Beranda Fajlurrahman Jurdi Pribumi

Pribumi

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Pribumi, entah ungkapan ini datangnya dari mana, tetapi ia hidup bersama kita. Kata yang telah menjadi bagian dari alat yang “mempersatukan” partikel-partikel bangsa untuk terus menolak konolianialisme dalam waktu panjang. Bila meniliknya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, Pribumi berarti “penghuni asli”, atau setidak-tidaknya “mereka berasal dari tempat yang bersangkutan”, atau tempat aslinya. “Asli” setelah kata penghuni menunjuk pada lokasi, wilayah atau teritori tertentu. Dalam hal ini, pribumi adalah merupakan “penduduk asil” dari suatu wilayah atau daerah tertentu.

Kata “pribumi” ini sebenarnya “menujuk ke dalam”, karena ada entitas lain yang distingtif (berbeda) dengan pribumi. Atau istilah pribumi tidak saja “melestarikan” sang diri yang “aku”, tetapi juga untuk menunjuk sesuatu yang other (lain). Dulu di zaman kolonial Belanda, saat mereka merajut rantai penindasan yang perbudakan, ada dua kata yang menunjuk pada subyek yang berbeda. Masing-masing kata itu merefleksikan status kelas dan asal-usul mereka.

Kata pertama adalah “nederland atau nederlander” yang ditujukan kepada pemerintahan Kolonial Belanda. Nederlander menunjuk pada posisi superioritas kelas subyek. Belanda di zaman kolonial, mekipun jumlahnya secara kuantitas kecil, namun subyek yang kecil angka kuantitatifnya ini menguasai dan mengendalikan semua urusan, termasuk urusan “kapan seseorang ditembak mati” dan “dirampas haknya”. Hal ini dikarenakan mereka menguasai alat perang, memiliki uang dan yang “agak mengerikan” adalah tidak memiliki rasa kemanusiaan.

Sebagai subyek, “Nederland atau Nederlander” memiliki posisi “aku” yang kuat. Mereka menjadi bagian yang paling sentral untuk mengendalikan sebagian besar kehidupan orang lain diluar dari ke-aku-an mereka. Yang other dari mereka adalah “subyek lawan” atau “subyek netral” yang dapat memberi keuntungan material bagi kepentingan mereka. Pilihannya hanya dua itu jika bukan bagian dari mereka. “SUbyek netral” sewaktu-watu dapat menjadi kawan, namun pada saat yang lain bisa menjadi lawan. Karena itu, Nederland adalah merupakan “penjajah”.

Kata kedua yang menunjukkan jarak atau deviasi dengan kata pertama adalah “inlander”. Kata yang paling tepat untuk menggantikan kata inlander ini adalah “pribumi”. Inlander menunjuk pada si “terjajah”, orang-orang lokal atau “penduduk asli”. Orang-orang ini mengalami ekploitasi karena kolonialisme. Mereka mengalami penindasan dan “perampasan hak”, kerja rodi” dan penundukan oleh si “Nederland”.

Jika anda membaca dan merajut gagasan Edward W. Said dalam Orientalism (1984) atau Culture and Imperialism (1993) dengan “iman pengetahuan yang baik”, disana akan ada “kesadaran” kita untuk menemukan identitas. Meskipun ia berbicara “Barat” dan “timur” dalam skema suprioritas dan inferioritas yang menakjubkan, Said membangun kesadaran “pheriferal” untuk menolak yang “sentral”. Dalam konteks ini, yang “pheriferal” adalah pribumi karena di-sinonim-kan dengan “kotor, miskin, bodoh dan kurang bermoral”, sedangkan yang “sentral” di-sinonim-kan dengan “maju, berperadaban, kaya dan berilmu pengetahuan”. Itulah sebabnya ia mengajarkan kepada “pribumi” yang pheriferal itu untuk melakukan “reading back” atau membaca terbalik mereka yang “sentral”. Jika yang pheriferal, pribumi, atau inlander itu adalah “terbelakang, kurang bermoral, bodoh”, maka kini saatnya kita melihatnya secara kebalikan. Semua label itu disematkan kepada si “penjajah”, Nederland atau yang selama bertahun-tahun mengaku berperadaban. Sehingga ada “kesadaran perlawanan” untuk menghentikan “penjajahan, superioritas dan ke-aku-an para pendatang, yang jumlah kuantitatifnya tidak besar, yang hanya melakukan ekploitasi, “mengekalkan status tuan-hamba”, lalu setelah itu meninggalkan duka lara dan penderitaan selama hampir satu abad.

Pidato Anis-Baswedan saat serah-terima jabatan Gubernur beberapa waktu lalu atau pidato lain oleh orang yang berbeda dengan nada dan konten yang mirip, entah disengaja atau tidak sengaja diucapkan atau tulisan-tulisan sejenis, sebenarnya membangunkan kembali kesadaran masa lalu. Anis bukan-lah intelektual kelas teri yang dilahirkan dari lorong akademik yang pengap, ia bukan manusia yang hobi “refleksi” tanpa “aksi”. Pidato itu adalah monumen pengetahuan yang ia ukir di atas ratusan buku dan makalah dan di atas sesaknya pasar politik yang tidak pernah jelas “siapa pengkhianat” terhadap republik dan siapa yang “cinta republik”, “siapa yang masih merawat kesadaran” dan siapa yang sudah mulai lupa sejarah dan sederet istilah lainnya.

Anis Baswedan menyadari betul betapa rumitnya “hantu kolonialisme” modern itu. Apakah saydara sadar bahwa Pulau Reklamasi di pantai utara Jakarta tiak dapat disentuh dan “memiliki kedaulatan sendiri?”. Tidak ada perahu dan speedboat yang bisa mendekat apalagi bersandar disana. Bukankan itu sama persis dengan “penjajahan?”. Bukankan “Nederland” dulu kembali dalam bentuk lain yang lebih berbahaya?. Bukankah ini yang disebut “superioritas” minoritas orang-orang kaya asing terhadap penduduk asli”.

Anis telah membangun kembali kesadaran kita. Anis memastikan bahwa ia adalah professor yang hidup dengan kesadaran kemerdekaan penuh. Ia menegaskan dirinya bukan pengkhianat.
Wallahu a’lam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT