Beranda Fajlurrahman Jurdi Keadaan Perang, Keadaan Bahaya Dan Kegentingan Yang Memaksa

Keadaan Perang, Keadaan Bahaya Dan Kegentingan Yang Memaksa

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Keadaan bahaya semula ditulis dalam bahasa Belanda, yakni staat van beleg. Makna kata ini dapat ditemukan dalam naskah UUD 1945 sebelum ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat dalam Pasal 10. Namun Pasal 10 tersebut padal tanggal 18 Agustus digeser ke Pasal 12 UUD 1945, dimana kata staat van beleg diubah menjadi “keadaan bahaya”.

Ada tiga kalimat yang secara singkat memiliki makna yang kadang serupa, tetapi tidak sama, yakni; “keadaan perang”, yang terdapat dalam rancangan awal Undang-Undang Dasar Indonesia yang terletak di dalam pasal 11, “keadaan” bahaya” yang terdapat dalam Pasal 12 serta “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22. Ketiga potongan kalimat ini kedengarannya sepintas agak mirip, yakni; situasi perang, situasi bahaya, situasi genting. Peperangan dapat menimbulkan bahaya yang menyebabkan situasi genting. Meskipun dibolak-balik juga kalimatnya, maka pada intinya, “perang-bahaya-genting” merupaan tali-temali kata yang tidak terpisahkan.

Tetapi kemudian, yang terdapat dalam UUD 1945 setelah ditetapkan pada tangal 18 Agustus 1945 hanyalah dua, yakni “keadaan bahaya” sebagaimana dalam Pasal 12 dan “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 22. “Keadaan perang” tercakup dalam frase kalimat keadaan bahaya yang memerlukan sikap presiden untuk menetapkan “situasinya”. Karena peperangan dapat menimbulkan bahaya bagi bangsa dan Negara.

Kedua frase dalam pasal yang berbeda ini dikontruksi dengan pra-situasi dan posisi presiden sebagai subyek yang berbeda. Pada “keadaan bahaya”, presiden boleh menetapkannya berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dengan undang-undang. Pra situasi keadaan bahaya memiliki daya ikat yang kuat, yakni undang-undang.

Banyak orang yang masih bingung, apa bentuknya apabila presiden menetapkan keadaan bahaya?. Soal bentuknya dapat ditetapkan dalam undang-undang atau bisa bebas saja, seperti “Maklumat”, “Peraturan Presiden”, “Instruksi Presiden”, “Keputusan Presiden”, “Memo Presiden”” atau bentuk lain yang secara hukum dapat mewakili substansi “keadaan bahaya”.

“Keadaan bahaya” berkaitan atau memiliki relevansi dengan “ancaman terhadap Negara”. Negara setidaknya berhubungan dengan tiga unsur di dalamnya, yakni; “wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat”. Dalam hal ini, keadaan bahaya berhubungan dengan ancaman terhadap wilayah Negara, ancaman terhadap rakyat dan ancaman terhadap pemerintahan secara umum. Artinya state disturbing. Itulah sebabnya, penetapan keadaan bahaya berhubungan dengan posisi presiden sebagai “kepala negara”.

Sebaliknya “kegentingan yang memaksa” mewakili perasaan si subyek, dalam hal ini “perasaan presiden” terhadap “situasi pemerintahan”. Penetapaan kegentingan yang memaksa meletakkan subyektivitas presiden sebagai titik pusat pengambilan keputusan, sehingga sifatnya “fleksibel”. Tergantung pada “perasaan” yang dialami oleh presiden.

Dasar hukum dari “kegentingan yang memaksa” sudah ditetapkan juga dalam UUD, sehingga apabila terjadi kegentingan yang memaksa, maka presiden dapat mengeluarkan “peraturan pemerintah pengganti undang-undang” atau disingkat Perppu. Dengan demikian, bentuk hukum dari “kegentingan yang memaksa” adalah Perppu yang sudah diatur pula formatnya dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kegentingan yang memaksa berkaitan langsung juga dengan “ancaman terhadap pemerintahan”, bukan “terhadap Negara”. Dengan demikian, situasi pemerintahan yang failed atau terancamnya roda pemerintahan dapat menjadi alasan bagi presiden untuk menyatakan adanya kegentingan yang memaksa.

Dalam konteks ini dapat pula dimaknai, apabila Presiden sensitif pada keadaan tertentu atau situasi tertentu dapat mempengaruhi sikapnya saat menentukan suatu keadaan untuk disebut “genting” atau “tidak genting”.

Sebagai contoh kasus, pada zaman presiden Yudhoyono selama 10 tahun, keberadaan Hizbut Tahrir diangap sebagai hal biasa dan merupakan organisasi kemasyarakatan yang dilindungi undang-undang. Presiden Yudhoyono membiarkan kebebasan beroganisasi dan berekspresi sebagai hak dasar selama itu tetap dalam bingkai NKRI. namun saat presiden Joko Widodo berkuasa, perasaan presiden sebagai subyek berbeda lagi. Presiden menganggap bahwa Hizbut Tahrir adalah “ancaman terhadap NKRI dan merongrong pemerintahan yang sah”, sehingga situasinya menjadi genting. Atas dasar “perasaan” situasi yang genting tersebut, presiden sebagai subyek pengambil keputusan mengeluarkan Perppu.

itulah perbedaan sederhana antara; keadaan perang, keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa menurut pemikiran sederhana penulis.
Wallahu a’lam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT