Beranda Fajlurrahman Jurdi Lex Dura Sed Tamen Scripta

Lex Dura Sed Tamen Scripta

0
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Membaca undang-undang bagi ahli bahasa, layaknya ia membaca buku-buku biasa. Atau membaca undang-undang bagi kalangan non-hukum, ia hanya seperti membaca buku teks. Padahal undang-undang adalah hukum, yng memiliki sifat; perintah, larangan, dan perkenaan.

Undang-undang biasanya atau kebanyakan bersifat imperatif, sehingga ia memiliki daya memaksa (de kracht om een wet te binden). Sebagai perintah, undang-undang mengandung konsekuensi-konskuensi bagi “subyek” terhadap “kata” atau “kalimat”. Misalnya dua kata yang bunyinya sederhana; “dilarang membunuh”. Kata dilarang membunuh selalu diikuti dengan kata “ancaman” sanksi yang tak terpisahkan dari kata “dilarang”.

Lex dura sed tamen scripta menegaskan kekuatan imperatif hukum sebagai norma yang bersifat memaksa. Atau dengan kata lain, “hukum itu tegas”, karena memang demikian ia “ada”. Secara eksistensial, keberadaan hukum sebagai salah satu norma di antara norma lainnya adalah karena sifatnya yang “keras” dan tak punya “mekanisme kompromi”.

Hukum tentu saja bukan sekedar undang-undang, tetapi juga putusan pengadilan. Namun putusan pengadilan merupakan “residu” nilai-nilai imperatif yang ada dalam undang-undang. Putusan pengadilan adalah merupakan hasil refleksi subyek, yakni “perjumpaan antara fakta hukum dan norma hukum” atau yang disebut dengan judex facti dan judex juris, yang dituangkan dalam bentuk putusan hakim. Putusan hakim memiliki prinsip subyektivitas yang bersifat “meta-norma”, ia berada di atas norma dan fakta, sehingga disebut dengan “keyakinan hakim”. Dalam hal ini, hakim harus meyakini dua hal, yakni; fakta “hukum yang dihadapi” dan “norma hukum yang diterapkan”.

Karena itu, pada saat undang-undang diterapkan dalam bentuk putusan hakim, misalnya; “memerintahkan kepada terdakwa untuk segera ditahan”, maka penegak hukum harus mengambil jalan untuk “menahan” tanpa perlu mendiskusikan, dikecualikan karena alasan-alasan tertentu.

Sifat hukum yang memaksa ini menyebabkan ia menjadi “represif”, sehingga melalui aparatur dan mekanisme administratifnya, hukum dapat mengendalikan perilaku masyarakat. Bila hukum lemah dan tidak memiliki daya paksa, maka dapat dipastikan, sediap orang bisa saling “menyandera” atas nama kekuatan. “Kekuatan” sebagaimana dalam konsep human nature menjadi pemicu saling menghancurkan diantara umat manusia.

“Lex dura sed tamen scripta” juga menjadi salah satu asas yang memperkuat argumentasi tentang “kepastian hukum”. Dengan daya paksa yang melekat bersamanya, hukum bisa memberi jaminan kepastian kepada sediap orang. Sediap orang bisa saling menjaga harmoni dalam masyarakat, karena jika ia melanggar ketentuan, hukum akan bertindak.

Dalam “Lex dura sed tamen scripta”, pembenaran bagi Negara (penegak hukum) untuk mengambil tindakan “represif” merupakan refleksi panjang atas karakter habitual manusia yang semula senang merusak dan menggampangkan persoalan, meskipun itu melukai dan merampas hak dan kepentingan orang lain. Maka ditetapkanlah rule sebagai pegangan bersama umat manusia saat mengambil tindakan. Karenanya, tak ada “keputusan satu atau beberapa subyek” yang boleh melabrak batas “kepentingan subyek lain”. Sebab jika demikian, hukum turun dengan “pedang dan timbangannya” untuk menahan laju destruktif atas konflik antar subyek, dan meletakan keadilannya untuk kepentingan umat manusia.

Wallahu a’lam bishiwab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT