Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Nihilisme berpandangan, bahwa hidup tak punya nilai, tak ada tujuan, dan tak punya makna. Hidup adalah senjakala ruang kosong, “ketiadaan” dan kehampaan yang sempurna. Nihilisme bersumber pada pesimisme konservatif atau ketidakpercayaan radikal pada segala “yang ada”. Karena segala sesuatu tak ada, termasuk nilai-nilai yang dianut, maka nihilisme memusatkan subyek pada kebebasan untuk memilih.
Dalam teologi, nihilisme berangkat dari titik “tak percaya” pada Tuhan sebagai entitas yang abstrak. Maka aturan agama, bagi penganut nihilis, “tak pernah ada”, atau “mungkin ada”, tapi lebih besar dan lebih dominan “mungkin tidak ada”. Adakah Tuhan?. Adakah Agama?. Adakah nilai-nilai?. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan abstrak yang dikonkritkan dalam bentuk tindakan. “Tak percaya, tak mengakui dan tak pernah merasa ada ikatan dengan nilai-nilai.
Moral bagi penganut nihilis hanyalah petuah subyek yang tidak punya dasar dan dalil yang kuat dalam pembuktian. Moral adalah entitas ketiadaan yang diyakni ada. Sikap moral tak pernah ada, sebab ia tidak pernah punya landasan yang jelas.
Agama dan moral adalah keyakinan para “pecandu” yang mabuk dalam penghormatan, pemujaan dan Pemuja nihilism yang terkemuka Nietzsche (1885) mengingatkan, bahwa nilai-nilai mengalami devaluasi. Bahkan pada titik puncaknya, ia mengucapkan kalimat paling berani, yakni; “God is Dead, God remains dead”. Tuhan adalah sumber moralitas absolut, dan Nietzsche “membunuh” akar moralitas itu dengan ucapan yang tragis, “Tuhan telah mati”.
Jika “Tuhan telah mati”, siapa yang mengendalikan entitas manusia?. Bagi filosof ini, harus ada tatanan dan nilai-nilai baru, yang ia sebut dengan “Ubermensch”. Ubermensch diartikan sebagai “manusia unggul”, yakni subyek atau individu yang melampaui moralitas tradisional. Ubermensch menciptakan nilai sendiri, dan nilai sendiri ini merupakan nilai baru sama sekali, yang terpisah dari nilai lama atau nilai tradisional.
Apakah Ubermensch ala Nietzsche sama dengan konsep “maha manusia?”. Manusia yang melekat pada dirinya nilai-nilai dewa, atau nilai-nilai transenden?. Sang nihilis memberikan penegasan bahwa Ubermensch adalah entitas baru yang mereproduksi nilai-nilai sendiri, dan ia terpisah dari pengaruh entitas luar.
Pertanyaan penting selanjutnya adalah, apakah hukum sampai pada titik nihilis?. Apakah ada subyek yang sampai pada titik tidak percaya sama sekali hukum dan menganggap hukum “telah tiada?”. Dan apakah subyek itu menganut nihilisme aturan atau nihilism tindakan?.
Dua hal ini harus dipisah, sebab bisa jadi ada orang yang menganggap aturan hukum sudah tak ada, karena bisa dilanggar oleh siapa saja, sehingga ia merumuskan hukum telah tiada dalam makna aturan. Atau justru ada subyek yang merasa ada aturan, tetapi bisa dilangar oleh siapa saja. Si subyek merasa ada aturan, tetapi dia selalu melakukan pelanggaran, karena dia merasa gampang diatur dan aturan itu tidak dapat diperlakukan pada dirinya.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin









































