Beranda Fajlurrahman Jurdi Kekuasaan Yang Gelisah

Kekuasaan Yang Gelisah

53

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Rasa gelisah akan datang menimpa siapa saja, terutama mereka yang ketakutan kehilangan hal-hal yang ia cintai. Apabila kita punya anak yang sedang terbaring kaku dirumah sakit, kita pasti gelisah, dan dalam kadar tertentu, kita bisa “kurang waras” menghadapi berbagai kenyataan. Semua saran dokter akan kita ikuti, bahkan mungkin bila dokter itu menyuruh minum racun sekalipun, kita akan ikut, dengan harapan bahwa anak yang kita cintai lekas sembuh dan bersatu lagi dalam keadaan tenang dan sehat.

Cinta orang tua kepada anak adalah merupakan representasi dari cinta tertinggi manusia dengan manusia, kecuali pada orang-orang tertentu, ada banyak yang berani bertarung nyawa anaknya untuk kepentingan lain yang lebih material lagi, seperti persembahan untuk pesugihan. Namun manusia demikian, lebih buruk dari binatang ternak.

Konteks ini dapat kita geser pada ranah lain yang lebih luas, yakni cinta pada kekuasaan. Ada banyak orang yang rela menyipakan orang lain sebagai tumbal demi menjaga dan merawat kekuasaannya. Demi kekuasaan, tak sedikit makam-makam dbangun, darah mengalir, kejahatan bertahta, dengan dalih yang kadang tak masuk akal.

Bagi mereka yang mencintai kekuasaan melampaui batas rasionalitas, akan selalu hidup dalam kegelisahan, sebagaimana halnya seorang bapak yang menanti kesembuhan anak nya dipinggir kasus rumah sakit. Bisikan dokter dan orang-orang yang ia percaya, bisa menghilangkan prinsipnya.

Terlalu mencintai kekuasaan menyebabkan banyak orang gampang menunjuk dan menuding orang lain yang “dianggap” mengancam rasa nyaman kekuasaan nya sebagai musuh yang berbahaya. Suara-suara yang berbeda dengan dirinya bisa menjadi sirine yang dapat membuat jantungnya berhenti berdetak, karena ketakutan, bahwa kekuasaan yang ia pegang terancam beralih.

Di tangan orang seperti ini, kekuasaan yang semula milik publik akan berubah menjadi milik privat. Kekuasaan yang semua arena bagi bertarunganya berbagai kepentingan dan harapan, akan dipugari dengan dinding pengap tanpa kritik dan koreksi, yang pada gilirannya, status kekuasaan menjadi menakutkan.

Dramaturgi di ruang publik yang menyita seluruh energy di republik ini telah cukup mengingatkan kita mengenai pergeseran kekuasaan yang terjadi secara pelan-pelan dan pasti. Kekuasaan yang gelisah dan mengubah dirinya dari yang semula perkakas publik menjadi perkakas sekelompok orang. Demi dan atas nama kekuasaan, alat-alatnya bekerja untuk “menghancurkan” mereka yang different. Suara-suara yang berbeda, atau oleh Edward W Said menyebutnya “the other” sangat menakutkan bagi mereka dan ditangkapi, “dibunuh karakternya” dengan dalil “melawan hukum”.

Hukum di tangan kekuasaan yang panik dan gelisah akan menjadi mesin yang brutal untuk menghentikan gerak lawan secara tak “berperikekuasaan”. Yang nyata berbuat jahat akan dibiarkan selama tidak menggangu atau setidak-tidaknya mendukung lonceng kejahatan sang penguasa, sedangkan mereka yang suka “menggaruk” bisul para pemegang kekuasaan akan “dibunuh” tanpa perlu mati fisiknya. Tetapi karakter, nama baik dan ruang geraknya dihentikan agar kampanye perlawanan mereka pada kekuasaan tidak berpengaruh luas.

Ketakutan tampaknya menjadi hantu yang menakutkan bagi ia yang berkuasa kini. Ketakutan itu mereproduksi kegelisahan yang berlebihan. Dan kegelisahan itu pula yang menciptakan “kepanikan-kepanikan”. Mereka yang panik, tentu tak akan bisa bersikap terlalu rasional pada fakta dan keadaan. Dengan kekuasaan yang besar, kepanikan dapat membahayakan banyak orang. Semoga ia yang berkuasa berhenti panik, supaya “tak ada korban”. Sebab, semakin banyak korban, ia akan menciptakan lebih banyak musuh, dan musuh yang banyak, bisa menjadi ancaman yang jauh lebih menakutkan bagi “rasa nyaman” kekuasaan.

*)Penulis adalah tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here