Beranda Fajlurrahman Jurdi HALAYUDA’S POLITICS

HALAYUDA’S POLITICS

0
Fajlurrahman Jurdi (tengah)

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Selama ratusan tahun, konsep Machiavelli tentang politik masih selalu menjadi rujukan. Ia menjadi mahluk yang paling dicari secara teoritis saat banyak tindakan politik melampaui moral. Saat banyak politisi “menjilat” hingga titik terakhir, saat ada kelicikan yang tak pernah bisa dimaafkan, maka Machaivelli selalu menjadi mahluk yang paling disesali. Bahkan mungkin saat menyusun Daftar Calon Sementara di Pemilu 2019, Machiavelli kadang-kadang selalu disesali jika ada seorang Caleg yang sebenarnya layak untuk ditempatkan di nomor urut satu, tetapi faktanya ia berada di nomot urut lima atau tujuh.

Tetapi ada mahluk lain yang dikisahkan dalam novel tebal lima jilid yang ditulis oleh arswendo atmowiloto, “Senopati Pamungkas”. Novel dengan latar belakang kerajaan Majapahit ini menampilkan berbagai tokoh, mulai dari para pahlawan yang hidup dalam alam moralitas, bahkan sampai pada tingkat “moksa”. Moksa adalah seseorang yang menghilang, namun dirasakan kehadirannya saat-saat kegentingan politik dan pemerintahan dalam lingkup kerajaan terjadi. Tetapi tak sedikit juga para pengkhianat yang mencari muka dihadapan Raja dengan mengharap imbalan.

Dalam kisah ini, diperkenalkan seorang manusia yang sungguh menakjubkan. Ia seseorang yang menempa proses dari awal. Mulai dari Prajurit, Senopati, Mahapatih (semacam perdana menteri), hingga titik terakhir kekuasaannya adalah dia melakukan kudeta terhadap raja. Ia pandai menyembah hingga mencium tanah, ia merendahkan dirinya hingga tak tersisa lagi harga dirinya, dan saat-saat ia “menghinakan” dirinya, ia membangun strategi dan menyusun rencana. Ia bernama Halayuda, anak yang tak diketahui asal usulnya, lalu menjadi orang yang sakti dalam lingkungan kerajaan dan pada titik akhirnya ia menawan raja dan akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja.

Dalam hidupnya, Halayuda tidak pernah hidup tenang tanpa rencana, mengadu kawan-kawannya sesama Senopati (senopati adalah lapis kekuasaan ketiga setelah Raja) dengan membangun propaganda dan menghasut, agar mereka saling membunuh. Halayuda tak pernah menggunakan tangannya sendiri untuk “mematikkan” lawan-lawannya. Dengan modal “menyembah” dan “menjilat” serta menghinakan dirinya sebagai manusia yang “tak memiliki apa-apa”, ia justru sedang membuat perhitungan. Hingga ujungnya, tak tersisa lagi para senopati, bukan ia yang membunuh dan menyingkirkan mereka, tetapi ia mengadu agar para senopati saling membunuh. Semakin banyak yang saling membunuh, maka semakin kurang kekuatan dan rival-rivalnya, sehingga ujungnya ia yang justru memperoleh kekuasaan.

Di dalam selimut, ada kalajengking yang mematikan, ia membunuh sekaligus menghancurkan. Di dalam tubuh kekuasaan, ada orang-orang yang ditakdirkan untuk terus merawat hubungan baik, tujuannya bukan untuk bertahan dan berjuang bersama, tetapi ia kadang mencari jalan lain dengan menggunakan tangan kawannya. Hal ini terjadi karena beberapa hal: pertama, ia tidak mau terlihat buruk dihadapan kawan-kawan seperjuangannya, maka ia “menyembah” orang itu semaksimal mungkin agar target kekuasaan ia peroleh dengan gampang. Kedua, secara personal, posisi kekuasaan itu belum bisa ia dapatkan, maka harus ada orang besar, orang kuat atau dengan bahasa lainya orang yang lebih berkuasa sebagai tempat bersandar. Sandaran itu baginya hanya sementara, karena ia ingin melompat tinggi dengan menggunakan pijakan orang lain.

