yang terasa asing yakni “impartial”.
Kesetaraan ditujukan pada dua subyek, yakni “subyek tesis” dan “subyek antithesis”, karena filosofinya, kata ini untuk menunjuk “dua subyek atau lebih” dalam posisi yang saling berhadapan secara dialektis. Untuk menciptakan tujuan hukum yang standar yakni “keadilan, kepastian dan kemanfaatan”, harus ada posisi yang “setara antar subyek”, sehingga dengan posisi yang setara itu, keputusan dapat diambil dengan cara obyektif.
Menciptakan “kesetaraan” agar lahir keputusan yang obyektif memerlukan lembaga peradilan yang “mandiri”. “Mandiri” yang dimaksud bukan saja dari segi institusi, tetapi juga dari segi aktor dan secara umum mencakup sistem peradilan. Kemandirian institusi tanpa ditopang oleh kemandirian aktor, lembaga peradilan akan terjebak pada pragmatism aktor yang dapat menyeret institusi.
Harapan “kesetaraan” dalam hukum menjadi ius constituendum semua orang. Meskipun secara konseptual dan normatif (ius constitutum) telah ditulis dan diundangkan dalam peraturan perundang-undangan. Jelas bahwa ada jarak distingtif antara kedua hal ini. Biasanya persoalan yang paling krusial sebagai penyebab utama terbentangnya jarak antara kedua hal ini adalah masalah klasik, yakni; kelas sosial.
“Kelas sosial” atau “status subyek” menjadi pemicu dilanggarnya konsep “kesetaraan”, “keadilan”, “kepastian”, “kemanfaatan” dalam hukum dan tidak “impartial”nya lembaga peradilan sebagai jantungnya “keputusan” hukum. “Status subyek” ini juga menjadi pusat kendali dan batu uji “kemurnian hukum” sebagai norma dan sebagai nilai. Sebagai norma, ia berpusat pada positivisme sedangkan sebagai nilai ia berpusat pada living law atau hukum yang hidup dalam suatu masyarakat. Kedua hal ini dapat saling menguatkan bila tidak ada anasir lain
Pada ranah tindakan, “status subyek” menentukan goal penegakkan hukum. Kebenaran sebagai pusat kendali keputusan tak dapat berkutik bila harus melayani subyek karena status sosialnya. Akibatnya “kesetaraan” sebagai salah satu prinsip hukum (principles of law) tidak pernah dapat diimplementasikan apabila hukum melayani subyek.
Dimana letak kata “equality” itu sebenarnya?. Sebagai prinsip, ia adalah nilai yang menjadi basis argumentasi dan basis pijakan dalam penegakkan hukum. Sebagai prinsip, “equality” tidak “direct imperative”, tetapi hanya “moral imperative” yang harus diimplementasikan dalam bentuk “keputusan hukum”. Untuk memastikan “kesetaraan” ini ditegakkan dalam hukum, maka harus ada kombinasi antara norma yang sifatnya “perintah” dan “larangan” dengan prinsip-prinsip hukum yang sifatnya abstrak.
Prinsip “equality before the law” harus dilaksanakan secara bersamaan dengan prinsip “kemandirian lembaga peradilan”. Perpaduan kedua prinsip tersebut berhubungan langsung dengan terciptanya “kesetaraan” guna mewujudkan “keadilan, kepastian dan kepastian” hukum sebagai tujuan. Argumentasi standarnya adalah; “kesetaraan subyek dihadapan hukum” ditentukan oleh “penghapusan perspektif kelas (status subyek)” di lembaga peradilan. Untuk dapat menghapuskan “perspektif kelas”, maka lembaga peradilan harus independen, tidak bisa di intervensi oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.
*)Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin