Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Kita mendendangkan kebebasan, seperti halnya kita mendendangkan keteraturan. Karena sejatinya hidup ini adalah pertentangan yang tak usai antara dua hal secara dialektis. Jika ada kejahatan, selalu ada kebaikan. Ada orang-orang miskin yang terbentang dilautan samudra sosial, ada orang-orang kaya yang hidup dalam kemewahan dan “keramahan” materi. Karena itu, jika ada kebebasan, maka ada pembatasan. Untuk apa keduanya ada, tak pasti jawabannya, tergantung apa makna yang hendak diburu oleh manusia sebagai subyek.
Ketika setiap kepala bicara soal agama sebagai salah satu ekspresi kebebasan, maka ada hukum yang mengatur lalu lintas orang beragama. Hukum adalah merupakan residu dari kebebasan sebagai prinsip bersama umat manusia. Karena itu, “kebebasan bukan residu dari hukum”, tetapi “hukum-lah residu kebebasan”.
Secara sederhana dapat digambarkan, “bila manusia lahir, ia lahir dalam keadaan bebas”. Tidak ada ikatan apapun yang merepresi manusia sejak lahir. Karena itu, postulat kehidupan ini bermula dari kebebasan, lalu sebagian besar kebebasan itu diberi batasan, agar manusa bisa saling “menghormati” dan “menerima” manusia lain.
Selain soal agama, misalnya ada orang yang merayakan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, maka ia merupakan ekspresi kebebasan individual yang penting. Tetapi kadang dua contoh kebebasan itu, yakni kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi seringkali menjadi pemicu terjadinya “disharmoni”. Pada “kebebasan beragama”, disharmoni terjadi karena “iman yang tak sama”, dan “tuhan yang berbeda”, sedangkan pada “kebebasan berekspresi”, disharmoni terjadi karena “pemujaan” pada individu yang terlampau berlebihan. Akibatnya terjadi “gesekan” antar individu yang dapat “melukai” kebebasan yang lain.
Dalam konteks saling “bertabrakannya” kebebasan inilah maka Negara sebagai “mahluk lain” yang berada di luar individu menjadi penengah yang netral untuk melerai konflik kebebasan antar individu. Dengan adanya Negara, ekspresi kebebasan diatur secara seimbang, agar tiap individu dapat saling menjaga kohesi sosial dan tidak saling “memburu” diantara sesamanya. Sebab itu, Negara adalah “pelindung” kebebasan.
Tapi bagaimana bila Negara yang justru “memburu kebebasan” untuk diterkam?. Bagaimana bila Negara berubah menjadi serigala lapar yang “membunuh dan membantai kebebasan?”. Negara dalam hal ini tidak lagi netral untuk menjadi penengah atas konflik kebebasan yang menimpa individu. Bila Negara kehilangan netralitas dalam melindungi kebebasan sebagai prinsip, maka “keamanan dan ketertiban” yang semula menjadi mimpi tiap orang tak dapat diharapkan. Sebab, atas nama kolektivitas, Negara menganggap tindakannya yang menghancurkan kebebasan sebagai legitimate.
Sebab itu pula, sikap Negara yang lebbay menetapkan Perpu Ormas menjadi UU Ormas merupakan bagian dari sikap Negara yang tidak taat pada kebebasan. Prinsip-prinsip hukum yang meletakkan kebebasan sebagai prinsip utama tak menjadi basis argumentasi. “Kebebasan menjadi residu kekuasaan”, “kebebasan menjadi residu hukum Negara”, bukan “hukum Negara yang menjadi residu dari kebebasan”. Bila demikian, jelas “kebebasan” gampang disobek kapan saja. Demi dan atas nama kekuasaan, kebebasan dapat “diburu” dan “dijarah” hingga tersudut, atas nama “menyelamatkan ketertiban dan keteraturan” kebebasan dihancurkan. Negara punya dosa sejarah karena merobek kebebasan.
*) Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unhas







