Pada dasarnya itu tidak menjadi soal, karena setiap orang punya tujuan yang berbeda. Tetapi “membunuh” orang atau kawan untuk memperoleh kekuasaan, jelas tak masuk akal. Hanya saja, bagi Halayuda, tak penting nyawa dua atau tiga orang, atau bahkan seluruh kampung, jika itu menjadi penghalang kekuasaan, ia akan hancurkan tanpa mimik rasa bersalah. Karena itu, gurunya ia habisi, meskipun tak mati ditangannya, tapi wajahnya berantakan. Teman-teman sesama penjaga keraton tak tersisa, ia “bunuh” dan “ungsikan”. Nyawa prajurit bagi Halayuda tak lebih dari sekedar rumput liar yang bisa dicabut dan ditanam.

Halayuda memperhitungkan secara detail tindakannya, sehingga tak terendus sedikitpun dalam lingkungan keraton, kecuali para ksatria diluar keraton tetapi tetap memperhatikan dinamika internal, raja, permaisuri, mahapatih dan para senopatinya. Mereka tau kelakuan Halayuda, tetapi memberi masukan kepada Raja adalah suatu hal yang mustahil. Mereka bisa dihukum penggal karena menuduh tanpa bukti, meskipun terang benderang, Halayuda sedang merencakan siasat licik.

Kekuasaan adalah satu-satunya tujuan Halayuda. Dalam satu pernyataannya saat-saat ia mencapai kejayaan, “saya sudah bosan menjadi alas kaki, saya tidak mau dihinakan terus-menerus”, memantik alasan realis yang menyertai strategi dan tipu muslihat kekuasaan yang ia rencanakan. Bagi kaum realis, perilaku politik Halayuda bisa saja dibenarkan, karena memang begitulah sejatinya kekuasaan. Tetapi bagi kaum moralis, gerak politik Halayuda menentang “takdir” dan melawan “moral”. Ia menyebut dirinya sebagai “mahamanusia”, dan mahamanusia berarti ditakuti oleh “dewa” dan dewa cemburu pada tujuan-tujuan yang ia capai. “Akulah mahamanusia”, seru Halayuda saat ia menawan Raja. Dan ia benar-benar menjadi manusia yang sukses memburu kekuasaan dengan “menghalalkan semua cara”. Tak ada satupun cara licik yang terlewatkan.

Meskipun tahta tak benar-benar ia pegang, namun menawan raja dan menyebut dirinya sebagai “ingsun” (panggilan khusus untuk raja) adalah merupakan tujuan akhir dari perburuan Halayuda. Ia menjadi sempurna, ketika melakukan “kudeta” kepada raja dan duduk di kursi sakral sang raja, sementara si empunya kekuasaan duduk agak ke belakang disampingnya. “Ingsun” adalah raja dan sesembahan semua penghuni alam, termasuk para dewa cemburu melihat pencapainku. Seru Halayuda sambil tertawa keras hingga terdengar keluar keraton.

Pembaca yang budiman, saat orang-orang mengenang Machiavelli ketika dramatugi politik dan suksesi jelang Pilkada dan Pemilu berlangsung, mereka lupa, bahwa hikayat Hayaluda dalam imajinasi Arswendo jauh lebih mengerikan. Ia lebih terencana, terstruktur, dan memiliki tahapan yang pasti. Saat kekuasaan menjadi yang sentral sebagai tujuan dari politik bagi sebagian besar orang, dekonstruksi semua tatanan tak terhindarkan, maka menuding Halayuda dapat juga dibenarkan. Jangan selalu Machiavelli yang diarak namanya dalam panggung, padahal ada manusia keji yang lebih berbahaya; Halayuda.

Wallahu a’lam bishowab.

Makassar, 29 Juli 2018

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT